TEMBILAHAN, 5 DESEMBER 2014 — Satu hari pasca penundaan agenda sidang pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada 21 orang terdakwa kasus pembakaran alat berat PT. SAL di Pengadilan Negeri Tembilahan, WALHI Riau secara tegas menyatakan komitmennya untuk memberikan dukungan kepada 21 orang tersebut untuk mendapatkan keadilan. Sebagaimana diketahui, pada sidang pertama dalam perkara ini, 21 orang tersebut telah didakwa Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 170 ayat (1) dan Pasal 406 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
“Dukungan WALHI Riau kepada para terdakwa yang perkaranya dipisahkan dalam dua berkas tersebut dilakukan dengan memperhatikan motif ke 21 orang tersebut untuk mempertahankan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perbuatan pembakaran alat berat PT. SAL dilakukan guna melindungi hutan rawa gambut desa mereka yang dirusak oleh PT. SAL dengan melakukan aktivitas land clearing dan pembangunan kanal. Apabila aktivitas pembukaan lahan dan pembangunan kanal tersebut terus dibiarkan, masyarakat berkeyakinan akan berakibat kerusakan hutan rawa gambut tempat mereka menggantungkan hidup, membuat kapal tradisonal, mencari nafkah dari kekayaan alam hutan, mencari ikan dan hutan rawa gambut jadi sumber air bagi masyarakat pada musim kemarau tiba,” ujar Even Sembiring, Deputi Direktur WALHI Riau.
Berdasarkan motif tersebut, 21 orang ini dapat dikategorikan sebagai pejuang lingkungan hidup, yang mana dalam Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa pejuang lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Selain dapat dikategorikan sebagai pejuang lingkungan hidup, formulasi Pasal 49 KUHP juga dapat dioperasionalkan guna melindungi 21 pejuang lingkungan hidup tersebut, dimana perbuatan para terdakwa dapat dilihat sebagai suatu pembelaan terpaksa guna melindungi kehormatan dan harta benda mereka yang dirusak atau terancam hancur karena ulah pengrusakan hutan oleh PT. SAL. Kerusakan hutan rawa gambut akan mengakibatkan serangan binatang buas seperti harimau dan beruang yang kehilangan habitat aslinya. Selain ancaman binatang buas tersebut, kerusakan hutan rawa gambut berpotensi merusak perkebunan kelapa warga karena serangan hama serangga.
Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau yang dihubungi via telpon menyebutkan, “perbuatan warga yang membakar alat berat PT. SAL tidak boleh sekedar dilihat sebagai perbuatan pidana biasa, apabila diperhatikan dari kronologi awal kejadian, ada kecacatan dalam proses penerbitan izin perkebunan kelapa sawit kepada PT. SAL oleh Pemkab Indragiri Hilir ketika dipimpin Indra Mukhlis Adnan, seperti tumpang tindih areal dalam IUP dengan kawasan moratorium dan dua areal konsesi HTI dan sebagian besar areal IUP yang berada di areal gambut yang kedalamannya lebih dari 3 meter. Selain pelanggaran terhadap syarat administrasi tersebut, areal IUP yang berada dikawasan hutan sama sekali tidak boleh dilakukan aktivitas land clearing ataupun pembangunan kanal selama belum diterbitkan keputusan Menteri Kehutanan mengenai perubahan status kawasan.”
Carut marut penerbitan IUP kelapa sawit PT. SAL ini semakin diperparah dengan sikap angkuh korporasi perkebunan kelapa sawit ini yang terus melakukan aktivitas walaupun sudah mendapatkan rekomendasi berhenti beroprerasi di Desa Pungkat dari Pemerintah Kabupaten dan DPRD Indragiri Hilir. Sikap arogan yang tidak tunduk terhadap kebijakan pemerintah daerah inilah yang menyebabkan kemarahan warga dan berakibat pada kejadian pembakaran 9 alat berat miliknya.
Bahkan keserakahan PT. SAL juga tidak berakhir, pasca kedatangan Bupati Indragiri Hilir, Wardan pada beberapa waktu lalu setelah operasi penangkapan, penahanan dan penggeledahan yang tidak sesuai prosedur KUHAP dan Perkap oleh Polres Inhil terhadap warga Desa Pungkat, malah disikapi dengan tindakan perusahaan yang kembali beraktivitas di Desa Pungkat dan desa sekitarnya.
Sekitar minggu ketiga November lalu, Komnas HAM telah mengirimi surat permintaan penjelasaan kepada Polda Riau dan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir terkait pelanggaran penggunaan upaya paksa yang dilakukan Polres Indragiri Hilir dan penerbitan IUP PT. SAL oleh Pemkab Inhil. Surat Komnas HAM tersebut juga diterima WALHI Riau selaku secretariat Gertak SAL (Aliansi OMS yang mendukung perjuangan masyarakat Desa Pungkat), yang mana kepada dua instansi tersebut untuk merespon surat dari Komnas HAM 30 hari kerja semenjak diterima. “Merujuk pada surat Komnas HAM, kami meminta kepada Polda Riau dan Pemkab Inhil untuk secara transparan merespon surat tersebut dan menembuskan kepada Gertak SAL selaku pihak yang melaporkan kepada Komnas HAM’, ujar Even Sembiring. “Pihak kepolisian provinsi dan kabupaten tidak merespon surat yang seharusnya menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan tegas terhadap aparat yang melakukan penangkapan tidak sesuai dengan prosedur.”
Dari pemantauan sementara sidang di Pengadilan Negeri Tembilahan, kejadian pembakaran alat berat adalah rangkaian kejadian yang di motori oleh tujuh orang, warga sering sebut mereka “tujuh jendral”. Mereka ini yang awalnya menolak kehadiran PT SAL untuk melakukan pembukaan lahan di kawasan hutan rawa gambut. Namun gerakan penolakan terhadap PT SAL semakin besar, ketujuh orang ini menghilang dan tidak pernah lagi bergabung melakukan penolakan.
Sejauh ini, jalannya sidang baik Jaksa dan Hakim masih berfokus pada uraian dakwaan yang sama sekali tidak memuat kronologi kejadian pembakaran dari awal. Dukungan WALHI Riau terhadap 21 orang pejuang lingkungan hidup ini, sama sekali tidak membenarkan tindakan pembakaran yang terjadi, WALHI Riau berpandangan dukungan terhadap para terdakwa ditujukan agara Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim dalam perkara ini memperhatikan motif perjuangan masyarakat guna mempertahankan kelestarian hutan rawa gambut yang menjadi penopang hidup warga Desa. Hal ini senada seperti yang diungkapkan salah seorang terdakwa yang menyebutkan, bahwa “perjuangan mereka mempertahankan hutan bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi untuk generasi seterusnya, untuk anak cucu, bahkan bagi mereka yang masih ada di dalam kandungan.
Berdasarkan kronologi dan fakta kejadian ini, WALHI Riau menuntut agar proses peradilan yang adil harus berlangsung, pembebasan 21 pejuang lingkungan hidup melalui katup pengaman dalam UU PPLH maupun KUHP dapat dipergunakan untuk melindungi dan menghapus sifat dapat dipidana perbuatan 21 orang terdakwa yang pada dasarnya merupakan korban dari sistem perizinan yang buruk. WALHI juga berkeyakinan, sarana peradilan masih mampu memberikan perlindungan dan keadilan bagi rakyat kecil yang bergantung hidup dari kelestarian hutan rawa gambut Desa Pungkat.
Wawancara lebih lanjut sila hubungi:
– Riko Kurniawan (081371302269)
– Even Sembiring (085271897255)