Sidang 20—Pembacaan Pledoi
PN Pelalawan, Selasa, 27 Oktober 2020—Majelis Hakim Bambang Setyawan, Joko Ciptanto dan Muhammad Ilham Mirza memimpin sidang pidana lingkungan hidup (Karhutla), terdakwa PT Adei Plantation and Industry diwakili Direktur Goh Keng Ee. Agenda sidang, mendengar pembelaan terdakwa yang disampaikan Penasihat Hukum Muhammad Sempakata Sitepu dan Suherdi.
Pada pendahuluan, Sitepu menyinggung, bahwa dakwaan yang dibuktikan penuntut umum dalam tuntutannya tidak berdasarkan fakta hukum di persidangan. Penuntut umum cenderung merujuk keterangan Ahli Basuki Wasis dan Bambang Hero Saharjo. Menurut Sitepu, keduanya tidak memenuhi syarat sebagai ahli.
Selain itu, Sitepu menilai, perkara kebakaran hutan dan lahan ini harusnya mendahulukan azas ultimum remedium. Maksud dia, proses pidana harusnya menjadi jalan terakhir setelah upaya hukum lain tidak ampuh menyelesaikan masalah.
Dalam berkas pembelaan setebal 105 halaman itu, Sitepu dan Suherdi menguraikan sejumlah fakta hukum, diantaranya:
Kebakaran dapat dipadamkan mulai pukul 16.30 hingga 22 atau lebih kurang 5 jam. Perusahaan semaksimal mungkin padamkan api agar tidak meluas. Sarana prasarana pemadam kebakaran mencukupi sesuai Permentan 5/2018. Meski menara api awalnya 8 unit, sekarang telah diperbaiki dan ditambah jadi 25 unit.
Tiap 6 bulan, PT Adei beri laporan kegiatan termasuk ketersediaan sarana prasarana pencegahan dan pegendalian kebakaran. Perusahaan memiliki regu patroli api dan petugas khusus pemadam kebakaran. Jika kurang masih dapat diperbaiki. Berdasarkan UU Perkebunan, perusahaan dikasih tenggat waktu 5 tahun untuk menyesuaikan atau memenuhi ketentuan tersebut.
PT Adei mengalami kerugian atas peristiwa kebakaran pada 7 September 2019 lalu. Keterangan Bambang Hero Saharjo tentang ganti kerugian tidak memiliki dasar hukum jelas. Penghitungannya harus mengikuti PermenLH 13/2011.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Pelalawan tidak pernah meninjau lokasi perusahaan yang terbakar, tidak pernah evaluasi sarpras pemadam kebakaran PT Adei, tidak pernah memperingati dan menegur PT Adei, padahal perusahaan itu rutin beri laporan tiap semester.
PT Adei telah menempatkan tim pemadam kebakaran dibantu karyawan dan 10 unit alat berat ke lokasi terbakar. Itu menunjukkan, perusahaan tidak alfa, membiarkan atau lalai. Bahkan perusahaan telah menerapkan prinsip kehati-hatian.
Bukti surat terkait kerusakan tanah tidak punya nilai pembuktian, karena penuntut umum tidak pernah memperlihatkannya pada terdakwa maupun saksi.
Disamping itu, menurut Yanto Santosa, kebakaran di PT Adei itu memang merubah komposisi tumbuhan bawah maupun satwa atau fauna. Tapi, masih dijumpai aneka jenis tumbuhan dan hewan. Artinya, tidak terjadi kepunahan 100 persen.
Kebakaran di gambut sulit dipadamkan sehingga memakan biaya sangat besar. Sementara, blok yang terbakar itu tidak menghasilkan apa-apa lagi.
Menurut Ahli Idung Risdiyanto, Blok 34 memang terindikasi mudah terbakar dan tergolong sulit dikendalikan, api mudah menyebar, pemadaman dengan isolasi dan pendinginan dapat stabilkan kondisi cuaca. Emisi gas dan partikel pencemar tidak memberikan dampak signifikan, meski tetap berkontribusi terhadap pencemaran udara dan peningkatan gas rumah kaca. Nilai kerugiannya dapat dihitung.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan juga, Sitepu berpendapat, tidak ditemukan kekurangan sarpras pengendalian kebakaran; tidak ada pelanggaran hukum dan PT Adei masih diberi kesempatan menyesuaikan Pasal 114 ayat 2 UU 39/2014.
PT Adei telah melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran dengan memenuhi beberapa hal, diantaranya: organisasi penyelamatan/penanggulangan kebakaran; rambu penentu level cuaca; rambu-rambu terkait larangan membakar; menara pantau api dan sarana pemadam kebakaran (gudang penyimpan peralatan damkar, pompa air bertekanan tinggi, alat pemadam api ringan, hydrant, tangki air, alat pendukung, parit saluran air/parit isolasi, stasiun cuaca, embung serta titik hotspot).
Kemudian, prosedur jika terjadi keadaan darurat; identifikasi daerah rawan kebakaran; pendidikan dan pelatihan; berita acara penanggulangan kebakaran; sosialisasi bahaya kebakaran; penanganan paska kebakaran; pemantapan kemampuan personil tim regu pemadam kebakaran yang sudah dilatih; berkoordinasi dengan masyarakat peduli api dan pembuatan stasiun cuaca.
Perihal pidana tambahan, Sitepu juga menolak tuntutan ini. Selain karena sampel tanah terbakar tidak disebut dan ditunjuk di muka persidangan, tidak ada dasar hukum penghitungannya, penuntut umum juga tidak menyertakan Pasal 119 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kesimpulannya, Sitepu dan Suherdi mohon pada majelis hakim, menyatakan dakwaan terhadap PT Adei tidak terbukti dan harus dibebaskan; menyatakan lahan terbakar dapat difungsikan kembali dan biaya perkara dibebankan pada negara.
Setelah mendengar pembelaan yang dibacakan bergantian itu, Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pelalawan Rahmat Hidayat, menyatakan tetap pada tuntutannya. Majelis akan memutus perkara ini pada Kamis, 12 November 2020.#Suryadi