Kasus Marwan Ibrahim

Syahrizal Kukuh Tanah dan Uang untuk Marwan Karena Alasan Keluarga

 rekaman suara saksi Syahrial Hamid (mp3)

–Sidang Ketiga Korupsi Lahan Bhakti Praja Pelalawan terdakwa Marwan Ibrahim

hakim ketua

PN Pekanbaru, 22 Oktober 2014— Syahrizal Hamid dan Al Azmi, dua saksi yang sudah hadir minggu lalu, kini dihadirkan lagi oleh Penuntut Umum. Mereka diminta bersaksi untuk perkara korupsi lahan perkantoran Bhakti Praja Pelalawan yang menjerat Wakil Bupati Marwan Ibrahim sebagai terdakwa.

saksi ke3

Al Azmi sudah diperiksa minggu lalu. Penuntut Umum menghadirkan lagi untuk konfirmasi keterangan saksi Syahrizal Hamid. Sidang kali ini khusus untuk pemeriksaan saksi Syahrizal Hamid. Baik Azmi maupun Syahrizal merupakan terpidana untuk kasus yang sama, korupsi lahan perkantoran Bhakti Praja Pelalawan.

Majelis hakim memasuki ruang sidang hampir pukul 10.30. Penuntut Umum dan Penasehat Hukum sudah bersiap. Begitu hakim ketua Achmad Setyo Pudjoharsoyo membuka sidang, satu per satu pengunjung, sebagian besar keluarga dan kerabat Marwan, masuk ruang sidang Cakra.

Terdakwa Marwan Ibrahim masuk ruang sidang dari pintu samping. Kenakan kemeja panjang putih dibalut rompi tahanan Kejaksaan Negeri Pangkalan Kerinci serta peci hitam, Marwan duduk di samping tim penasehat hukumnya. Ia siap mendengarkan keterangan saksi Syahrizal Hamid.

Tahun 2002, Syahrizal Hamid jabat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pelalawan. Terdakwa Marwan sebagai Sekretaris Daerah Pelalawan. Pada kasus ini, Syahrizal berperan membagi-bagikan lahan 110 hektar yang dibeli untuk perkantoran Bhakti Praja Pelalawan.

“Terserah disebut makelar tanah atau apa, tapi itulah yang saya lakukan waktu itu,” kata Syahrizal mengawali kesaksiannya di persidangan.

Syahrizal menceritakan bahwa Pelalawan merupakan pemekaran dari Kabupaten Kampar. “Jadi waktu itu belum punya apa-apa. Kantor pun masih numpang di toko-toko orang,” katanya. Karena itu, tahun 2001, Bupati T. Azmun Jaafar panggil dirinya dan berdiskusi soal rencana membeli lahan untuk dijadikan perkantoran.

“Kami survei ke logging RAPP, ada lahan lumayan luas, katanya milik David Chandra dari PT Katulistiwa Agro Bina. Survei dua kali, kami sepakat untuk beli lahan itu,” cerita Syahrizal. Seingatnya, yang pergi survei dirinya bersama T. Azmun Jaafar. “Satu lagi saya lupa, mungkin Al Azmi,” ujarnya.

Menurut Syahrizal, David Chandra hanya mau menjual tanahnya secara utuh, harganya Rp 2,2 miliar luas 110 hektar. Syahrizal diminta T. Azmun untuk melakukan transaksi dengan David Chandra.

“Lahmudin telepon saya dan bilang Pemda punya anggaran Rp 500 juta untuk beli tanah itu,” kata Syahrizal. Lahmudin adalah Kepala Bagian Keuangan Pemerintah Daerah Pelalawan saat itu. Minggu lalu, saat bersaksi di persidangan, Lahmudin bilang ia diperintahkan Bupati T. Azmun Jaafar mengecek anggaran pemerintah untuk membeli tanah yang akan dijadikan lahan perkantoran.

Untuk menutupi kekurangan bayar, Syahrizal mencari orang-orang yang mau membeli lahan tersebut. Dapatlah Lukimin Lukman, kontraktor, ‘menyumbang’ Rp 1,5 miliar, anak buah Syahrizal di BPN Pelalawan ‘menyumbang’ Rp 125 juta, serta Syahrizal sendiri ‘menyumbang’ Rp 200 juta.

