Bentangan Infografis

SEMPENA HARI JADI PROVINSI RIAU KE 62: Riau Tetap Darurat Korupsi

Bagaimana Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Riau?

Download Bentangan

  1. Pendahuluan

Beberapa saat setelah dilantik di Istana Negara sebagai Gubernur Riau 2019-2024, Rabu 20 Februari 2019, Syamsuar langsung mengumumkan 10 program kerja dalam 100 hari kepemimpinannya. Antara lain:

Sosialisasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) ke daerah; menyiapkan Ranperda wajib belajar 12 tahun, memastikan anak SLTP mendapat pendidikan SMA/SMK/MA dan membenahi pelayanan kesehatan melalui BPJS di rumah sakit pemerintah dan swasta.

Kemudian, pembenahan pengelolaan aset daerah; menyiapkan call center pengaduan masyarakat; menyiapkan sarana dan prasarana video conference Gubernur/Wakil Gubernur dengan Bupati/Walikota; pembenahan birokrasi; merumuskan konsep Riau hijau dengan melibatkan partisipasi masyarakat; meningkatkan pencapaian reforma agraria berupa perhutanan sosial dan tora serta meningkatkan koordinasi kabupaten/kota dengan kantor pajak dalam rangka peningkatan penerimaan pajak penghasilan dan PBB perkebunan.

Syamsuar tidak tegas menyebut pemberantasan korupsi. Apakah 10 program kerja 100 hari Syamsur-Edy pro pemberantasan korupsi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaitkan dengan kebijakan Pemprov Riau sebelumnya yang tertuang dalam SK Gubernur Nomor 390 tahun 2018, tentang penetapan rencana aksi pemberantasan korupsi terintegrasi 2018-2019. Juga dikaitkan dengan visi-misi Syamsuar-Edy pada saat Pilkada Riau.

SK Gubernur itu terbit karena desakan hasil kolaborasi Pemprov Riau dan Korsupgah KPK. Korsupgah KPK berkantor di Riau hendak membantu Pemprov Riau keluar dari zona merah korupsi. Hal itu dimulai dari pelaksanaan Hari Anti Korupsi Internasional di Pekanbaru 2016 lalu.

Berikut isi Renaksi pemberantasan korupsi terintegrasi dalam SK Gubernur Riau Nomor 390 tahun 2018: Perencanaan dan penganggaran daerah, pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu, manajemen sumber daya manusia, penguatan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), kematangan Sistem Pengawasan Intern Pemerintah (SPIP), pembenahan aset daerah dan partisipasi publik.

Kemudian pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pendapatan daerah, pertambangan, perkebunan, kehutanan serta perikanan dan kelautan.

Sedangkan visi Syamsuar-Edy adalah, terwujudnya Riau yang berdaya saing, sejahtera, bermartabat dan unggul. Diikuti 5 misinya, mewujudkan sumberdaya manusia yang beriman, berkualitas dan berdaya saing global melalui pembangunan manusia seutuhnya. Mewujudkan pembangunan infrastruktur daerah yang merata, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif, mandiri dan berdaya saing. Mewujudkan budaya melayu sebagai payung negeri dan mengembangkan pariwisata yang berdaya saing. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pelayanan publik yang prima berbasis teknologi informasi.

Dalam penjabaran visi-misi di atas, Syamsuar-Edy nampak tidak tegas dalam mencegah dan memberantas korupsi. Hanya ada satu poin dalam 10 arah kebijakan prioritas Syamsuar-Edy yang anti korupsi, yaitu, mewujudkan budaya kerja pemerintahan yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.

Selain  penjelasan di atas, Senarai juga hendak mentracking kinerja penegak hukum di Riau terkait komitmen pemberantasan korupsi.


Trend Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Riau

Hanya satu minggu, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeledah rumah dinas dan kantor Wali Kota Dumai, Zulkifli Adnan Singkah langsung ditetapkan sebagai tersangka. Hari itu juga, dia dicegah berpergian keluar negeri, Jumat 3 Mei 2019.

Sebelumnya, KPK telah menjerat 7 orang secara bertahap dalam kasus yang sama.

Pertama, mantan Anggota Komisi XI DPR Amin Santono, Yaya Purnomo, pihak swasta Eka Kamaluddin dan kontraktor Ahmad Ghiast. Mereka telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Kedua, anggota DPR Sukiman dan pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pegunungan Arfak, Natan Pasomba.

