Sidang ke 8—Pemeriksaan Terdakwa dan Ahli
PN Rengat, 11 Oktober 2021—Hakim Nora Gaberia Pasaribu bersama anggota majelis Maharani dan Mochamad Adib Zain ketuk palu sidang terbuka untuk umum perkara Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor nomor 256/Pid.Sus/2021/PN Rgt pukul 11.23. Terdakwa PT Gandaerah Hendana (GH) diwakili Jeong Seok Kang anak Mr Kang hadir bersama Penasihat Hukum-nya Asep Ruhiat dan tim. Penuntut Umum Kejaksaan dari Indragiri Hulu Jimmy Manurung lalu Kejaksaan Tinggi Riau Syafril.
Agenda sidang yakni pemeriksaan terdakwa, ahli dari penuntut umum yakni Rahmat Bowo Suharto. Serta pemeriksaan saksi dan ahli A de Charge yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa yaitu Sunarya, Zainudin, Deflizer Nasution, Alvi Syahrin serta Erdiansyah.
Berikut keterangan mereka diruang sidang.
Rahmat Bowo Suharto hadir sebagai ahli hukum lingkungan. Kesehariannya aktif sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Agung Semarang. Ia diperiksa sebagai ahli atas adanya permintaan ahli hukum lingkungan dari kementerian lingkungan hidup kehutanan lalu bersurat kepada dekan fakultas tempatnya mengajar.
Ia menjelaskan konstruksi pengaturan Undang-undang (UU) 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas perubahannya pada UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Perubahan perturan ini dimaksudkan sebagai politik hukum pemerintah Indonesia untuk memberikan kemudahan berinvestasi dan penyederhanaan izin usaha.
Dalam UU 32/2009 diwajibkan memliki Amdal, Izin lingkungan dan lainnya sementara dalam UU 11/2020 diwajibkan memliki persetujuan dan kesanggupan lingkungan dari pusat, daerah dan lokasi pendirian usaha.
Jika dalam perjalanan sebuah kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terdapat perubahan UU, tidak serta-merta langsung menerapkan Pasal 1 ayat 2 KUHP berisi : Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Haruslah dilihat situasi dan kondisi saat terjadinya peristiwa pidana.
Dan pada akhirnya putusan hakim-lah yang akan menentukan hal yang menguntungkan bagi terdakwa berdasarkan pertimbangan dakwaan yang dikenakan penuntut umum.
Hal menguntungkan dilhat dari prosedur hukumnya terdiri dari jenis kasus, proses penuntasan perkara dan pemberian sanksi. Konsep sanksi pidana bagi badan usaha berupa denda dan hukuman kurungan, sedangkan sanksi dalam administrasi negara bisa dikenakan bagi badan usaha berupa pencabutan izin, penutupan sementara, peringatan dan menghalagi kemerdekaan badan usaha. Pemberian sanksi tergantung pada pihak punya kepentingan.
Pasal pidana yang masih menegakkan persoalan lingkungan jadi masalah serius masih tetap eksis yakni pada pasal 98 dan 99 UU 32/2009. Beda dengan Pasal 109 dan 110 yang sudah dihapus sebab pasal ini memuat kegiatan administrasi meliputi teknis pemberian izin lingkungan.
Penerapan Pasal 82b ayat 3 paragraf 3 terkait Persetujuan Lingkungan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dapat menerapkan sanksi administrasi sekaligus pidana. Sanksi pidana difungsikan jika sanksi lainnya tidak efektif. Maka dalam perkara Karhutla dimana telah terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan, sulitnya dilakukan pemulihan akibat kebakaran tersebut serta peristiwa sudah berulang kali terjadi, maka sanksi pidana bersifat premium remedium. Atau mendahulukan penegakan hukum pidana.
Pada peristiwa Karhutla, sanksi pidana lebih diutamakan sebab berkaitan dengan persolan serius bagi manusia dan lingkungan.
Jeong Seok Kang Terdakwa perwakilan perusahaan. Ia tidak tahu terkait akta pendirian, izin yang dimiliki perusahaan, termasuk izin lingkungan yang dikeluarkan DPMPTSP Inhu 17 Juni 2019 lalu. Sejak 2012 hingga 2015 bekerja sebagai Direktur Keuangan PT GH, dan masih berdomisili di Korea Selatan. Kerjanya hanya mengurus keuangan dan aset perusahaan. Lalu, Oktober 2019 datang ke Indonesia. Desember 2020 pemegang saham jadikan ia Direktur Utama, menggantikan Liem Oen Bong yang mundur dan sekarang berada di Seoul.
Ia paham bahwa Desa Seko Lubuk Tigo (Seluti) masuk dalam wilayah Hak Guna Usaha (HGU) PT GH. Sebelum mereka melakukan kegiatan usaha, masyarakat sudah berdiam dan berladang disana. Sebab perusahaan tidak bisa menguasai lahan, dianggaplah lahan tersebut bukan bagian dari usaha PT GH. Hingga tidak ada tindakan pemadaman api yang dilakukan saat kebakaran.
Kedatangan mereka setelah seminggu api timbul hanya sekedar memberi bantuan. Diawal dengan melakukan pemantauan terlebih dahulu. Ternyata akses sulit dilalui makanya tim terlambat padamkan api kesana. Mereka hanya turunkan 6 orang tim pemadam, eksavator, mesin pompa dan selang.
Biasanya PTGH aktif menurunkan tim pemadam api dan alatnya jika ada Karhutla diluar HGU ataupun punya masyarakat.
