Sidang ke-8 – Agenda Mendengarkan Keterangan Ahli
PN Pelalawan, Kamis 6 Februari 2020 – Hakim Ketua Bambang Setyawan dan dua hakim anggota kembali membuka persidangan kasus kebakaran hutan dan lahan di lahan konsesi PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS), Kamis (6/2/2020). Ini adalah sidang kedelapan dengan terdakwa diwakili Direktur Utama Eben Ezer Djadiman Halomoan Lingga dan Pjs Estate Manager Alwi Omri Harahap.
Sidang kali ini mendengarkan keterangan empat ahli. Nelson Sitohang, ahli dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau; Bambang Hero, Ahli Kebakaran Hutan dan Profesor bidang Perlindungan Hutan IPB; Alvi Syahrin, Ahli Pidana Korporasi dan Profesor di USU; Basuki Wasis, Ahli Kerusakan Tanah dan Lingkungan dari IPB. Berikut masing-masing keterangannya:
Nelson Sitohang
Ia menjelaskan hubungan perusahaan dengan wajib Amdal. Berdasarkan Permen LH Nomor 05 tahun 2012 yang kemudian diganti dengan Permen LHK Nomor 38 Tahun 2019, untuk perkebunan, dengan luasan lahan 3.000 hektare ke atas wajib Amdal. Dengan atau tanpa PKS. Untuk mendapatkan Amdal, perusahaan akan menyusun dokumen amdal yang kemudian akan disampaikan kepada instansi berwenang. Untuk kemudian dilakukan penialian. Jika sudah, maka akan ada keputusan kelayakan dan tidak layak.
Jika perusahaan sudah diberi wajib Amdal, maka harus mematuhi ketentuan Amdal. Nelson mengaku sudah melihat dokumen Amdal PT SSS. Ia sampaikan bahwa dokumen Amdal PT SSS sudah disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan dalam hal ini bupati pada 2013.
Ada beberapa poin dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan—salah satu dokumen Amdal— terkait kewajiban perusahaan yang harus dipenuhi. Yakni pembukaan lahan tanpa bakar, adanya menara pemantau api, program latihan untuk karyawan, membentuk tim penanggulangan kebakaran, memanfaatkan saluran parit, membuat parit persediaan air, membuat pos-pos pada daerah rawan terbakar, melakukan kerjasama dengan instansi terkait, membuat peringatan himbauan di perbatasan lahan, dan lain sebagainya.
“Kesemua item itu harus dipenuhi oleh perusahaan,” jelas Nelson. Namun Nelson mengaku belum lihat apakah isi RKL itu sudah dilaksanakan atau belum oleh PT SSS. Ia hanya disodorkan data mengenai izin Amdalnya.
Izin lingkungan yang dikeluarkan itu nantinya akan diawasi, ada dua bentuk pengawasan: pengawasan langsung dan tidak langsung. Bentuk pengawasan langsungnya ialah dengan mendatangi perusahaan dan mengecek kebenaran dokumen dengan hal yang sudah diterapkan, sedangkan pengawasan tidak langsung dilakukan dengan melihat laporan perusahaan tiap semester.
Dalam laporan itu akan tercatat keseluruhan aktifitas yang dilakukan perusahaan.
“Namun pengawasan langsung lebih bergantung kepada biaya pengawasan, semakin banyak perusahaan semakin sedikit pengawasan langsung,” tambah Nelson. Namun ia menekankan, diawasi secara langsung atau tidak perusahaan harus dan wajib mengimplementasikan kesemua item dalam RKL RPL tersebut.
Tujuan pengawasan itu untuk mengukur tingkat ketaatan yang mendapat izin lingkungan. Outputnya laporan pengawasan.