Ketiga, Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman.

Zulkifli menyuruh Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Dumai Mardjoko Santoso, menghubungi Yaya Purnomo Pegawai Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan untuk meloloskan usulan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018.

Setelah itu, Zulkifli dua kali bertemu Yaya di salah satu hotel di Jakarta, masing-masing pada Maret dan Mei 2017. Zulkifli minta Yaya mengawal usulan DAK Kota Dumai. Pada tiap pertemuan, Zulkifli menyanggupi imbalan yang diminta Yaya untuk meloloskan usulan tersebut.

Usulan pertama Rp 96 miliar dan usulan tambahan Rp 20 miliar. Tiap usulan itu Yaya dapat Rp 250 juta dan Rp 200 juta. Ditambah jasa meloloskan semua usulan DAK sebesar 35.000 dolar Singapura.

Usulan DAK Kota Dumai bertujuan untuk pembangunan rumah sakit, jalan, perumahan, fasilitas sanitasi, air minum serta pendidikan.

Uang yang diberikan Zulkifli pada Yaya diperoleh dari sejumlah pihak swasta yang biasa menerima proyek di Pemerintah Kota Dumai.

Selain tersangka suap, Zulkifli juga dikenakan pasal gratifikasi karena menerima Rp 50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari seorang pengusaha yang mengerjakan proyek di Dumai. Zulkifli tidak melaporkan pemberian itu pada KPK setelah 30 hari lamanya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bengkalis Amril Mukminin tersangka proyek peningkatan Jalan Duri-Sungai Pakning. Ia menerima uang sebelum dan sesudah dilantik jadi bupati dari PT Citra Gading Asritama (CGA). Masing-masing Rp 2,5 miliar dan terakhir Rp 3,1 miliar.

Selain Amril, KPK sudah menetapkan dua tersangka, Sekretaris Kota Dumai Muhammad Nasir, Direktur Utama PT Mawatindo Road Construction  (MRC) Hobby Siregar, juga dalam proyek peningkatan jalan di Kabupaten Bengkalis 2013-2015.

Proses penetapan Amril, Muhammad Nasir dan Hobby Siregar sebagai tersangka sangat panjang.

Sejak 21 Juli 2017, KPK lebih dulu melarang Muhammad Nasir dan Hobby Siregar berpergian ke luar negeri. Itu berlaku selama 6 bulan untuk memudahkan penyidik memeriksa keduanya bila sewaktu-waktu diperlukan.

Pada 8 Agustus, tim penindakan KPK mulai melakukan kegiatan di Riau. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, kegiatan saat itu masih tertutup. Target utama adalah salah seorang pejabat di Dumai.

Hari itu juga, KPK menggeledah Kantor Bupati Bengkalis, ruang Kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah dan Kantor Dinas PUPR sampai malam. Tujuan pengeledahan itu hendak mencari jejak keterlibatan Muhammad Nasir dalam proyek multi years saat menjabat Kepala Dinas PUPR Bengkalis 2013-2015.

Rupanya, KPK melakukan penggeledahan sejak 7 sampai 9 Agustus 2017. Diantaranya, di Pulau Rupat, Dumai, Bengkalis dan Pekanbaru.

Hasil penggeledahan itu, KPK menyita telepon genggam, hard disk dan dua sepeda motor milik MRC.

Pada 11 Agustus, KPK resmi menetapkan Muhammad Nasir dan Hobby Siregar sebagai tersangka korupsi proyek peningkatan Jalan Batu Panjang-Pangkalan Nyirih, Kabupaten Bengkalis, Riau tahun 2013-2015. Selain menjabat Kepala Dinas PUPR Bengkalis, Muhammad Nasir adalah Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek tersebut.

Kata Febri Diansyah, kerugian negara dalam korupsi tersebut sekurang-kurangnya Rp 80 miliar.

Pada 16 Agustus, KPK kembali melakukan penggeledahan. Kali ini dua rumah di Dumai milik dua orang subkontraktor atau saksi yang berkaitan dengan kasus Muhammad Nasir dan Hobby Siregar. Total KPK telah menggeledah 10 lokasi dalam korupsi proyek peningkatan jalan tersebut.

Tak berhenti di Muhammad Nasir dan Hobby Siregar, pada 19 Maret 2018, KPK lagi-lagi menggeledah Kantor DPRD Bengkalis dan Kantor Dinas PU Bengkalis. Nampaknya, KPK terus mengembangkan kasus ini untuk mengungkap pihak-pihak yang turut menikmati keuntungan proyek dengan cara melawan hukum.

