rekaman pembacaan dakwaan (mp3)
video : Marwan ibrahim (youtube)
— Sidang Perdana Korupsi Lahan Bhakti Praja Pelalawan atas nama Marwan Ibrahim
PN PEKANBARU. RABU, 8 OKTOBER 2014 — Mobil tahanan Kejaksaan Negeri Pangkalan Kerinci memasuki halaman kantor Pengadilan Negeri Pekanbaru Rabu pagi, 8 Oktober 2014. Awak media berkerumun mendekati mobil tersebut, siap dengan kamera di tangan. Seiring keluarnya seorang pria berbatik hijau, seketika itu pula wartawan berebut mengabadikannya. Petugas mengenakan rompi putih bertulis Tahanan Korupsi Kejari Pangkalan Kerinci kepada pria tersebut. Lalu mengarahkannya menuju ruang tahanan korupsi. Awak media mengikuti seraya tetap menjepretkan kamera untuk mendapatkan gambar terbaik.
Pria berbatik hijau itu adalah Marwan Ibrahim, Wakil Bupati Pelalawan. Ia didakwa melakukan korupsi lahan bhakti praja Pelalawan secara bersama-sama.
Pukul 09.45 majelis hakim yang menyidangkan perkara Marwan Ibrahim memasuki ruang sidang Cakra. “Sidang terdakwa korupsi atas nama Drs. H. Marwan Ibrahim dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum,” kata Achmad Prasetyo Pudjoharsoyo, Hakim Ketua sambil mengetuk palu sidang sekali. Ia didampingi dua hakim angggota: Masrul dan Rachman Silaen.
Marwan masuk ke ruang sidang melalui pintu samping. Ia duduk di kursi terdakwa, menghadap majelis hakim. Satu per satu pengunjung masuk ke dalam ruang sidang, sebagian besar keluarga dan kerabat Marwan. Asnidar, istri Marwan, duduk di kursi paling depan.
Usai memeriksa identitas terdakwa dan tim panasehat hukumnya, majelis hakim mempersilahkan tim penuntut umum membacakan dakwaannya. Marwan Ibrahim membetulkan letak peci hitam di kepalanya, menegakkan posisi duduk sambil membuka lembar pertama surat dakwaan bersampul merah di tangannya. Romy Rozali, Delmawati, dan Banu Laksmana membacakan surat dakwaan secara bergantian.
Marwan Ibrahim bersama-sama dengan Syahrizal Hamid, Al Azmi, Lahmudin, T. Alfian Helmi, Rahmad, Tengku Kasroen, dan T. Azmun Jaafar didakwa melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan merugikan keuangan negara. Perbuatan itu dilakukan antara tahun 2002 hingga 2011 saat Marwan menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Pelalawan.
Cerita berawal pada akhir tahun 2001 saat T. Azmun Jaafar selaku Bupati Pelalawan mengadakan rapat dengan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pelalawan. Mereka bahas lokasi yang cocok untuk lahan perkantoran Pemerintah Kabupaten Pelalawan. Awal tahun 2002 Azmun bersama Syahrizal Hamid melihat lokasi kebun sawit milik PT Katulistiwa Argo Bina yang hendak dijual pemiliknya.
Azmun berniat membeli lahan itu untuk dijadikan lahan perkantoran Pemerintah Kabupaten Pelalawan. Kemudian ia menemui David Chandra selaku Direksi PT Katulistiwa Argo Bina pada Maret 2002. Dari pertemuan itu, disepakati harga penjualan lahan sebesar Rp 2,2 miliar seluas 110 hektar.
Kemudian, kata Delmawati membacakan dakwaan, pada akhir bulan Maret 2002, Azmun memerintahkan Lahmudin selaku Kepala Bagian Keuangan Pemerintah Kabupaten Pelalawan untuk menyediakan dana pembelian lahan kebun sawit tersebut. Lahmudin berkoordinasi dengan Marwan Ibrahim selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Pelalawan.
Marwan meminta Lahmudin melihat apakah ada pos anggaran yang bisa digunakan untuk membeli lahan kebun sawit tersebut. Lahmudin menjawab, “Tidak tersedia anggaran untuk pengadaan atau pembelian tanah, namun ada dana rutin Rp 500 juta untuk pos belanja pengamanan dan persertifikatan tanah kantor.”
Maka dana sebesar Rp 500 juta itu disetujui oleh Marwan Ibrahim untuk digunakan membeli tanah PT Katulistiwa Argo Bina.
