- Video : Ahli PT JJP Wawan dan Nyoto Santoso
- Audio : Nyoto dan Wawan Bantah Gugatan KLHK (1)
- Nyoto dan Wawan Bantah KLHK (2)
PN Jakarta Utara, 16 Desember 2015 – Pihak tergugat menghadirkan dua saksi ahli untuk membantah pernyataan ahli penggugat, Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Penggugat menyatakan tergugat, PT Jatim Jaya Perkasa, telah membuka lahan dengan cara membakar seluas 1000 hektar dan menyebabkan kerugian mencapai hampir Rp 500 Miliar.
Dua ahli yang dihadirkan oleh PT JJP adalah Nyoto Santoso, dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, serta Wawan, dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Nyoto Santoso diperiksa pertama. Ia menyatakan dibawa PT JJP turun ke lapangan pada Oktober 2013, namun ia mengaku belum pernah melakukan penelitian di area terbakar tersebut. “Saya hanya mengamati di lapangan saja,” katanya.
Dari hasil pengamatan dan informasi yang diterima, Nyoto mengatakan di depan persidangan bahwa lahan masyarakat merupakan hutan produksi.
“Saya melakukan penelitian tentang gambut sejak 1980-an. Saya pernah meneliti di sekitar Koto Kampar. Jadi saya tahu masyarakat di sana melakukan budidaya pertanian selalu menggunakan api. Sekarang nama daerahnya Rokan Hulu,” ujar Nyoto.
“Jauh tidak dari Rokan Hilir tempat PT JJP ini?” tanya hakim.
“Jauh, Yang Mulia,” jawabnya.
Meski tak melakukan penelitian di area PT JJP, Nyoto berkesimpulan bahwa tidak terjadi kerusakan di lahan PT JJP yang terbakar. “Saya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001, di sana tertulis definisi kerusakan jika ada perubahan langsung atau tidak langsung terhadap lahan tersebut, yakni sifat fisik dan hayati lahan itu tidak mampu lagi menunjang pembangunan berkelanjutan.”
“Kalau saya lihat di sana, tidak ada kerusakan. Lokasi bekas terbakar di lahan itu bisa ditanam lagi, tumbuh bagus. Lokasi bekas terbakar di lahan masyarakat bisa ditanami juga, tumbuh dengan baik. Artinya lahan itu tetap berfungsi dengan baik.”
Nyoto juga membahas tentang sarana prasarana di areal PT JJP. Ia menyatakan sarana sudah memadai. “Saya lihat menara api ada 10 buah, yang lain ada 15 buah. Kalau diikuti dari aturan Peraturan Menteri ke atas, tidak ada menyebutkan dengan jelas harus berapa banyak sarana prasarana di suatu perusahaan. Tapi dari yang saya lihat, cukuplah itu untuk menunjang kegiatan di PT JJP.”
Senada dengan Nyoto, Wawan, saksi ahli berikutnya yang dihadirkan pihak tergugat, juga menyatakan tidak pernah melakukan penelitian di areal PT JJP.
“Saya melakukan penelitian tentang teknik mengambil sampel,” ujarnya.
Ia mengkritik teknik pengambilan sampel yang dilakukan ahli dari penggugat dengan menggunakan ring sampel. “Kalau gambut di luar negeri, itu jenis gambut lumutan, makanya banyak yang megambil sampel pakai ring. Di Indonesia itu jenis gambutnya kayuan, jadi kalau ambil sampel pakai ring, hasilnya bisa bias karena terambil kayu dan akar juga,” ujarnya.
Karena itu, di depan persidangan, Wawan menunjukkan teknik pengambilan sampel yang lebih baik, yakni menggunakan box sampler atau bor. Bor untuk mengambil tanah gambut yang agak ke dalam. Sedangkan box sampler hanya bisa ambil tanah di permukaan saja. “Saya pernah membandingkan ketiganya. Yang menggunakan ring hasilnya jauh dibanding menggunakan box sampler. Sedangkan menggunakan bor hasilnya tak berbeda jauh dari box.”
Wawan turun ke lokasi PT JJP dan melihat banyak kebun masyarakat yang terbakar. Kebun perusahaan terbakar di blok S dan T. Mengenai sarana prasarana, ia sebutkan sudah memadai. “Saya tidak tahu tentang syarat minimum dan lain-lain, saya pergi, lihat, foto. Saya lihat pompa air besar, mobil pemadam ada, peralatannya macam-macam. Saya tidak tahu tentang ketentuan perundangan,” sebutnya. #rctlovina