“Setelah terkumpul uang Rp 2,2 miliar, saya melakukan transaksi dengan David Chandra,” katanya.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 2002.

“Anda melakukan jual beli itu sebagai pegawai pemerintah atau pribadi?” tanya hakim ketua.

“Pribadi.”

“Saudara sebagai pejabat pemerintah, melakukan jual beli tanah atas nama pribadi. Apa bisa begitu?”

“Kenyataannya begitu. Saya diminta mengurus pencairan uang Rp 500 juta di Kabag Keuangan saat itu. Tapi saya sebagai pribadi.”

Hakim anggota Rachman Silaen turut menanyakan hal ini.

“Menurut Anda, T. Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan berdiskusi dengan Anda soal rencana pembelian tanah untuk lahan perkantoran. Apakah karena jabatan Anda sebagai Kepala Dinas Pertanahan makanya Azmun mengajak Anda berdiskusi?”

“Saya tidak tahu. Saya membawa nama pribadi saat itu. Saya dan Azmun itu sepupu. Jadi saya kira kami berbicara secara pribadi.”

Tahun 2007 di Kedai Kopi Jambi Kota Pangkalan Kerinci Pelalawan. Syahrizal, Al Azmi dan Tengku Mukhlis bertemu. Mereka membagi-bagi tanah 110 hektar tersebut.

“Saya yang menentukan si ini dapat berapa, si itu berapa,” kata Syahrizal.

Pembagian 110 hektar: 20 hektar milik Pemda Pelalawan, 60 hektar milik Lukimin Lukman, 30 hektar milik Syahrizal Hamid.

Dari lahan 30 hektar ini, sebanyak 20 hektar dibagi-bagi lagi oleh Syahrizal Hamid: 7 hektar untuk T. Azmun Jaafar, 3 hektar untuk Marwan Ibrahim, 3 hektar untuk Lahmudin, 2 hektar untuk Al Azmi, 2 hektar untuk Budi Satrya, 2 hektar untuk dirinya sendiri.

Syahrizal Hamid mengatakan bahwa ia memberikan tanah kepada mereka karena alasan keluarga.

“T. Azmun Jaafar keluarga?” tanya hakim Rachman Silaen.
“Sepupu saya.”
“Marwan Ibrahim keluarga?”
“Sepupu saya.”
“Lahmudin keluarga?”
“Bukan.”
“Kenapa diberikan tanah?”
“Karena dia membantu mencairkan uang dari Pemda untuk membeli tanah itu.”
“Al Azmi keluarga?”
“Bukan.”
“Kenapa dapat tanah?”
“Karena dia anak buah saya yang paling loyal. Sama seperti Budi Satrya.”
“Saudara termasuk orang baik, bisa memberi tanah dengan harga fantastis begitu, sebanyak 20 hektar, gratis kepada orang lain. Sesungguhnya apa yang terjadi? Hanya 10 meter tebas-tebas orang di situ, saudara kasih gratis. Apa yang terjadi?”
“Saya berikan atas dasar keluarga Pak. Tak usah materi, nyawa pun saya pertaruhkan kan Pak demi keluarga.”
“Kalau alasan keluarga, Nadimar itu siapa?”
“Kakak saya.”
“Kenapa tidak dibagi tanah, hanya pinjam KTP? Apa karena dia tidak menjabat?”
“Ya… karena dia kakak saya. Apa yang mau saya berikan lagi Pak. Hak saya sudah menjadi hak dia.”

Tanya-jawab antara hakim Rachman Silaen dengan Syahrizal Hamid masih berlanjut.
“Mei 2007 Anda bagi-bagi tanah di Kedai Kopi Jambi. Mengapa 2007 baru dibagi, sedangkan pembelian tanahnya tahun 2002. Mengapa bisa begitu? Lama sekali?”
Syahrizal diam.
“Apakah karena tahun 2007 sudah dianggarkan pembebasannya dari Pemda?”
“Sebelum tahun 2007 sudah direncanakan Pak.”
“Iya, tapi pertama kali penganggaran pembebasan tanah itu tahun berapa? Bukan 2007?”
“Iya 2007.”
“Jadi kan karena sudah ada penganggaran makanya dibicarakan pembagian tanah itu?”
“Tidak, bukan begitu…”
“Jadi atas dasar apa pembagian tanah itu dilakukan tahun 2007? Kenapa nggak 2006, 2005, atau 2004? Kenapa harus 2007?”
“Iya kan tahun 2007 itu kita ngumpul Pak, biasa-biasa saja, di kedai kopi, kongkow-kongkow. Dan ide itu muncul begitu saja, bukan berarti karena ada penganggaran kami bagi-bagi.”
“Saudara berencana memberikan tanah 3 hektar kepada terdakwa, apakah Saudara bilang?”
“Tidak.”
“Setelah tanah dibagi-bagi, apakah Saudara beritahu kepada terdakwa bahwa ia dapat tanah 3 hektar?”
“Tidak. Saya beritahu kepada Azmi waktu itu.”
“Saudara kan berniat baik memberikan tanah kepada orang, mengapa menyampaikannya ke Azmi?