Lebih lanjut Nelson jelaskan, jika perusahaan melakukan usaha bertahap dan tidak langsung dengan luasan 3.000 hektare, maka ia harus mengurus dokumen upaya pengelolaan dan dokumen upaya pemantauan lingkungan. “Jika nantinya luasan akan ditambah hingga 3.000, maka dokumen itu harus diganti jadi dokumen Amdal.”
Jika ingin merencanakan naik jadi 3000 ha, haruslah disusun izin Amdalnya. Amdal harus keluar sebelum luasan ditambah. Tidak boleh dilakukan parallel apalagi mendahului izin.
Jaksa Syafril menanggapi pernyataan Ahli Nelson, “Jika izin usaha perkebunan keluar setahun sebelum Amdal keluar, bisakah?”
“Harusnya tidak, karena sudah ketentuan. Kalau sudah terbit IUP harusnya yang terbit selanjutnya bukan Amdal, tapi DLH dan DPLH,” jawab Nelson. “Amdal itu kata kuncinya, belum ada aktifitas.”
Menurutnya jika ternyata terjadi ketidaktepatan, maka akan muncul sanksi administrasi. Muatannya apa yang ditemukan, apa yang dilanggar, dan apa yang harus dilakukan. Jika tidak dilakukan maka aka nada sanksi lanjutan, mulai dari tertulis, pembekuan izin, hingga pencabutan izin.
Selain dokumen Amdal, ada banyak aturan lain yang harus ditaati oleh perusahaan. “Sebagai contoh PP 04 Tahun 2001, di sana sangat banyak contoh pasal mulai dari mencegah hingga penanggulangan. Lalu, Peraturan Menteri Pertanian No 05 Tahun 2018, lihat Permen LH Nomor 32 Tahun 2016. Banyak aturan yang wajib diikuti dan diterapkan dalam tata kelola perusahan.”
Dalam PP 04 Tahun 2001 misalnya, dalam pasal 13 dijelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Di pasal 14 ayat satu, wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
Ayat selanjutnya, menjelaskan terkait sarana dan prasarana yang wajib dipenuhi: sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan; prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.
“Jika sistem deteksi dini pencegahan kebakaran bagus maka tidak akan terjadi kebakaran,” ujar Nelson.
Makhfuzat Zein, Kuasa Hukum PT SSS lalu menanggapi penjelasan Nelson Sitohang. Ia sampaikan, izin lingkungan PT SSS ada, “Otomatis telah memenuhi kriteria yang anda sebutkan tadi, pertanyaan saya, dikenal tidak dalam suatu pengelolaan ini, istilah darurat atau forced major untuk mendeteksi upaya pencegahan. Sementara di dokumen Amdal dan lain dianggap sudah memenuhi?”
“Apakah semua yang disebutkan dalam Amdal dan peraturan lainnnya sudah diterapkan atau tidak? Lalu apakah alasan perusahaan mengatakan bahwa sesuatu itu forced major? Karena saya tidak menemukan ada istilah forced major dalam perundangan. Lain hal misalnya gunung meletus, itu bias jadi kriteria yang make sense. Namun di luar itu, jika semua aturan tersebut dilakukan mestinya tidak akan terjadi kebakaran,” jelas Nelson.
Kemudian terkait sanksi, Nelson jelaskan. Sanksi administrasi tidak membatalkan sanksi pidana. “Itu dijelaskan dalam pasal 78 dalam UU 32 Tahun 2009.” Nah kemudian dapat dilihat, jika dari kebakaran tersebut menghasilkan aspek pidana lingkungan maka akan tetap dilanjutkan.
Kemudian Even Ezer menanggapi Ahli Nelson. Ia mengaku tidak pernah menerima respon atas laporan yang perusahaannya kirim. “Kami tidak dapat feedback, sehingga tidak tahu apa kekurangan kami, bagaimana menurut ahli?”
“Ketika perusahaan bapak tidak mendapat feedback, bukan berarti perusahaan menjadikannya alasan pembenar terjadinya kebakaran. Ada banyak laporan yang masuk sehingga tidak semua tercover. Namun kembali lagi, ada tidaknya feedback bukan berarti jadi alasan bagi perusahaan.
