PN Jakarta Utara, 6 April 2016 – Sidang kali ini menghadirkan saksi ahli dari pihak tergugat bernama Yanto Santosa. Ia merupakan guru besar Institut Pertanian Bogor Departemen Kehutanan. Dalam kesaksiannya, Yanto menyimpulkan tidak terjadi kerusakan lingkungan pada lahan PT JJP yang terbakar.
Yanto turun ke lokasi lahan bekas terbakar PT JJP pada 20-22 Februari 2016, tiga tahun setelah kejadian kebakaran lahan PT JJP. Ia melakukan pengamatan dan kajian lapangan, serta mewawancarai pemilik kebun rakyat dan staf PT JJP.
Hasilnya, Yanto menyebutkan bahwa api berasal dari tanaman sawit lahan masyarakat, yaitu dari arah selatan kebun rakyat. “Hal itu bisa dilihat dari posisi jelaga/arang bekas kebakaran sehingga bisa diketahui sumber api. Saya buktikan dengan wawancara warga dan mereka mengatakan bahwa api berasal dari lahan masyarakat,” ujar Yanto.
Sebagai ahli di bidang ekologis, pernyataan lain yang dikemukakan Yanto di persidangan adalah bahwa kerusakan lingkungan baru terjadi apabila fungsi ekosistem terganggu. “Contohnya, pada HGU PT JJP. Kalau karena kebakaran produksi sawit menurun, barulah dikatakan ekosistem terganggu atau rusak. Pengertian ini berlaku universal,” sebutnya.
Dilihat dari performance tanaman, sambung Yanto, lahan PT JJP belum rusak ekosistemnya. “Saya tidak melihat dari pH tanah, subsiden, dan sebagainya. Hanya dari performance saja.”
Pihak penggugat menyebutkan Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan kerusakan lingkungan terjadi apabila terlampauinya baku mutu lingkungan. Pernyataan ini didebat oleh Yanto. “Kalau ambang batas udara saya setuju. Tapi kalau ambang batas tanah, saya merasa tak pas tanah ada ambang batas. Asalkan tanaman masih bisa tumbuh, tanah turun seberapa pun tidak masalah.”
“Berdasarkan hasil penelitian saya saat turun ke lahan PT JJP, tanaman yang terbakar itu sudah berumur lima tahun, ditanam dari tahun 2008 dan produksinya 10-12 ton per tahun per hektar. Jadi, motif membakar karena tak subur dan karena asuransi lewat.”
“Menurut ahli sawit, JJP adalah korban kebakaran karena produksi sawit segitu sudah termasuk kategori produktif. Tidak mungkin perusahaan mau membakar sawit produktif,” katanya.
Perdebatan lain antara saksi ahli dengan pihak penggugat adalah soal akreditasi laboratorium. Yanto menegaskan bahwa seluruh laboratorium yang berada di bawah tanggung jawabnya di IPB belum ada yang terakreditasi. Sedangkan penggugat menyatakan laboratorium tempat pengujian sampel PT JJP sudah terakreditasi melalui Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
“Namun untuk kepentingan pemakai, bisa saja laboratorium di IPB digunakan. Tergantung usernya. Kita terbuka saja, lab bisa dipakai untuk kepentingan pihak luar,” sebut Yanto.
“Untuk konteks kebakaran, dalam Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2014 menyatakan kebakaran harus diuji di laboratorium dan tidak ada disyaratkan bahwa laboratorium yang dimaksud harus terakreditasi,” balas kuasa hukum penggugat.
Usai pemeriksaan Yanto, sidang ditutup majelis hakim dan dilanjutkan minggu depan. Masih memberi kesempatan seluasnya kepada kedua pihak untuk menghadirkan saksi dan bukti. #rctlovina