Mengapa tidak kepada terdakwa? Bagaimana Saudara ini? Kalau dalam Melayu kan tangan kanan berbuat baik, tangan kiri jangan sampai tahu. Jadi bagaimana Saudara ini, memberikan tanah kepada terdakwa, mengapa yang diberi tahu kok Azmi? Apa saudara bilang kepada Azmi?” “Saya bilang tolong berikan tanah sesuai catatan ini.”

Tahun 2008. Pembebasan tanah untuk lahan perkantoran Bhakti Praja Pelalawan dianggarkan dalam APBD sebesar Rp 22,2 miliar. Pencairannya dilakukan empat tahap. Pada pencairan tahap kedua, sesuai dakwaan Penuntut Umum, terdakwa Marwan Ibrahim mendapat jatah Rp 1,5 miliar.

“Iya, saya tahu terdakwa dapat uang Rp 1,5 miliar. Saya perintahkan Azmi untuk menyerahkannya,” kata Syahrizal Hamid.

Menurut cerita Syahrizal Hamid, Marwan Ibrahim yang saat itu sudah menjadi staf ahli di Pemerintah Propinsi Riau, dan berkantor di Pekanbaru, datang sendiri ke Kota Pangkalan Kerinci Pelalawan untuk mengambil uang itu.

“Saya lihat dia masuk ke ruangan Azmi. Tapi saya tidak lihat dia keluar karena saya sudah duduk di kantin saat itu,” kata Syahrizal.
Meski tak melihat Marwan keluar dari pintu ruangan Azmi, namun Syahrizal lihat Marwan berjalan ke arah mobilnya. “Dia berjalan ke arah kemudi, membuka pintu mobil. Saya tidak lihat dia bawa tentengan atau tidak,” jelas Syahrizal. Kemudian Marwan mendatangi Syahrizal di kantin kantor. “Dia bilang, sudah selesai,” kata Syahrizal lagi.

Al Azmi juga menuju kantin kantor untuk menemui Syahrizal Hamid. “Marwan sudah di situ. Saya laporkan ke Syahrizal dan bilang, uangnya sudah diserahkan,” terang Al Azmi.

Menurut Syahrizal Hamid, uang Rp 1,5 miliar tersebut diserahkan kepada terdakwa Marwan Ibrahim karena tanahnya sudah dibebaskan seluas 3 hektar.

“Saya tidak ada minta izin kepada Marwan bahwa tanahnya akan diganti rugi. Saya hanya bilang ke Azmi kalau tanah itu mau diganti rugi,” ujar Syahrizal.

“Apakah terdakwa memberikan persetujuan baik lisan atau tertulis bahwa tanahnya akan diganti rugi?” tanya hakim.
“Saya lupa Pak. Karena saya sudah tua, ingatan sudah mulai berkurang. Seingat saya, saya beritahukan ke Azmi. Prosesnya, yang punya sertifikat yang ambil uangnya ke bendahara Pemda.

Kemudian mereka kasih ke saya. Saya serahkan ke Azmi. Lalu saya tahu uang Rp 1,5 miliar itu diserahkan ke Marwan oleh Azmi. Saya lihat Marwan datang ke kantor Azmi,” jelas Syahrizal.

“Berapa kali Saudara menyerahkan uang ke terdakwa?” tanya hakim ketua.
“Kalau tidak salah dua kali. Saya waktu itu meminta tolong kepada Azmi untuk memberikan hak-hak terdakwa. Satu lagi sebesar Rp 1,115 miliar. Saya minta Azmi serahkan kepada terdakwa,” jawab Syahrizal.