“Bahkan dengan penjelasan detil dari perusahaan tentang yang sudah dilakukannya masih saja terjadi kebakaran, dan sudah dilakukan pengawasan dari kementrian, tetap saja terjadi temuan dalam sarana dan prasarana yang mendasar.”
Alvi Syahrin
Guru Besar Pidana USU ini menjelaskan, pertanggungjawaban pidana diatur dalam pasal 116 UU No 32 Tahun 2009. Isinya, apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
Bisa juga dikenakan pada orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
“Namun jika tindak pidana dilakukan oleh orang, berdasarkan hubungan kerja atau badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”
Lebih lanjut Alvi Syahrin jelaskan, jika korporasi melakukan pelanggaran maka korporasi harus bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
Jika ada korporasi yang sudah melakukan beberapa tindakan untuk memenuhi dokumen Amdal, namun masih terjadi kebakaran, apakah korporasi masih dimintai pertanggungjawaban?
Jika merujuk pada pasal 69 ayat 1 huruf a, artinya perbuatan ini harus dilakukan dengan sengaja. Artinya, jaksa harus mencari pembuktian bahwa kasus ini dilakukan dengan sengaja. “Itu adalah konsekuensi dari pasal ini,” jelas Alvi.
Lalu dapat dilihat, apakah perusahaan tidak melakukan upaya-upaya dengan sarana prasarana sehingga terjadi kebakaran? Jika tidak, maka menjadi alasan sengaja berpusat kemungkinan. “Jika tidak dapat dibuktikan bahwa itu disengaja, maka kita tidak menggunakan pasal 108, tapi masuk ke pasal UU Perkebunan.”
Jika masuk ke UU Perkebunan, maka yang harus dibuktikan adalah, lahan tersebut masuk ke dalam kawasan perkebunan.
Lebih lanjut Alvi Syahrin jelaskan. Dalam UU 32 tersebut, ada indikasi tentang kewajiban. Yakni kewajiban memelihara fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran lingkungan. Penjelasan tentang pengendalian di dalamnya ada upaya preventif, upaya represif, dan pemulihan.
“Oleh karenanya, saya tidak bias menilai kasus ini—PT SSS—karena yang tahu itu adalah hasil persidangan. Tapi itulah yang dilihat terkait dengan pidana korporasi dan pembuktian terkait pasal 108,” jelas Alvi.
Lalu untuk kelalaian dapat digunakan teori membayangkan. “Apakah perusahaan dapat membayangkan kalau tidak melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, akan menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan.”
Alvi lalu menjelaskan, direksi tidak dapat lari dari tanggungjawabnya. Karena di situ ada hubungan kerja, maka perlu dilihat apa-apa yang jadi kewenangan pekerja. Apakah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan masuk ke dalam perjanjian kerja, kalau tidak masuk maka tanggungjawab itu tetap pada direksi.
Jaksa Syafril menanggapi penjelasan Ahli Alvi Syahrin. Ia sampaikan, Riau sering terbakar. Pemerintah sudah memberi peringatan dan seluruh perusahaan sudah tahu. “Lalu ada perusahaan yang tidak melengkapi sarana prasarana, personel tidak dilatih, serta lalai sehingga terjadi kebakaran di konsesinya, apakah dapat dikenakan pasal 108?”
Jika ingin dikenakan pasal 108, maka unsur utama yang harus dipenuhi adalah kesengajaan. Namun jika perusahaan ada usaha untuk mencegah terjadinya kebakaran atau kerusakan lahan, namun tetap terjadi kebakaran, maka bisa dipakai kelalaian, dan itu di pasal 99.