Buktinya, tak sampai dua bulan setelah penggeledahan itu atau 7 Juni, KPK memeriksa empat orang saksi di Mako Brimob Polda Riau, salah satunya Amril Mukminin. KPK hendak mengkonfirmasi aliran dana dari sejumlah perusahaan terkait proyek-proyek di Bengkalis. Termasuk uang Rp 1,9 miliar yang ditemukan KPK di rumah Dinas Bupati Bengkalis awal Juni.

Keseriusan KPK semakin terbukti ketika mereka mengirimkan surat permintaan pencegahan keluar negeri kepada Dirjen Imigrasi 13 September atas Amril Mukminin. Pencekalan itu juga berlaku selama 6 bulan sejak surat dikirim.

Satu tahun lebih setelah penetapan Muhammad Nasir dan Hobby Siregar sebagai tersangka, KPK resmi menahan keduanya secara terpisah pada 5 Desember-30 Januari 2019. Muhammad Nasir di Rutan Guntur sementara Hobby Siregar di Rutan Salemba. Penahanan diperpanjang dari 3 Februari-4 Maret dan diperpanjang lagi dari 5 Maret-3 April.

KPK akhirnya melimpahkan berkas Muhammad Nasir dan Hobby Siregar di Pengadilan Negeri Pekanbaru 11 April. Dua belas hari kemudian keduanya menjalani sidang perdana.

Selesai urusan Muhammad Nasir dan Hobby Siregar, KPK terus memburu keterlibatan Amril Mukminin.

Pada 7 Februari 2019, KPK kembali memeriksa Amril Mukminin dengan tiga bekas anggota DPRD Bengkalis diantaranya, Azmi, Firzal Fudhoh dan Suhendri Asnan. Semuanya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Hobby Siregar.

Penggeledahan untuk sekian kalinya kembali dilakukan KPK di rumah dinas, Kantor Bupati Bengkalis dan Kantor Dinas PU, Rabu 15 Mei. Kali ini KPK mengamankan dokumen penganggaran proyek jalan. Satu hari kemudian, Amril Mukminin resmi jadi tersangka.

***

Ribut-ribut Bupati Bengkalis juga diikuti Wakilnya Muhammad. Dalam Nota Dinas Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, perihal gelar perkara dugaan korupsi pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Indragiri Hilir, Muhammad disebut sebagai tersangka.

Kabid Humas Polda Riau Sunarto dan  Dirreskrimsus Polda Riau Gidion Arif Setyawan kemudian membantah status tersebut. Kata mereka, itu hanya gelar perkara internal, belum ada penetapan status dan akan ada gelar perkara lanjutan.

Polda Riau sebenarnya telah menetapkan tiga orang tersangka. Edi Mufti BE, Sabar Stevanus P. Simalongo dan Syafrizal Thaher. Mereka telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa 18 Juni 2019. Edi dan Stevanus dihukum 5 tahun denda Rp 200 juta. Stevanus juga bayar uang pengganti Rp 35 juta. Syafrizal dihukum 4 tahun denda Rp 200 juta dan bayar uang pengganti Rp 92 juta.

Dalam putusan para terdakwa, majelis hakim menyebut, Muhammad mengintervensi panitia pengadaan barang dan jasa supaya memenangkan PT Panatori Raja sebagai pelaksana proyek.

Perkara ini berawal pada 2013. Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Sumber Daya Air Riau, mengumumkan lelang paket pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Indragiri Hilir, dengan harga perkiraan sementara Rp. 3.828.770.000. Sumber dana dari APBD Riau Tahun Anggaran 2013. Nilai kontrak kemudian disepakati Rp. 3.415.618.000.

Muhammad saat itu Kabid Cipta Karya sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran, Edi Mufti BE Pejabat Pembuat Komitmen, Sabar Stevanus P. Simalongo Direktur PT Panatori Raja dan Syafrizal Thaher Direktur CV Sapta Ekatama Konsultan yang mengawasi pekerjaan.

Perusahaan Sabar Stevanus dapat proyek berkat Harris Anggara alias Lion Tjai Direktur PT Cipta Karya Bangun Nusa. Dia mengajak Suangro Sitanggang ikut lelang dengan memakai tiga perusahaan sekaligus. Selain PT Panatori Raja, ada PT Harry Graha Karya dan PT Andry Karya Cipta.