Azmi menampiknya. Ia mengaku hanya serahkan uang sekali kepada Marwan yakni Rp 1,5 miliar. “Kalau yang Rp 1,115 miliar tidak ada saya serahkan. Hanya saya catat saja. Catatan itu yang diambil penyidik,” katanya.

Pertanyaan majelis hakim beralih ke soal tanah 20 hektar milik Pemerintah Daerah Pelalawan.
“Jadi setelah dibeli tahun 2002, apa yang dilakukan terhadap tanah itu?”
“Tanahnya saya berikan ke Pemda tahun 2002 itu juga. Tidak tahu apakah dicatat sebagai aset Pemda atau tidak.”
“Apakah Pemda harus mendapatkan surat tanah setelah uang keluar?”
“Waktu itu fisiknya sudah saya kasih. Suratnya menyusul tahun 2004.”
“Tanahnya dibeli tahun 2002. Suratnya baru tahun 2004. Mengapa lama sekali? Apakah Pemda tidak menagih suratnya kepada Saudara?”
“Tidak.”
“Terdakwa sebagai Sekda menguasai aset daerah. Tidak ada terdakwa tanya surat tanahnya?”
“Saya hanya tanda tangan kuitansi Rp 500 juta saja, tidak pernah ditagih suratnya.”
“Sebelum Saudara kasih uang untuk ganti rugi tanah kepada terdakwa, apakah terdakwa ini sudah tahu bahwa dia punya tanah di situ?”
“Tahu.”
“Seperti apa tahunya? Yang memberitahukan siapa?”
“Lupa. Apakah saya langsung atau Azmi.”
“Seperti apa menceritakannya?”
“Saya bilang tanahnya di logging RAPP, di PT Katulistiwa. Saya kasih tahu 3 hektar, dia sebut terima kasih.”
“Tidak nanya dia suratnya?”
“Tidak.”
“Ah yang betul lah, baik sekali Anda memberikan tanah 3 hektar. Dia tidak tanya suratnya….”
“Kenyataannya begitu Pak.”
“Tidak ada Anda bilang tanah ini suratnya atas nama siapa?”
“Tidak ada.”

Syahrizal Hamid menyanggah keterangannya sendiri pada Berita Acara Pemeriksaan yang menyatakan bahwa lahan 30 hektar atas namanya dikendalikan oleh T. Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan.

“Penguasaan Azmun sebagai pribadi saja, bukan sebagai Bupati. Bupati sudah perintah saya secara pribadi tahun 2002. Tidak atas nama Pemda, tapi pribadi,” kata Syahrizal di depan persidangan.

Selain itu, ia juga menyanggah BAP nya sendiri yang menyatakan bahwa Marwan Ibrahim diberikan lahan 3 hektar dan dapat uang Rp 1,5 miliar karena jabatannya sebagai Sekretaris Daerah Pelalawan.

“Saat itu saya stres. Saya ditekan, dibentak segala macam. Intinya saya diarahkan penyidik untuk bilang begitu. Saya bilang begitu supaya bisa cepat pulang,” aku Syahrizal. “Sebenarnya Marwan diberikan tanah karena dia keluarga saya, bukan karena jabatan Sekda,” tambahnya lagi.

“Bersedia Saudara apabila saya panggil penyidik untuk membuktikan pernyataan Saudara?” tanya Penuntut Umum. Iya, bersedia,” jawab Syahrizal.

Penuntut Umum meminta izin kepada majelis hakim untuk menghadirkan penyidik yang memeriksa Syahrizal Hamid.

“Nanti dulu kalau soal panggil penyidik. Majelis hakim akan menganalisa dulu seberapa penting keterangan saksi Syahrizal Hamid ini,” kata hakim ketua.

Jelang pukul 14.30, pemeriksaan saksi Syahrizal Hamid selesai. Sebelum menutup sidang, majelis hakim minta Penuntut Umum menghadirkan dua saksi saja pada sidang minggu depan.

“Saya harap jaksa bisa memilih saksi-saksi yang dianggap penting saja, agar waktu kita efisien. Kalau bisa minggu depan jaksa sudah berikan list nama-nama saksi yang akan diperiksa setiap minggunya,” kata hakim ketua. #RCT-Lovina