Alvi Syahrin lalu menegaskan, tindak pidana sebagai mana yang diatur dalam ketentuan pidana. Sedangkan kesengajaan dalam pasal 69 itu terkait pertanggungjawabannya. Apakah seseorang itu dinyatakan bersalah atau ada tidaknya alasan pemaaf. Kalau tindak pidananya tetap dalam aturan tindak pidana.
“Saya sekali lagi tidak mau menilai dalam kasus ini. Sepanjang tidak ada garapan masyarakat dan masyarakat tidak melakukan pembakaran, maka ini tetap menjadi tanggung jawab korporasi,” imbuh Alvi.
Selanjutnya Alvi menjelaskan terkait sanksi pada pengurus, dalam hal ini pejabat sementara yang baru beberapa hari menjabat namun terjadi tindak pidana. Menurutnya perlu dilihat lagi terkait kewenangan yang dimilikinya untuk melaksanakan kewajiban yang telah diatur korporasi.
“Sebagai contoh, bisa saja di lakukan penunjukan hari ini lalu sorenya terjadi tindak pidana, maka itu sudah jadi kewajiban pejabat sementara itu.”
Bambang Hero
Prof Bambang Hero adalah ahli untuk kerusakan lingkungan dalam hal ini kebakaran hutan dan lahan. Sejak tahun 2000 hingga hari ini dan telah menangani hamper 500 kasus.
Ia menjelaskan, ada tiga faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Bahan bakar, oxygen, dan bahan penyulut. Ketiganya kami sebut fire triangle. “Karena kebakaran tidak akan terjadi tanpa adanya sumber penyulut. Tidak akan terjadi dengan sendirinya.”
Lalu penyulut kebakaran paling memungkinkan itu ada dua, alam dan manusia. Namun penyebab alam itu hanya dua yakni larva gunung berapi dan petir. Kalau petir itu dikaitkan dengan hujan, sedangkan larva dikaitkan dengan kondisi setempat. Perlu dilakukan ground check.
“Kenapa saya jelaskan begitu, karena banyak anggapan seolah-olah dengan gesekan daun, ranting saja bisa terbakar.”
Terhadap keterangan di atas, Bambang Hero mengaku sering jelaskan ketika mengisi kelas tentang kebakaran hutan dan lahan bahwa hal itu tidak terjadi. Ia menyodorkan daun, yang notabene benda mati. Ia tidak bisa bergerak sendiri, kemudian proses pemanasan terjadi 250-350o Celsius.
“Silakan bapak-bapak gosok sendiri, apakah bisa terbakar. Begitu juga dengan ranting,” jelas Bambang Hero. “Kalau begitu, kebakaran itu paling mungkin adalah perbuatan manusia.”
Perbuatan itu artinya ada maksud dibalik kebakaran. Lalu bagaimana mengantisipasi? Disitulah lalu muncul aktivitas terkait upaya pengendalian kebakaran.
Kesemua upaya pengendalian kebakaran itu sudah tertuang dalam kitab suci yang namanya dokumen Amdal.
Lalu untuk mengecek apakah kebakaran itu ulah manusia, dilakukanlah ground checking. Yakni untuk mengumpulkan informasi awal, seperti apa kebakarannya dan bagaimana proses, termasuk bahan bakar apa yang menyebabkan kebakaran terjadi.
Ketika penyidik memberi informasi terkait indikasi hotspot, biasanya Bambang akan mengecek ke satelit. “Dari situ bisa tahu, di mana saja ada indikasi peningkatan suhu. Dari situlah kami turun, untuk mengecek. Ketika turun, kami gunakan data sampling.”
Bambang Hero menjelaskan bahwa ia diminta penyidik untuk melakukan verifikasi terkait kasus PT SSS yakni tanggal 11 April 2019. Sebelum ia diminta, ia sudah memantau titik hostspot melalui monitor. Ada beberapa wilayah di Riau yang terdeteksi. Yang muncul pertanyaan lanjutan adalah, ini lahan siapa?