Harris Anggara beri surat dukungan pada tiga perusahaan tersebut sekaligus. Dia mengaku penyedia pipa dari Medan. Lelang itupun dimenangkan oleh PT Panatori Raja.

Nyatanya, sejak proses lelang sampai waktu pekerjaan selesai banyak yang tidak sesuai aturan alias penyimpangan.

Tiga perusahaan itu menggunakan nomor dokumen pengadaan yang sama diantaranya, kesamaan dukungan teknis barang dan spesifikasi teknik, kesamaan penulis dokumen metode pelaksanaan, kesamaan dalam menyampaikan metode pekerjaan secara outline dan jaminan penawaran sama-sama diterbitkan Asuransi Mega Pratama Cabang Medan.

Selain itu, juga terdapat kesamaan Meta Data dalam dokumen penawaran Rencana Anggaran Biaya serta kesamaan hasil uji dari laboratorium industri bahan dan barang teknik. Seluruh dokumen itu terindikasi fiktif.

Dalam pelaksanaan proyek Sabar Stevanus dan Harris Anggara tidak mengerjakannya sesuai rencana kerja dan syarat-syarat.

Hasil uji laboratorium ahli yang ditunjuk penyidik menunjukkan, pipa transmisi yang dipasang tidak sesuai dengan SNI Nomor 4829.2:2012 maupun SNI Nomor 06-4829-2005. Ketebalan minimum 23,79 mm s.d maksimum 27,08 mm, padahal syarat mutu minimum 29,7 mm s.d maksimum 32,8 mm.

Kekuatan hidrostatik pipa yang seharusnya 65 jam pada suhu 80°c, akan tetapi baru 36 jam diuji pipa tersebut sudah pecah. Sedangkan hasil uji sifat fisik pipa menunjukkan, waktu induksi oksidasi hanya 5 menit dari waktu minimal yang semestinya 20 menit.

Audit lainnya menujukkan, pemasangan pipa melewati dasar sungai dan pipa tidak tertanam di bawah tanah. Semuanya menyimpang dari perecanaan.

Dalam dakwaan penuntut umum disebut, penyimpangan pelaksanaan proyek itu dikarenakan Muhammad, Edi Mufti BE dan Syafrizal Thaher tidak mengendalikan dan mengawasi pekerjaan dengan sungguh-sungguh sesuai tugas masing-masing. Alhasil lama pekerjaan melewati batas yang ditentukan selama 28 hari dan PT Panotari Raja pun tidak menyelesaikan pekerjaannya.

Edi Mufti dan Muhhamad tetap membayar uang pekerjaan pada Sabar Stevanus tanpa ada pemeriksaan lapangan terlebih dahulu terhadap material yang dipakai, termasuk teknik pemasangan pipa.

Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Riau 22 Desember 2017, proyek itu telah merugikan Pemerintah Riau kurang lebih Rp. 2.639.090.623.

 

Survei Penilaian Integritas KPK

Wawan Wardiana, Direktur Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, menyampaikan hasil penilaian integritas terhadap 6 lembaga dan kementerian, 15 pemerintah provinsi dan 15 pemerintah kota maupun kabupaten di Indonesia. Hasil survei untuk tahun 2016 dan 2017 ini disampaikan pada 21 November 2018 di Jakarta.

Responden dalam survei adalah staf atau fungsional umum kementerian lembaga maupun pemerintah daerah serta karyawan swasta. Mayoritas responden laki-laki di atas usia 30 tahun dengan pendidikan rata-rata sarjana.

Secara umum, survei dilakukan untuk mengetahui pengalaman responden mendengar atau melihat langsung praktik percaloan di lembaganya, nepotisme dalam penerimaan pegawai, gratifikasi, penyuapan ketika proses promosi dan mutasi jabatan serta budaya membangun sistem anti korupsi.

Senarai hendak melihat posisi Riau dalam hasil survei itu. Secara umum Riau berada pada posisi 10 besar. Sebagai pembuka, satu-satunya kabar baik adalah, tingginya hasil penilaian integritas dengan jumlah 63. Nilai ini menunjukkan, semakin mendekati angka 100 kemungkinan risiko terjadinya korupsi semakin rendah karena, adanya sistem pencegahan yang lebih baik.

Namun, hasil itu memberi catatan, tingginya nilai integritas tidak menjamin korupsi tidak akan terjadi sekalipun dalam sistem yang mapan.

