Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis 21 April 2022—jaksa penuntut umum KPK menghadirkan tujuh saksi dalam persidangan terdakwa Andi Putra. Masing-masing dari Kantor Pertanahan Kuansing, Sekretariat Daerah Kuansing dan PT Adimulia Agrolestari. Mereka diperiksa dalam tiga sesi.
Penuntut umum pertama memanggil bekas Kepala Kantor Pertanahan Kampar, Sutrilwan. Kini, Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Riau. Penuntut umum mencecarnya dengan pertanyaan seputar hubungannya dengan General Manager AA, Sudarso.
Perkenalannya berawal dari kedatangan Sudarso ke Kantor Pertanahan Kampar untuk meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), guna validasi di Kanwil BPN Riau, sebelum ajukan perpanjangan HGU. Ketika diperiksa oleh anak buahnya, Kasi I, Martin, ternyata sebagian areal HGU AA masuk wilayah Kuansing.
Sutrilwan menyarankan Sudarso untuk konsultasi ke Kanwil BPN Riau. Sampai dilaksanakan dua kali pertemuan di sana. Keputusannya, HGU yang semula berada di Kampar mesti dipecah. Jadilan HGU di Kuansing nomor 9, 10 dan 11. Sedangkan di Kampar tetap HGU nomor 8.
Selama pertemuan itu, Sutrilwan mengaku terima duit dari Sudarso sebesar Rp 75 juta untuk menambah biaya renovasi kantor. Katanya, tak ada anggaran untuk itu. Pemberian tersebut telah dikembalikan ke rekening KPK. Tapi menurutnya, setelah dihitung inspektorat, uang yang diserahkan Sudarso hanya Rp 60 juta.
“Saat itu saya hanya menaksir dan dapat perkiraan dari tukang yang bekerja di kantor. Kasubbag TU saya juga bilang hanya Rp 60 juta,” kata Sutrilwan yang terlanjur mengembalikan Rp 75 juta.
Setelah pemisahan HGU, Sudarso langsung mengurus perpanjangan izin tersebut karena akan berakhir pada 2024. Dia mengajukan permohonan ke Kantor Pertanahan masing-masing areal kebun sawit. Di Kuansing, permohonannya diterima oleh Ibrahim Dasuki, Kasi Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah.
Setelah memeriksa kelengkapan dokumen, Ibrahim buat surat pengantar untuk diteruskan ke Kanwil BPN Riau. Sebab, luas areal yang dimohonkan lebih 25 ha dan bukan kewenangan kantor pertanahan di kabupaten.
Selanjutnya, Kanwil BPN Riau membentuk panitia B atau panitia pemeriksaan tanah. Permohonan AA dibahas dalam rapat ekspos, 3 September 2021, di Prime Park Hotel. Ibrahim ikut dalam rapat itu tapi tidak termasuk panitia. Usai rapat, dia terima duit Rp 3 juta yang ditransfer Fahmi, Legal AA, ke rekeningnya.
Selain dia, rapat ekspos itu juga dihadiri Plt Sekretaris Daerah Kuansing, Agus Mandar. Andi Putra menugasnya langsung. Agus berangkat bersama Irwan Najib, Kabag Perekonomian dan SDA, Kuansing.
Rapat yang dipimpin Kepala Kanwil BPN Riau, M Syahrir, itu juga menyoal kebun plasma yang belum dibangun untuk HGU di Kuansing. Tapi, Agus mengatakan hanya satu desa yang meminta kebun kemitraan tersebut, yakni Desa Suka Damai. Sementara empat desa lainnya mengaku sudah mendapatkan kebun plasma dari AA.
Keterangan Agus bertolak belakang dengan keterangan dua kepala desa yang juga hadir dalam rapat, waktu itu. Bahkan soal kebun plasma yang wajib difasilitasi pembangunannya oleh AA, juga dituangkan dalam kesimpulan atau notulen rapat. Dengan solusi, AA wajib mendapatkan rekomendasi persetujuan penempatan kebun plasma di Kampar dari Bupati Kuansing, Andi Putra.
Karena tidak sesuainya keterangan Agus Mandar, Ketua Majelis Dahlan meminta penuntut umum dan penasihat hukum menyudahi pertanyaan untuknya. Agus maupun Irwan, diminta hadir kembali pada saat pemeriksaan saksi Sudarso.
Menyambung cerita mengenai rekomendasi yang diminta ke Andi, permohonan dari Sudarso itu pun sampai ke tangan Andri Meiriki, Staf Administrasi Bupati Kuansing. Andi menyodorkan dua lembar surat yang dibungkus amplop cokelat pada Andri di rumah pribadinya.
Andi minta Andri mempelajarinya. Surat itu langsung dibawa ke ruang kerjanya, Kamis, sore, 14 Oktober 2021. Tapi Andri baru membaca surat tersebut pada Senin, kemudian. Selain surat permohonan rekomendasi Andi agar menyetujui kebun plasma di Kampar, amplop itu juga berisi surat Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Riau, yang menerangkan AA telah bangun lebih 20 persen kebun kemitraan dari total luas HGU.
Andri kemudian menemui Mardansyah, Kepala DPMPTSPTK Kuansing. Rupanya, permohonan itu bukan kewenangan dinas tersebut. Mardansyah pun menghubungi Kepala Kantor Pertanahan Kuansing, Turmudi, untuk memastikan rekomendasi yang diminta Sudarso. Turmudi membenarkannya.
Hari itu juga, Mardansyah kembali menemui Andri dan menyarankan anak buah Andi itu koordinasi ke Dinas Perumahan, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Kuansing. Namun, komunikasi keduanya terputus di situ, karena mereka tak bertemu Andi Putra lagi.
Rupanya, hari itu, Sudarso ditangkap KPK dan Andi juga jadi target tim komisi antirasuah namun keburu bergerak ke Pekanbaru.
Ternyata rekomendasi yang diminta Sudarso tidak gratis. Andi mematok harga Rp 1,5 miliar. Beberapa minggu sebelum ditangkap, Sudarso sudah menyerahkan Rp 500 juta lewat sopir Andi. Pagi, sebelum ditangkap, itu sebenarnya Sudarso hendak menyerahkan Rp 250 juta lagi.
Komisaris AA Frank Wijaya, membenarkan pemberian uang pertama, tapi berdalih sebagai pinjaman. Rencana penyerahan kedua, dia mengaku tak tahu. Dicecar bahwa tujuannya beri uang ke Andi untuk memuluskan perpanjangan HGU, Frank juga berkelit. Padahal, dia sendiri mengaku sudah menghabiskan sekitar Rp 8 miliar selama mengurus izin tersebut.
Meski telah ditunjukkan tangkapan layar percakapannya dengan Sudarso terkait perpanjangan HGU dan pemberi uang, Frank juga terkesan hendak mencari pembenaran atau mengelak dari fakta yang sebenarnya: turut menyetujui penyuapan ke Andi Putra. Beberapa kali majelis dan penuntut umum mengingatkannya tentang ancaman pidana sumpah palsu.
Sidang dilanjutkan kembali, Kamis 28 April 2022.#Suryadi