Setelah di overlay dengan peta, baru didapat bahwa lokasi ini termasuk di PT anu. “Lalu yang jadi pertanyaan lanjutan adalah, apakah kebakaran di 2019 ini hanya satu atau sebelum-sebelumnya pernah juga terjadi?”
Jika terjadi berulang berarti ada pembiaran. Dari situ juga bisa dilihat, ada tidak iktikad baik korporasi terkait kebakaran hutan itu. Terkait PT SSS, Bambang katakana bahwa ia dapat data bahwa kebakaran terjadi sekitar Februari-Maret 2019. Lalu di runut ke belakang, 2018, 2017, 2016, 2015, 2014, hingga 2013 terjadi kebakaran dalam konsesi PT SSS.
Ketika hendak turun lakukan ground checking maka pertama kali perlu dilakukan adalah mengecek apakah lahan itu gambut atau tidak. Jika gambut, akan ada special treatment berdasarkan PP 71 Tahun 2014. Lalu ditambahkan PP 57 tahun 2017.
Berbekal itulah Bambang Hero turun ke lapangan untuk memastikan, apakah telah dilakukan tindakan sesuai dengan yang diminta PP tadi. Ternyata, kanal tidak seperti yang diminta PP.
“Lalu kami cek lokasi kebakaran, dan kami cek sarana prasarana yang ada. Kami datang ke tempat penyimpanan untuk memastikan, karena jika penanganan kebakaran dilakukan dengan baik tidak akan menyebabkan kejadian sebesar itu,” jelas Bambang.
Selain alat dan perlengkapan ada, harus juga bekerja. Semua ini adalah sistem, jika alat ada namun tidak bisa bekerja maka sistem tidak akan jalan. Jika alat ada dan bisa digunakan tapi SDM tidak memadai juga sama saja.
Bambang dan penyidik turun dua kali ke konsesi PT SSS. Pertama untuk pidana, dan yang kedua untuk perdata. Berbekal itu, tim lalu mengambil plot untuk menjadi contoh. Ternyata setelah diambil sample ada arangnya. Bambang lalu mengecek ternyata pernah terbakar pada 2013 dan kini telah ditanami sawit.
Sample diambil dengan tujuan untuk memastika lahan terbakar atau tidak, serta sampai kedalaman berapa lahan terbakar. Karena untuk kedalaman gambut 10 cm saja membutuhkan waktu ratusan tahun.
Bambang jelaskan, meskipun mereka datang ke lokasi setelah kebakaran selesai bukan berarti tidak bisa dihitung emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kebakaran itu. Dengan menggunakan persamaan Crutzen, emisi yang dihasilkan dapat dihitung. Pertama, mengukur banyak bahan bakar yang terbakar. Lalu, dicari potensi bahan bakar per hektar, lalu dicari berapa yang terbakar. Setelah didapatkan lalu dimasukkan ke persamaan M= A x B x E. Adapun kehilangan karbon dari pembakaran M(C) dikalkulasikan sebagai: M (C) = 0,45 x M.
Dari persamaan itu akan didapat berapa CO2, karbon, metan, dan nilai lain untuk mengetahui emisi yang dihasilkan. Angka yang dihasilkan sudah melampaui kriteria baku mutu.
Berdasarkan amatan Bambang, kebakaran di konsesi SSS terjadi berulang. Bahkan ada yang terjadi di tempat yang sama. Hal ini menurutnya termasuk dalam faktor sengaja, karena kejadian serupa selalu berulang. “Sampai saya pada kesimpulan, itu bukan kelalaian, tapi kesengajaan.”
Jika lahan gambut terbakar, tidak akan mungkin bisa dilakukan pemulihan. Yang ada hanyalah mengembalikan fungsi kekosongan. Salah satu kerugian dari terbakarnya gambut ialah kerugian ekologis, yakni hilangnya kemampuan gambut untuk menampung dan menyimpan air. Lalu seberapa besar emisi karbon yang dilepaskan dari terbakarnya gambut. Ada 10 parameter yang diukur. Lalu selain kerugian ekologis, ada juga kerugian ekonomis.