Ini terbukti dan terbantah sendiri dalam survei lanjutan, yang mengarah pada persoalan di Pemerintah Provinsi Riau. Pertama, 11 persen Pegawai Pemerintah Riau pernah mendengar dan melihat rekan-rekannya menerima suap atau gratifikasi. Jumlah ini masih sama ketika survei dilakukan pada 2016. Di sini, Riau menempati posisi 7.

Soal pemerasan terhadap pengguna layanan, Riau bercokol di posisi 6. Pegawai di Riau kerap minta uang pada orang yang sedang berurusan dengan mereka. Bahkan, jumlah ini meningkat dari 8 persen pada 2016 jadi 10 persen tahun berikutnya.

Dalam hal memanfaatkan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, Riau peringkat 7. Buktinya, 40 persen pegawai yakin rekan-rekannya kerap menggunakan fasilitas kantor di luar jam kerja untuk kepentingan pribadi.

Masih peringkat 7. Pegawai di Riau mengaku, pernah mendengar bahkan melihat langsung atasannya menyuruh melanggar aturan dan menyalahgunakan kewenangan. Kejadian ini meningkat dari 2016 sampai 2017.

Masalah suap dan gratifikasi, Riau sangat mengkhawatirkan karena berada di posisi 3. Sekitar 45 persen pegawai di Riau percaya, suap dan gratifikasi akan merubah karir mereka lebih baik ketika menghadapai promosi atau mutasi jabatan.

Tapi, kalau pengalaman mendengar atau melihat langsung, hanya 6 persen pegawai di Riau yang bersentuhan dengan kejadian itu. Sebab itu, Riau hanya di peringkat 8 dari 10 pemerintah daerah di Indonesia yang disurvei.

Untuk membangun budaya anti korupsi, salah satu caranya adalah, berani melaporkan praktik korupsi yang terjadi di lingkungan kerjanya. Hanya saja, masih banyak pegawai di Riau yang takut dikucilkan, diberi sanksi atau dihambat karirnya. Terbukti, 33 persen pegawai di Riau masih dibayang-bayangi rasa takut akan hal itu. Riau pun duduk di posisi 2 di bawah Sulawesi Tengah.

Biasanya, salah satu dampak pembiaran terhadap praktik korupsi akan memberi kesempatan dalam melakukan mark up anggaran. Banyak pegawai yang tahu bahkan bersama-sama melakukan praktik lancung. Peringkat 5 kategori penggelembungan anggaran di Riau bukti nyata yang sampai sekarang masih terjadi.

Parahnya lagi, Pemerintah Riau merajai penyelewengan perjalanan dinas dengan membuat perjalanan palsu, kuitansi palsu dan hotel tempat menginap palsu. Ini peringkat tertinggi bagi Riau sekaligus kabar buruk dari keseluruhan aspek yang disurvei oleh bagian pencegahan KPK.

 

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

 Polda Riau

Sepanjang 2018-2019, Polda Riau menangani tindak pidana korupsi sebanyak 32 kasus. Masing-masing untuk pengadaan barang dan jasa 8 kasus, perizinan 5 kasus, penyalahgunaan APBD 11 kasus, pendidkan 2 kasus dan dana desa 6 kasus.

Jumlah tersangka ada 46 orang. Rinciannya, ASN 32 orang, kepala desa 9 orang, pejabat 2 orang, pensiunan ASN 5 orang dan pegawai BUMN 1 orang. Kasus yang dapat diselesaikan atau P21 hingga Juli 2019 berjumlah 46 kasus. Dugaan kerugian negera dari keseluruhan kasus sekitar Rp 16.902.907.190.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Sepanjang 2018, KPK menerima 193 pengaduan masyarakat di Riau. Jumlah itu terbanyak ketujuh setelah DKI Jakarta 855, Jawa Timur 655, Jawa Barat 639, Sumatera Utara 545, Jawa Tengah 401 dan Sumatera Selatan 280. Untuk di Sumatera, Riau merupakan peringkat ketiga terbanyak. Jumlah ini berkurang dari tahun sebelumnya, namun posisinya tidak berubah baik di Sumatera maupun Indonesia keseluruhan.

KPK juga masih menerima 24 laporan gratifikasi dari Riau. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 18 laporan. Peningkatan jumlah laporan juga diikuti kenaikan peringkat dari posisi 15 jadi 13 dibanding dengan seluruh provinsi di Indonesia. Di Sumatera, Riau tetap menduduki posisi 5. Sama seperti tahun sebelumnya.