Memang HGU Seluti sudah lama diduduki oleh masyarakat. Terhitung 5 kali mengadu dengan pihak desa, kecamatan, bupati hingga kantor tanah, supaya dilakukan mediasi. Upaya tidak berhasil. Dan belum pernah ajukan ganti rugi tanah. Baru pasca Karhutla, mereka ajukan pelepasan HGU Seluti pada Desember 2020 dan disetujui Kantor Tanah Indragiri Hulu 2021. “Program TORA jadi upaya perusahaan agar konflik selesai,” ucap Jeong yang diterjemahkan oleh ahli Bahasa.
Dalam rapat umum pemegang saham, persoalan lahan yang diduduki masyarakat belum masuk prioritas pembahasan, hanya sebatas bahasan kecil di grup email perusahaan. Setelah Karhutla baru jadi poko pembahasan dan menyatakan HGU Seluti harus segera dilepas seluas hampir 3.000 hektar.
Selanjutnya pemeriksaan saksi dan ahli A de Charge yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa.
Sunarya Ketua KKPA PT Mitra Kembang Selaras, Zainudin Tambunan dan Deflizer Nasution, ketiganya merupakan masyarakat Desa Seluti.
Saat Sunarya menjadi Sekertaris Desa Seluti 1995-1998, selama dalam jabatan itu ia tidak tahu ada HGU PT GH disana. Masyarakat masih berladang padi. Tidak ada tanda apapun yang menjelaskan GH punya lahan disana. PT GH tidak pernah menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat. Pun saat Karhutla September 2019 GH terlambat hadir.
Hal serupa dijelaskan Zainudin lahannya ikut terbakar sekitar 2 hektar. Lahan kini sudah ia tanami dengan sawit baru. Lahan itu dibelinya dari orang lain 2004 lalu dan diurus sertifikat pada 2013.
Lahan punya Deflizer terbakar seluas 2 hektar dari total 12 hektar miliknya. Lahan itu warisan keluarga istrinya. Saat itu ia sedang sibuk padamkan api dilahan tetangganya, rupanya lahannya juga ikut terbakar. Dalam waktu 1 jam api bisa menghanguskan 50 hektar lahan. Pemadaman saat itu dilakukan masyarakat, Brimob Dumai dan Pekanbaru, ditambah tim pemadam dari PT Mitra kembang Selaras, PT Teso Indah.
PT GH tidak pernah melakukan komunikasi yang baik dengan masyarakat. Kini disebut lahan dipunya perusahaan, padahal selama ini tidak pernah usulkan ganti rugi lahan. Beda dengan yang dilakukan PT Mitra Kembang Selaras, komunikasi mereka baik sehingga masyarakat mau melakukan kerja sama KKPA dengan masyarakat. Makanya masayarakat desa hingga kecamatan tidak menerima keberadaan PT GH.
Selanjutnya Alvi Syahrin Ahli hukum pidana lingkungan Universitas Sumatra Utara. Ia menjelaskan konstruksi pertanggung jawaban pidana Pasal 98 dan 99 UU 32/2009 dikaitkan dengan Pasal 82 b ayat 3 UU 11/2020.
Pasal 99 ayat 1 UU 32/2009 hanya bisa dikenakan pada perusahaan yang tidak punya izin dan akibat kejadian kebakaran telah terjadi gangguan kesehatan bagi manusia dan kerusakan lingkungan. Dan dikenakan sanksi pidananya bersifat ultimum remedium atau upaya terakhir.
Berbeda dengan Pasal 82 b ayat 3 paragraf 3 terkait Persetujuan Lingkungan UU 11/2020 dapat dikenakan kepada perusahaan jika; punya izin, tidak melakukan penanggulangan kebakaran serta ditemukan hal pemberat. Hal pemberat meliputi lahan sengaja dibakar dengan ditemukannya pelaku pembakaran atau pihak perusahaan yang memberi perintah membakar. Lalu, lahan sengaja dibiarkan terbakar dan sapras tidak dilengkap. Maka sanksi yang dapat diberikan berupa administrasi.
Namun jika perusahaan masih melakukan pemadaman dan berupaya melindungi lahannya, serta tidak ditemukan pelaku pembakaran yang bertindak untuk keuntungan perusahaan maka perusahaan ataupun pengurusnya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Jika kebakaran tetap terjadi yang bertanggungjawab haruslah pekerja lapangan.
Makanya dalam kasus Karhutla di perusahaan, awal yang harus ditemukan adalah pelaku yang membakar lahan untuk kepentingan korporasi. Jika tidak ditemukan maka perusahaan hanya jadi korban.
Saat Jaksa Syafril bertanya ke Alvi, ia beri pembukaan, “Saya ini anak murid bapak, biasanya kita berbarengan namun sekarang kita beda pihak.”
Terakhir, Erdiansyah Ahli pertanggungjawaban pidana korporasi. Kesehariannya aktif sebagai pengajar di Fakultas Hukum Unri. Ia menjelaskan, untuk menentukan pihak yang harus bertanggungjawab dalam peristiwa pidana, haruslah ditemukan pelaku dan pemberi perintah untuk melakukan pidana. Lalu, mampu bertanggungjawab atas pidana dan sanksi yang diberi, perbuatan dilakukan secara sengaja ataupun lalai dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.
Jika lahan perusahaan yang dikuasai masyarakat terjadi kebakaran, maka pertanggung jawaban bisa dibebankan kepada perusahaan dengan catatan ditemukannya pelaku suruhan perusahaan. Jika tidak ditemukan maka masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
Sidang berakhir pukul 21.3o dan akan dilanjut 18 Oktober 2021 agenda pembacaan tuntutan. Ketika palu sidang tunda diketuk Alvi Syahrin memberi empat bukunya tentang pidana korporasi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ke semua majelis.#Jeffri