Penggunaan kompos ini memerlukan biaya cukup besar. Dimana biaya itu untuk membuat kompos, biaya membawa ke lokasi, dan biaya aktifitas. Sehingga kerugian yang dihasilkan dari kebakaran 150 hektare sekisar Rp55 milyar.
Kemudian terkait sarana dan prasarana sebagaimana yang dicantumkan dalam Amdal, Bambang yang telah mengecek lapangan katakan bahwa Sarpras milik PT SSS tidak memenuhi kelayakan. Seperti menara yang hanya setinggi 6 meter, sedangkan kelayakan diatas 15 meter. Lalu peralatan yang disimpan di gudang masih bersih dan tampak belum pernah dipakai.
Seharusnya jika kesemua unsur terpenuhi, kebakaran tidak akan meluas. Sedangkan kasus di PT SSS kemarin, kebakaran meluas dan sulit dipadamkan. Padam pun terjadi karena ada hujan lebat.
“Beberapa faktor penyebab kebakaran semakin meluas adalah, pertama pembiaran, sumber daya manusia tidak memiliki skill, sarpras tidak menunjang, terakhir tidak ada itikad baik perusahaan.”
Basuki Wasis
Doktor Basuki Wasis turun memeriksa kondisi di lingkungan PT SSS bersamaan dengan Prof Bambang Hero pada 11 April 2019 dan 23 Agustus 2019. Ia memberi keterangan terkait kerusakan tanah dan lingkungan berdasarkan peraturan yang berlaku.
“Terkait kebakaran hutan diatur dalam PP No 4 Tahun 2001 untuk bisa dikatakan rusak atau tidak. Jadi definisi kerusakan lingkungan adalah perubahan langsung atau tidak terhadap perubahan fisik atau kimia, dan atau hayati yang melampaui kriteria baku mutu lingkungan hidup.”
Basuki Wasis ketika turun mengumpulkan smapel dengan metode purposive sampling di tanah yang terbakar dan tanah yang tidak terbakar (untuk dijadikan control). Lalu dilakukan pengamatan vegetasi dan binatang tanah.
Lalu untuk menentukan terjadi kerusakan atau tidak dilakukan dengan melihat fakta lapangan dan hasil labor. Beberapa metode pengukuran analisa tanah berdasarkan PP 4 Tahun 2001 ialah parameter sifat fisik tanah, mengukur kadar air tersedia, subsidence, dan bulk density; parameter sifat kimia tanah yang diukur C organic, N total, dan nilai pH; parameter kerusakan flora yang diukur adalah keragaman populasi dan populasinya; terakhir kerusakan fauna yang dihitung keragaman spesies, dan populasi.
Lalu berdasarkan Permen 7 Tahun 2014 dihitung berdasarkan Permen 7 Tahun 2014. Lahan yang terbakar seluas 150 hektare, lalu dihitung nilai untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang hilang akibat terbakar.
“Lahan yang terbakar ini kan gambut, gambut itu tersusun sangat lama. Dalam setahun hanya 3 mili tersusun, itupun kalau ada hutan rawa gambutnya. Jadi misal terbakar 30 cm, itu butuh ratusan tahun. Itu kalau ada hutan. Adapun gambut di Indonesia berumur 3000-4000 tahun.”
Lalu yang dihitung dari gambut yang rusak ini diambil rerata 10 cm gambut yang hilang, meskipun subsidence penurununan gambut ada yang 30 atau 40 cm, tapi yang diambil untuk penilaian hanya 10 cm.