KPK mencatat, sejak 2004 sampai 2018, telah menangani 40 tindak pidana korupsi di Riau dan Kepulauan Riau. Ia terbanyak ke 5 di Indonesia dan ke 2 di Sumatera setelah Sumatera Utara dengan 57 kasus.

Seperti yang dijelaskan pada pendahuluan, tahun ini KPK berhasil menyeret Mantan Kepala Dinas PU Bengkalis sekaligus Sekda Dumai Muhammad Nasir ke pengadilan bersama seorang swasta. Dan menunggu giliran Zulkifli Adnan Singkah serta Amril Mukminin.

Kejaksaan Tinggi Riau

Sepanjang 2018 sampai pertengahan 2019, ada 105 perkara yang ditangani dari 33 terdakwa. Jumlah kerugian negara dari keseluruhan perkara sekitar Rp 27.069.971.373,53.

Pengadilan Negeri Pekanbaru

Pada 2018, ada 64 perkara yang telah diputus oleh majelis hakim dan 39 perkara periode Junuari sampai 25 Juli 2019. Beberapa sektor yang jadi bancakan antara lain; pengadaan barang dan jasa 29 perkara, APBD 9 perkara, dana desa 7 perkara, dan 19 perkara lainnya.

Pada 2019, sektor korupsi relatif sama. Pengadaan barang dan jasa 17 perkara, APBD 2 perkara, pendidikan 2 perkara, dana desa 7 perkara dan 6 perkara lainnya.

Sedangkan jumlah pelaku korupsi dua tahun terakhir juga sama. Pada 2018, ada 31 ASN yang divonis, anggota Polri 1, Kades 6 dan 26 lainnya. Tahun ini ASN juga masih mendominasi sebanyak 17 orang, Kades 7 orang, pegawai BUMN 1 orang dan 14 orang lainnya.

Jumlah kerugian negara dari keseluruhan kasus yang divonis adalah, Rp 150.991.237.378 pada 2018. Jumlah kerugian negara pada 2019 lebih banyak meski perkaranya lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya, yakni Rp 291.241.445.405.

Pengadilan Tinggi Pekanbaru

Ada 10 perkara yang masuk ke tingkat banding pada 2018. Diantaranya 1 perkara dana hibah, dana desa 4 perkara, dana koperasi 1 perkara, APBD 3 perkara dan 1 perkara penerbitan sertifikat tanah. Pelakunya 5 orang ASN, wiraswasta 3 orang, swasta 1 orang dan 1 orang pengacara. Total kerugian negara Rp 60.754.368.528.

Tahun ini, baru 5 perkara yang diputus oleh majelis hakim mulai Januari sampai Juli 2019. Lebih dari jumlah itu masih dalam proses. Perkara yang telah diputus terdiri dari dana hibah, dana desa dan pendidikan masing-masing 1 perkara serta 2 perkara APBD. Pelakunya 2 orang ASN serta 1 orang pensiunan ASN, swasta dan kepala desa. Jumlah kerugian negara Rp 4.025.656.622.

Keterbukaan Informasi

 Komisi Informasi Riau

Keterbukaan informasi di Riau masih jadi masalah tiap tahunnya. Hal itu ditandai dari jumlah sengketa informasi yang ditangani Komisi Informasi (KI) Riau.

Tahun 2018, KI menangani 25 sengketa dan hampir setara jumlahnya tahun ini sebanyak 23 sengketa per Januari-Juli 2019.

Sektor yang jadi sengketa di KI pada 2018 antara lain, pengadaan barang dan jasa 3 kasus, perizinan 3 kasus, APBD 11 kasus, pendidikan 3 kasus serta dana desa 1 kasus. Pada 2019, sektor yang disengketakan juga masih sama. Pengadaan abrang dan jasa 7 kasus, perizinan 11 kasus, APBD 12 kasus dan pendidikan 3 kasus.

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah instansi yang paling banyak jadi termohon. Pada 2018, Pemerintah Porvinsi 11 kali jadi termohon dan 12 kali untuk Pemkab atau Pemkot. Begitu juga pada 2019, masing-masing 4 dan 14 kali.

