PN PEKANBARU, KAMIS 30 JANUARI 2014—Hakim memasuki ruang sidang Kartika lantai II Pengadilan Negeri Pekanbaru, kuasa hukum serta pengunjung. Sidang gugatan kerugian lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT Merbau Pelalawan Lestari ini mendengar keterangan ahli. Pihak penggugat, Kementrian Lingkungan hidup yang diwakili kuasa hukumnya Patramijaya, SH, LL.M dan Berto Herora Harahap, SH menghadirkan satu saksi. Sedangkan pihak tergugat diwakili kuasa hukum Suhendro, SH menghadirkan tiga saksi.
Setelah Reno Listowo, SH, MH selaku Hakim Ketua membuka sidang, saksi pertama dari penggugat diajukan. Dr Atca Sanjaya, saksi ahli bidang hukum perdata. Kesaksiannya dimulai dengan menjawab pertanyaan Patra soal perubahan UU Nomor 23 tahun 1997 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.
“Apakah UU ini dapat dijadikan landasan untuk melakukan gugatan?”tanya Patra. Saksi menjelaskan UU ini bisa menjadi landasan karena merupakan UU yang berlaku pada saat peradilan berlangsung. Ahli juga menjelaskan bahwa perbuatan merusak lingkungan sangat disayangkan. “Kalau sudah merusak ya bersedia mengganti kerugian,” ujarnya.
Patra kembali bertanya soal kepemilikan izin usaha, namun perusahaan melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan. “Apakah ini tergolong perbuatan melawan hukum?” tanyanya. Saksi menjawab dengan analogi kepemilikan Surat Izin Mengemudi. Jika ia memiliki SIM, namun melanggar aturan, tetap saja ini jadi perbuatan yang patut dihukum. “Izin tidak menjamin, yang dilihat tindakannya,” ujar Atca.
Menyoal siapa yang bisa menggugat pengrusakan lingkungan, ahli menjelaskan bahkan negarapun bisa menuntut kerugian atas pengrusakan yang terjadi karena untuk kepentingan umum. Aturan yang digunakan sebagai landasan juga banyak. “Mulai dari peraturan pemerintah sampai ke undang-undang.”
Saksi selanjutnya dari pihak tergugat, Fakhruddin Siregar dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, ia merupakan Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (PPSKSH). Saksi menjadi PPSKSH di PT Merbau Pelalawan Lestari sejak 2004 hingga 2006. Secara garis besar ia memiliki wewenang untuk mengesahkan hasil hutan yang dimiliki PT Merbau Pelalawan Lestari untuk selanjutnya diangkut.
Suhendro menanyakan soal saksi melihat perusahaan memproduksi ataupun mengangkut kayu Ramin. “Tidak pernah, karena Ramin tanaman yang harus dilindungi, jadi tidak boleh diangkut,” jawab saksi. Selama bertugas, kawasan kerja saksi adalah diarea pengangkutan, segala kayu yang diangkut mendapatkan pengesahan dari petugas.
“Apakah anda melihat perusahaan menebang diareal yang diizinkan?” Patra menanyai saksi. Dan ia menjawab bahwa ia tidak melihat. “Saya adanya di lokasi pengangkutan dan penimbunan,” jawab saksi. Patra kembali menekankan bahwa saksi tidak melihat perusahaan menebang di mana.
“Apakah perusahaan menebang di luar areal yang diizinkan?” tanya hakim ketua. Dengan cepat saksi menjawab tidak. Ketika kembali diberi kesempatan bertanya, Patra menanyakan soal saksi mengetahui batas wilayah PT Merbau Pelalwan Lestari. Saksi menjawab tidak tahu.
Saksi ketiga merupakan ahli dibidang kehutanan, Dr Ir Ngadiono. Suhendro jelaskan ahli diajukan dari pihak tergugat mendapat rekomendasi dari Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia.
Ngadiono jelaskan jenis hutan. Mulai dari hutan suaka alam yang harus dilindungi karena merupakan ekosistem habitat dari flora dan fauna langka hingga hutan lindung untuk konservasi air dan tanah pencegah banjir. “Hutan produksi tergolong hutan yang dilestarikan dengan bentuk hutan tanaman industri,” jelasnya.
Dari penjelasannya, penebangan hutan di kawasan hutan alam digolongkan sebagai Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) lalu ditanami pohon. Sedangkan penanaman pohon di lahan kosong digolongkan Hutan Tanaman Industri (HTI). Jika ingin menanam akasia di lahan hutan alam, maka harus mengurus izin THPB. “Kalau dilahan kosong, urus izin HTI,” jelas ahli.
Ia juga jelaskan jika pengusaha mendapat izin di hutan alam, harus lakukan survey lapangan melihat kondisi mana areal yang dapat ditebang atau tidak. “Karena kita juga melihat aspek aturan, ekologi dan ekonomi,” jelasnya. Ia juga menekankan perlu pengawasan ketika sudah ditebang harus ada penanaman lagi.
Patra menanyakan jika di lokasi yang diberi izin terdapat flora yang dilindungi seperti ramin. “Apa yang harus dilakukan perusahaan?” tanya Patra. Perusahaan punya kewajiban melindungi. Karena dari awal perusahaan telah melakukan survey dan harus menetapkan areal tak boleh ditebang untuk kawasan flora yang dilindungi tersebut. “Itu dibuat dari awal, tidak bisa berubah-ubah,” jelas ahli.
Setelah istirahat siang, Dr Ir Ervayeni , ahli bidang kehutanan dari Universitas Lancang Kuning (Unilak) Riau didengar keterangnya. Ia memiliki spesialisasi bidang budidaya hutan. Fungsi budidaya ini untuk menghidupkan hutan dengan berbagai keanekaragaman pohon, baik dari yang kecil hingga besar. Selain itu juga meninjau aspek peningkatan produktifitas hutan. “Maka Menhut punya kebijakan untuk memberi IUPHHKHT,” jelasnya.
Suhendro menanyakan soal pengajuan penebangan kayu di RKT apakah besaran yang diajukan harus terealisasi semua. “Ya tidak, kalau untuk penebangan kan ada hitungan luas netto dan luas bruto,” jawab saksi. Jadi rencana penebangan untuk selanjutnya melihat kesanggupan realisasi penebangan pada tahun sebelumnya.
Patra menanyakan soal apa yang harus dilakukan perusahaan jika ada flora yang dilindungi dalam kawasan perusahaan. “Bisa saja ditebang kalau cuma sebatang, dengan catatan meminta izin terlebih dahulu,” jawabnya.
Patra juga menanyakan bagaimana cara untuk melihat realisasi penebangan hutan yang dilakukan perusahaan. Patra mengajukan pilihan penghitungan lewat peta. “Bisa tapi tak akurat, harus melihat koordinat titik di lapangan,” jawab saksi. Patra menekankan bahwa memang harus ada peninjauan ke lapangan. Saksi membenarkan pernyataan tersebut.
Selesai mendengarkan keterangan dari saksi ahli, hakim memberitahu bahwa sidang selanjutnya akan berlangsung pada Senin, 10 Februari 2014 dengan agenda penyampaian kesimpulan. #Yaya-rct