Romy Rozali melanjutkan baca dakwaan. Untuk mengatasi kekurangan uang pembelian lahan kebun sawit tersebut, pada April 2002 Azmun Jaafar bersama Syahrizal Hamid selaku Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pelalawan mengajak Lukimin Lukman untuk membeli tanah tersebut. Lukimin setuju dan menyerahkan uang Rp 1,5 miliar kepada Syahrizal Hamid.
Uang untuk membeli lahan kebun sawit PT Katulistiwa Argo Bina masih kurang Rp 200 juta. Karena itu, “Pada 8 Mei 2002 Syahrizal Hamid atas inisiatifnya menambahkan sendiri uang pribadinya sebesar Rp 200 juta hingga terkumpul seluruhnya Rp 2,2 miliar,” lanjut Romy Rozali.
Syahrizal mengirimkan uang yang sudah terkumpul ke rekening David Chandra, Direksi PT Katulistiwa Argo Bina. David pun menyerahkan tanah itu kepada Syahrizal Hamid.
“Karena pembelian tanah seluas 110 hektar untuk perkantoran Pemerintah Kabupaten Pelalawan dananya bersumber dari APBD Kabupaten Pelalawan tahun anggaran 2002, maka tanah seluas 110 hektar itu merupakan barang milik daerah,” ujar Romy Rozali mewakili tim penuntut umum. Mereka bersandar pada Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 pasal 1 angka 13 dan angka 16 yang menyatakan barang daerah adalah semua barang milik daerah yang berasal dari pembelian dengan dana yang bersumber seluruhnya atau sebagian dari APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Kesalahan terdakwa Marwan Ibrahim dalam hal ini, menurut penuntut umum, ia tidak memproses lahan tersebut menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan, namun justru mengalihkan kepemilikan sebagian lahan menjadi atas nama keluarganya maupun orang lain.
Marwan Ibrahim bersama-sama dengan Syahrizal Hamid dan T. Azmun Jaafar membagi-bagi tanah seluas 110 hektar tersebut. Sebanyak 20 hektar dibuat 5 SKGR atas nama Saiful Azmi, Azidar, Samsidar, Rina Noverawaty, Joni Akbar Asri. Tanah seluas 30 hektar dibuat 19 SKGR baru atas nama kelompok Syarbaini, Syahrizal Hamid, Marzuki, Al Azmi, dan Nadimar. Serta 60 hektar lagi dibuat SKGR atas nama keluarga Lukimin Lukman.
Lahan 20 hektar tersebut kemudian digunakan untuk persiapan pembangunan gedung perkantoran. Sedangkan lahan 30 hektar, oleh Syahrizal Hamid diproses menjadi sertifikat hak milik atas nama keluarga Syahrizal Hamid, keluarga Al Azmi, serta kelompoknya.
“Keluarga Syahrizal Hamid dan Al Azmi bukan pemilik sebenarnya dari tanah-tanah tersebut karena tidak pernah ada peralihan hak dengan cara apapun kepada mereka,” tulis tim penuntut umum dalam dakwaannya.
Tak cukup sampai di situ. Lahan seluas 30 hektar yang merupakan bagian dari lahan 110 hektar yang sudah dibeli pada tahun 2002 tersebut, pada tahun 2007 dianggarkan lagi pembeliannya dalam APBD oleh T. Azmun Jaafar selaku Bupati Pelalawan senilai Rp 8,3 miliar. Rinciannya: untuk pengadaan tanah kantor Bappeda sebesar Rp 4,8 miliar dan untuk pengadaan tanah sarana umum/ibadah sebesar Rp 3,4 miliar.
Pertengahan tahun 2007, Syahrizal Hamid bersama Al Azmi dan Tengku Mukhlis menulis dalam peta/sketsa rencana lahan perkantoran Bhakti Praja yang isinya mengenai pembagian lahan Bhakti Praja. Mereka membagi-bagi peruntukan lahan 110 hektar.
Rinciannya: 60 hektar milik Lukimin Lukman, 20 hektar untuk perkantoran Bhakti Praja, 30 hektar dibagi-bagi untuk Budi Satrya dan pegawai BPN seluas 5 hektar, kantor PBB/pajak, kantor Depag, kantor BPN dan kantor Instansi Pemerintah lainnya seluas 5 hektar, untuk Marwan Ibrahim 3 hektar, Hatta/Lahmudin 3 hektar, Al Azmi 2 hektar, Syahrizal Hamid 2 hektar, Bupati Azmun Jaafar 7 hektar, dan Budi Satrya 1 hektar.