Ombudsman Riau

Laporan masyarakat yang diterima Ombudsman juga banyak berhubungan dengan pelayanan pemerintah daerah. Ia masih jadi persoalan baik pada 2018 maupun 2019. Rinciannya, sebagaimana tabel di bawah ini:

No Instansi yang Dilaporkan Jumlah Laporan
2018 2019 (Juli)
1 Pemerintah Daerah 88 34
2 Kepolisian 26 6
3 BUMN/BUMD 23
4 Badan Pertanahan Nasional 9 10
5 Kementerian 5 5
6 Pengadilan 5 3
7 BKN 3 1
8 Kejaksaan 2
9 BNN 1
10 Rumah Sakit Swasta 1
11 OJK 1
Jumlah 163 60
Komisi Yudisial

Pertengahan 2019, Komisi Yudisial (KY) menerima 1183 laporan masyarakat. Hampir semua jenis perkara jadi obyek laporan. Khusus perkara Tipikor ada 22 laporan. Hampir semua badan peradilan juga dilaporkan ke KY, termasuk Peradilan Tipikor sebanyak 11 laporan. Di Riau, ada 28 laporan yang diterima KY. Jumlah itu terbanyak ke 6 dari 10 provinsi yang banyak dilaporkan ke KY.

Tahun lalu, jumlah laporan masyarakat ke KY sedikit lebih banyak yakni 1719 laporan. Jenis perkara dan badan peradilan yang dilaporkan juga sama. Perkara Tipikor 76 laporan dari 51 laporan Peradilan Tipikor. KY terima 65 laporan dari Riau, terbanyak ke 8 dari 10 provinsi.

Temuan dan Analisis

Zulkifli AS dan Amril Mukminin adalah aktor dalam penandatanganan deklarasi anti gratifikasi Pemerintah Daerah se-Riau pada 9 November 2016. Salah satu komitmennya, tidak menerima dan memberi suap atau uang pelicin dalam bentuk apapun.

Mereka juga bagian dari peserta deklarasi pembangunan integritas saat penutupan Rembuk Integritas Nasional pada puncak peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Pekanbaru 9 Desember 2016 lalu.

Deklarasi pembangunan integritas menghasilkan lima poin. Salah satunya, sepakat menjadi pionir dalam membangun budaya integritas pada sektornya dengan mengajak dan melibatkan pemangku kebijakan.

Di Riau, masih berlangsung praktik gratifikasi dan kerap terjadi penyalahgunaan kewenangan. KPK masih menempatkan Riau dalam 10 besar provinsi terkorup di Indonesia. Dari penegakan hukum yang berlangsung, korupsi pengadaan barang dan jasa masih menjadi yang utama. Mayoritas pelakunya adalah ASN. Salah satu penyebab yang dapat dilihat adalah, masih kurangnya keterbukaan informasi publik dan persoalan pelayanan pemerintah, seperti laporan KI dan Ombudsman.

Pada 31 Mei 2018, Plt Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim menerbitkan SK No. Kpts.390/V/2018 tentang, Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi tahun 2018 dan 2019 serta Satuan Tugas Pelaksana Rencana Aksi.

Dalam laman resmi Korsupgah KPK, capaian rencana aksi pencegahan korupsi di Riau baru 19 persen per 9 Mei 2019. Untuk kabupaten dan kota, rinciannya sebagai berikut:

Bengkalis 17 persen, Indragiri Hilir 20 persen, Indragiri Hulu 18 persen, Kampar 19 persen, Kepulauan Meranti 20 persen, Kuantan Singingi 19 persen, Pelalawan 15 persen, Rokan Hilir 19 persen, Rokan Hulu 19 persen, Siak 20 persen, Dumai 17 persen dan Pekanbaru 19 persen. Penilaian terakhir untuk kabupaten dan kota di Riau baru dilakukan pada awal tahun 2019.

Korsupgah KPK memberi penilaian pada 8 area intervensi. Progres Perencanaan dan penganggaran APBD baru mencapai 34 persen, pelayanan terpadu satu pintu 55 persen, kapabilitas APIP 10 persen dan manajemen aset daerah 39 persen.

Sedangkan, pengadaan barang dan jasa, manajemen aparatur sipil negara, optimalisasi pendapatan daerah dan tata kelola dana desa belum ada kemajuan sama sekali alias nol persen.

Catatan penting dari Korsupgah KPK, kemajuan yang dicapai tidak serta-merta menjamin daerah bebas dari tindak pidana korupsi.