Penghitungan pertama, gambut bertugas menyimpan air. Kalau terbakar, kemampuan untuk menyerap hujan dan menyimpannya hilang. Sebagai contoh, dari satu meter menjadi 90 cm. Kapasitas air yang bisa disimpan tadinya 1000m3 berkurang jadi 800m3, kehilangan ini yang kemudian diukur kerugiannya.
Biaya kerugian yang muncul dari terbakarnya lahan gambut di PT SSS sebagai berikut:
- Kerugian Ekologis dari kemampuan gambut menyimpan air. Luas lahan terbakar 150 hektare senilai Rp11milyar.
- Kerugian pengaturan tata air nilainya Rp30 ribu per hektare dikali 150 hektar, hasilnya Rp4,5 juta
- Kerusakan pengendali erosi senilai Rp1.225 ribu dikali 150 hektar, hasilnya Rp183.750.000
- Pembentukan tanah, dimana di sana ada banyak faktor seperti pengurai, binatang rendah, herbivora, karnivora, tumbuhan, dan lainnya yang rusak. Hitungannya Rp50 ribu per hectare dikali 150 hektare, hasilnya Rp7,5 juta
- Pendaurulangan unsur hara rusak dimana mikroba mati sehingga tanah tidak ternutrisi dengan baik. Nilainya Rp4.610 ribu dikali 150 hektare, hasilnya Rp691,5 juta
- Kerugian pengurai limbah senilai Rp435 ribu per hektare dikali 150 hektare, hasilnya Rp62 juta.
- Keanekaragaman hayati senilai Rp2,7 juta dikali 150 hektare. Ini sebenarnya merugikan karena nilai baik gajah, orang utan, belalang, semut yang mati sama yakni Rp2,7 juta. Lalu dari PT SSS didapat hasil kerugiannya Rp405 juta
- Sumberdaya genetik senilai Rp410 ribu dikali 150 hektare, hasilnya Rp61,5 juta.
- Pelepasan karbon yang tadi tersimpan dalam tanah senilai Rp410.000 dikali 675 ton—hasil analisa Prof Bambang—lalu dikali harga karbon per ton Rp90.000 per ton, hasilnya Rp60.750.000
- Perosot karbon senilai Rp90 ribu dikali 236,25 ton, hasilnya Rp21 juta.
Jadi total kerugian ekologis: Rp12.523.120.500
Lalu kerusakan ekonomi juga dihitung. Ekonomi sekitar tidak produktif akibat terjadinya kerusakan tersebut. Total biaya dari kerugian ekonomis ini adalah Rp17.310.330.390
Terakhir biaya pemulihan. “Hal ini perlu karena jika gambut dibiarkan, dia akan semakin rusak.” Cara pemulihannya yakni dengan pemberian kompos. Di sana ada biaya pengembalian kompos, pembuatan, biaya angkut, dan biaya penyebaran.
Kompos harus didatangkan dari luar, lalu dibawa dengan alat, di taruh di lokasi kebakaran, lalu disebar supaya merata. Total biaya pemberian kompos untuk 150 hektare yakni Rp30 milyar. Lalu biaya angkut Rp6 milyar, dan biaya penyebaran kompos Rp600 juta.
Lalu fungsi ekologis tadi harus dikembalikan karena binatang tanah tidak bisa hidup sendiri. Ini dilakukan supaya ekosistem tumbuh kembali. Biayanya Rp1.302.262.500. Sehingga total dari kerugian biaya itu Rp55.212.592.800.
Lalu dari hasil penelitian di lapangan dan di laboratorium, Basuki Wasis sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi kerusakan tanah dan lingkungan akibat kebakaran di perkebunan PT SSS seluas 150 hektare. Kerusakan yang terjadi telah masuk kriteria baku kerusakan sesuai PP Nomor 4 Tahun 2001 untuk kriteria kerusakan parameter keragaman spesies dan populasi flora, kerusakan parameter subsiden, kerusakan keragaman dan populasi fauna, dan hal hal yang dijelaskan di atas. #Rizki – Senarai