Agustus 2007 uang senilai Rp 3,1 miliar dicairkan untuk pembangunan sarana ibadah pada lahan Bhakti Praja Pelalawan. Ia sesuai pos pengadaan dalam APBD 2007 yang disahkan oleh T. Azmun Jaafar selaku Bupati Pelalawan.
Dalam dakwaannya, tim penuntut umum menyatakan uang yang dikeluarkan khusus untuk pengadaan tanah Islamic Center (sarana ibadah) sebesar Rp 1,19 miliar. Namun uang tersebut malah dibagi-bagikan kepada: pemilik asli tanah bernama Nadimar dan Fauzan sebesar Rp 10 juta atas jasanya meminjamkan KTP untuk membuat sertifikat, pegawai Badan Pertanahan Pelalawan yang seluruhnya sebesar Rp 1,16 miliar, sedangkan Rp 33 juta lagi digunakan oleh Al Azmi untuk kepentingan pribadi.
Desember 2007 uang senilai Rp 6,8 miliar dicairkan untuk pengadaan tanah kantor Bappeda di areal perkantoran Bhakti Praja Pelalawan. Anggaran ini sudah disahkan oleh T. Azmun Jaafar selaku Bupati Pelalawan sesuai APBD 2007. Pengadaan tanah kantor Bappeda ini lokasinya sebagian berada pada areal perkantoran Bhakti Praja dan sebagian lagi berada di luar areal perkantoran Bhakti Praja.
Jadi dari Rp 6,8 miliar tersebut, sebesar Rp 3,5 miliar diserahkan kepada pihak yang berhak menerimanya sebagai ganti rugi pengadaan tanah kantor Bappeda di luar areal Bhakti Praja. Sedangkan sisanya diserahkan semua untuk T. Azmun Jaafar.
Tahun 2008, lahan untuk perkantoran Bhakti Praja Pelalawan yang sudah dibeli pada tahun 2002 dan 2007, dibebaskan lagi oleh Pemerintah Daerah Pelalawan melalui Badan Pertanahan Daerah Pelalawan. Total seluruhnya berjumlah Rp 22,2 miliar dicairkan dari dana APBD 2008 oleh T. Alfian Helmi selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
Dari Rp 22,2 miliar, sebesar Rp 17,7 miliar digunakan untuk perluasan perkantoran Bhakti Praja. Sisanya dibagi-bagikan oleh Syahrizal Hamid untuk kelompoknya serta pegawai Badan Pertanahan Kabupaten Pelalawan. Marwan Ibrahim dapat jatah Rp 1,5 miliar.
Pola yang sama kembali dilakukan pada tahun 2009. Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan mencairkan dana sebesar Rp 17,1 miliar tanggal 1 Oktober 2009. Uang ini untuk pembebasan tanah lahan perkantoran Bhakti Praja Pelalawan. Marwan Ibrahim terima Rp 1,115 miliar.
Tahun 2011 Pemerintah Kabupaten Pelalawan kembali membebaskan tanah pada areal lahan perkantoran Bhakti Praja Pelalawan senilai Rp 493 juta. Uangnya digunakan oleh Al Azmi untuk kepentingan pribadi.
Akibat perbuatan Marwan Ibrahim bersama-sama dengan Syahizal Hamid, Al Azmi, T. Azmun Jaafar, Lahmudin, Tengku Kasroen, Rahmad, dan T. Alfian Helmi, ujar Banu Laksmana membacakan dakwaan, terdakwa Marwan Ibrahim telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,6 miliar. Selain itu, ia juga memperkaya Syahrizal Hamid Rp 6,6 miliar, Al Azmi, 1,1 miliar, T. Azmun Jaafar Rp 12,6 miliar, Lahmudin Rp 3,1 miliar, Herman Maskar Rp 2,8 miliar, para pegawai Badan Pertanahan Daerah Pelalawan Rp 3,9 miliar, orang-orang yang tertera namanya dalam sertifikat hak milik sebesar Rp 385 juta, dan orang lain yang seluruhnya berjumlah Rp 2,9 miliar.
“Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Pelalawan senilai 38 miliar 87 juta 239 ribu 600 rupiah,” kata Banu mewakili tim penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Pangkalan Kerinci.
Oleh karena itu, tim penuntut umum menjerat Marwan Ibrahim dengan pasal 2 ayat 1, pasal 3, pasal 5 ayat 2, pasal 11, pasal 12 huruf a, serta pasal 12 huruf b junto pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. #RCT-Lovina