Capaian rencana aksi pemberantasan korupsi di Riau cenderung menurun sejak tiga tahun terakhir. Pada 2017, Korsupgah KPK beri penilaian 78 persen. Satu tahun kemudian 76 persen dan hanya 19 persen tahun ini, meski ada waktu 5 bulan lagi sebelum 2019 berakhir.

Catatan lainnya, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Riau belum menerapkan instruksi Pemprov Riau di internalnya. Transparansi dan akses informasi kinerja OPD belum terbuka meski Gubernur telah menginstruksikan lewat RAD. Juga belum ada ruang partisipasi publik sehingga masyarakat belum sepenuhnya terlibat mencegah korupsi karena tidak ada sosialisasi sampai ke tingkat tapak.

Lebih 100 hari kerja, Syamsuar diingatkan KPK supaya berhati-hati melakukan mutasi jabatan yang harus melalui assessment terbuka. Jangan sampai ada suap dalam proses pengangkatan jabatan. Lebih 100 hari kerja, Syamsuar juga tidak menyinggung pencegahan dan pemberantasan korupsi di Riau. Buktinya, Syamsuar tidak memperpanjang SK Gubernur tentang Renaksi pemberantasan korupsi terintegrasi yang telah berakhir Mei 2019.

Padahal, saat mencalon Gubernur, Syamsuar menyatakan, salah satu kebijakan prioritasnya mewujudkan budaya kerja pemerintahan yang bebas korupsi bermartabat dan terpercaya. Namun, setelah terpilih, kebijakan prioritas tersebut tidak disebutkan dalam 10 program kerja 100 hari.

KPK progres dalam penanganan korupsi sektor pengadaan barang dan jasa dengan aktor elit politik seperti bupati, walikota dan Sekda. Terobosan terbaru KPK pertamakalinya menetapkan korporasi dan pemilik sebagai tersangka. Diantaranya, PT Palma Satu, Suheri Tirta dan Surya Darmadi tersangka suap alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit dalam draft RTRWP Riau.

Meski progress, KPK melupakan kasus lama yang harusnya mereka selesaikan seperti kasus korupsi kehutanan. Kasus ini telah berjalan 11 tahun. KPK sama seperti penegak hukum lainnya, tidak berani melawan korupsi sektro HTI yang dimiliki taipan Eka Tjipta dan Sukanto Tanoto.

Polda Riau misalnya, belum menyentuh elit politik seperti yang dilakukan KPK termasuk korporasi dan pemilik perusahaan. Kinerja itu juga diikuti oleh Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi.

Dalam hal keterbukaan informasi, jumlah sengketa informasi dan pengaduan atas pelanggaran administrasi cenderung meningkat. Badan publik yang banyak dilaporkan adalah lembaga pemerintah daerah dan kepolisian.

Komisi Yudisial juga tidak sepenuhnya terbuka terhadap informasi hakim yang dilaporkan. Informasi yang diberikan ke publik hanya jumlah laporan oleh masyarakat, tapi tidak jumlah hakim yang dilaporkan. KY masih lamban menyelesaikan laporan masyarakat. Buktinya laporan Senarai pada 2015 baru selesai pada 2017. Secara umum, ribuan laporan masyarakat yang diterima hanya selesai beberapa kasus dalam satu tahun laporan tersebut.

Penutup

Kesimpulan

Lebih 100 hari kerja Syamsuar tidak menggambarkan komitmen pemberantasan korupsi dan mengeluarkan Riau dari zona merah korupsi, termasuk penegakan hukum pemberantasan korupsi. Meski menunjukkan trend bagus tapi gambaran mengeluarkan Riau dari zona merah korupsi tidak terlihat. Ditambah pula masalah transparansi, ruang partisipasi publik belum terbuka.

Rekomendasi

  • KPK rancang ulang konsep mengeluarkan Riau dari zona merah korupsi dengan cara memimpin langsung pencegahan korupsi terintegrasi dan membuka ruang partisipasi publik.
  • Syamsuar menegaskan komitmen anti korupsi sebagaimana janji kampanyenya, dengan menambahkan satu poin komitmen pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor sumberdaya alam dan pengadaan barang dan jasa. Serta membuat rencana aksi dan road map bersama Muspida Provinsi Riau untuk mengeluarkan Riau dari zona merah korupsi.
  • KPK segera menetapkan pihak swasta terutama korporasi dan pemilik industri hutan tanamanan, pulp and paper sebagai tersangka, sebagai tindak lanjut penangan korupsi kehutanan.

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube