Kasus Marudut

Nurhasan Ismail: Yang Boleh Mengelola Tanah, Bukan Mengambilnya

terdakwa edison

 

terdakwa edison

Video : Pemeriksaan Dua Saksi

PN Bandung, 30 NOVEMBER 2016 – Hari ini sidang lanjutan pemeriksaan saksi dengan terdakwa Edison Marudut Marsadauli Siahaan digelar kembali, pukul 11.07 hakim mengetuk palu dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Penuntut Umum menghadirkan 2 saksi: Annas Maamun dan Nurhasan Ismail. Tetapi Annas masih tidak bisa hadir karena sakit dan sesuai kesepakatan sidang minggu lalu, Penuntut Umum memanggil dokter yang merawat Annas untuk datang memberi keterangan sehubungan ketidak hadiran Annas.

Dr, Syarifudin, Sp.P, dokter yang merawat Annas Maamun di Rumah Sakit Santosa Bandung selama Annas sakit. Annas mulai dirawat inap sejak 11 November 2016 dan Syarifudin mengatakan tidak memungkinkan Annas untuk hadir memberikan keterangan karena menderita Penyakit Pulmonari Obstruktif Kronis (PPOK). Saat dirawat kondisinya sedang serangan berat dan penyakit ini adalah penyakit kronis dan progresif, membutuhkan waktu yang lama untuk stabil.

syarifudin

Faktor penyebab penyakit ini semakin berat juga banyak sekali dan kemungkinan faktor yang terjadi terhadap Annas adalah stres pada psikisnya dan faktor lain karena infeksi dan polusi. Kondisi Annas masih dipasang infus dan setiap hari hampir pasti mengalami serangan, kadang malam, kadang pagi. Jika mengalami serangan, perlu tindakan lebih khusus lagi dan tidak bisa diprediksi kapan serangannya tiba dan kapan membaiknya.

Setelah Syarifudin memberikan keterangan, sidang sepakat untuk membacakan BAP Annas Maamun.

Setelah itu, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan ahli, yaitu Nurhasan Ismail, guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ia diundang sebagai ahli hukum agraria. Ia menjelaskan perbedaan tanah negara dengan tanah hak. Menurutnya, “Tanah negara adalah suatu istilah yang sebenarnya singkatan dari tanah yang dikuasai oleh negara yang kewenangan pembuatan kebijakan, peraturan, pengelolaan, dan pengurusannya diserahkan kepada negara.”

nurhasan ismail

“Ada dua kelompok hak tanah yang dikuasai oleh negara. Pertama, dikuasai langsung oleh negara, yaitu tanah-tanah yang belum dilengkapi dengan hak-hak atas tanah tertentu, baik berdasarkan atas ketentuan hukum adat maupun atas pemberian oleh negara. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara ini kemudian sering digunakan dalam peraturan pelaksanaan tanah pada UU Nomor 5 tahun 1960. Kedua, tanah yang tidak langsung dikuasai negara, yaitu tanah yang sudah dilengkapi dengan hak-hak atas tanah tertentu, baik berdasarkan ketentuan hukum adat ataupun pemberian oleh negara baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, termasuk wilayah perairan.”

“Sedangkan tanah hak adalah tanah yang tidak langsung dikuasai negara yang sudah lengkap ketentuan-ketentuannya.”

 “Status tanah yang di atasnya merupakan kawasan hutan terbuka kemungkinan tanah itu dikuasai negara karena belum ada hak,” jelasnya. Nurhasan juga menjelaskan bahwa untuk usaha pemanfaatan hutan harus didasarkan pada persyaratan-persyaratan, salah satunya izin pemanfaatan hutan. Sedangkan usaha di luar bidang kehutanan, harus memenuhi prosedur yang sudah ditentukan, baik diatur dalam bidang kehutanan itu sendiri maupun di luar bidang kehutanan. Contoh pada usaha perkebunan, maka harus ada izin lokasi dari pemerintah daerah dan harus ada izin pelepasan kawasan hutan atau harus menjadi tanah APL terlebih dahulu. Setelah itu harus ada izin usaha perkebunan yang tunduk pada UU Perkebunan beserta peraturan pelaksanaannya. Kemudian masih harus ada pengurusan hak atas tanah. Setelah dalam perkebunan itu ada hak guna usaha, baru boleh dilakukan kegiatan usaha tersebut.

Bila kawasan hutan, setelah izin lokasi dan kemudian masyarakat melepaskan tanahnya, masih harus  ada pengurusan permohonan agar kawasan hutan ini dilepaskan menjadi APL yang dimohon kepada Menteri Kehutanan. Jika belum ada izin usaha tetapi sudah melakukan kegiatan usaha, maka bertentangan dengan UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, baik berdasarkan larangan atau kewajiban yang ada di dalam pasal 50 UU Nomor 41 tahun 1999 maupun bertentangan dengan pasal 78 UU yang sama.

Dalam kasus seperti ini, yang dilanggar juga UU Perkebunan nomor 18 tahun 2004 yang sudah diganti dengan UU nomor 39 tahun 2014 yang mengatakan bahwa setiap orang atau perusahaan yang melakukan usaha perkebunan tanpa izin itu adalah suatu bentuk perbuatan melawan hukum. Hal ini sudah diperjelas juga dalam pasal 105 yang kualifikasikannya sebagai perbuatan tindak pidana.

Nurhasan juga menjelaskan peraturan lainnya yang mengkualifikasikan perbuatan tersebut sebagai perbuatan melawan hukum. “Menurut UU Kehutanan, yang boleh dialihkan adalah konteks mengelola tanahnya, bukan mengambil tanahnya,” ujarnya.

Kebijakan negara belum sinkron dan harmonis di antara kementrian-kementrian ini. Di hutan adat, ada masyarakat hukum adat dan itu bisa bersumber dari kepala adatnya terkait pengelolaan tanah itu. Tetapi di luar hutan adat, maka yang memberikan izin adalah pemerintah, yakni Menteri Kehutanan. Kepala desa tidak ada hak atas itu.

Sidang ditunda esok hari, 1 Desember 2016 untuk pemeriksaan saksi fakta dan ahli yang meringankan. (RCT/SitiW)