— Sidang Putusan Terdakwa Danesuvaran KR Singam, Tan Kei Yoong, dan Goh Tee Meng
- Audio:
- Danesuvaran KR Singam
- Tan Kei Yoong
- Goh Tee Meeng
- Video : Danesuvaran, Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng
- Blanko sidang (pdf) : Tan Kei Yoong, Danesuvaran, dan Goh Tee Meng
PN PELALAWAN. SENIN, 21 Juli 2014 – Sejak pukul 09.00, sesuai jadwal sidang yang telah disepakati pada persidangan sebelumnya, terdakwa Danesuvaran KR Singam beserta tim penasehat hukumnya sudah menunggu di Pengadilan Negeri Pangkalan Kerinci. Tim PH yang hadir dua orang: Handarbeni Imam Arioso dan Widat. Sambil menunggu kehadiran Penuntut Umum, mereka duduk santai sambil berdiskusi.
Penuntut Umum yang diwakili Muhammad Amin baru tiba di pengadilan sekitar pukul 10.30, molor 1,5 jam dari jadwal semula. Sepuluh menit kemudian, majelis hakim memasuki ruang sidang.
Hakim ketua A. Rico H. Sitanggang, serta dua hakim anggota Bangun Sagita Rambey dan Ria Ayu Rosalyn siap bacakan surat putusan untuk perkara izin usaha perkebunan ilegal KKPA Desa Batang Nilo Kecil Kabupaten Pelalawan.
KKPA ini kerjasama PT Adei Plantation and Industry dengan Koperasi Petani Sejahtera sebagai perwakilan dari masyarakat Desa Batang Nilo Kecil.
“Putusan ini cukup tebal. Jadi kami akan bacakan pokok-pokoknya saja ya. Apakah Penuntut Umum dan Penasehat Hukum keberatan?” tanya Rico Sitanggang.
Mereka tidak keberatan.
Majelis hakim bacakan putusan terkait pertimbangan hukum bagian analisa yuridis saja. Mereka berikan pertimbangan terkait unsur-unsur pada pasal 46 ayat 1 jo pasal 17 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ini pasal yang didakwakan untuk ketiga terdakwa pada kasus IUP ilegal: Danesuvaran KR Singam, Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng.
Adapun unsur-unsur yang dipertimbangkan: unsur setiap orang, unsur melakukan perbuatan pidana, unsur melakukan kegiatan usaha perkebunan dengan luasan tertentu, unsur tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan, dan unsur penyertaan yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan.
“Kami akan buktikan unsur ketiga dan keempat dulu, bila terpenuhi maka dilanjutkan dengan unsur kesatu, kedua dan kelima,” kata Rico lagi.
Unsur ketiga yakni melakukan kegiatan usaha perkebunan dengan luasan tertentu pun dibuktikan. Majelis hakim menyatakan unsur tersebut terpenuhi. Dasar pertimbangannya, pada kenyataannya kegiatan usaha perkebunan memang terjadi.
Ria Ayu Rosalyn, hakim anggota bacakan kronologisnya.
“Kegiatan usaha perkebunan diawali dengan adanya permintaan dari masyarakat Desa Batang Nilo Kecil kepada PT Adei Plantation and Industry untuk dibuatkan kebun kredit koperasi primer untuk anggota (KKPA),” katanya membacakan surat putusan.
PT Adei sepakat. Lantas dilakukan penyerahan lahan secara tertulis dari masyarakat kepada PT Adei melalui wadah Koperasi Petani Sejahtera. Koperasi ini dibentuk oleh masyarakat Desa Batang Nilo Kecil.
Setelah penyerahan lahan secara tertulis, mulailah diurus perizinan ke instansi terkait. “Perizinan diurus oleh Koperasi Petani Sejahtera. PT Adei melalui humasnya mengkonsep surat-surat tentang pengurusan perizinan karena koperasi tidak memiliki peralatan yang memadai. Surat yang keluar atas nama Koperasi Petani Sejahtera,” lanjut Ria.
Adapun surat-surat dimaksud:
- Surat Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan Nomor 525.2/VI/2003/114 tanggal 18 Juni 2003 tentang Rekomendasi Pembangunan Kelapa Sawit Pola PIR kemitraan KKPA Koptan-Sejahtera
- Surat Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Pelalawan Nomor 190 /DISKOP/X/2002 tanggal 3Oktober 2002 tentang Persetujuan Pelaksanaan Pembangunan Kebun Pola KKPA
- Surat Bupati Pelalawan Nomor 522.11/PEM/X/13 tanggal 30 Oktober 2003 tentang Persetujuan Pencadangan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Batang Nilo Kecil Kecamatan Pelalawan
- Keputusan Bupati Pelalawan Nomor 400/BPD/2005/012 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Pemberian
- Ijin Lokasi untuk Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit atas nama Koperasi Petani Sejahtera dengan PT Adei Plantation and Industry
Setelah surat keluar, mulai dilakukan kegiatan pembukaan lahan, penanaman, pemanenan dan
sortasi.
Pertimbangan majelis hakim lainnya untuk membuktikan unsur ketiga terpenuhi yakni adanya perjanjian kerjasama antara PT Adei Plantation dengan Koperasi Petani Sejahtera tanggal 13 Desember 2012.
“Perjanjian dilakukan 6 tahun setelah kegiatan usaha perkebunan berjalan,” kata Ria.
Meski begitu, PT Adei digambarkan tidak bersalah oleh majelis hakim dalam putusannya. Mereka menyebutkan, alasan baru dibuatnya perjanjian kerjasama karena selama 6 tahun berjalan keanggotaan koperasi tidak jelas, persis seperti dalam nota pembelaan tim Penasehat Hukum terdakwa.
Perjanjian kerjasama menjelaskan soal dana bagi hasil untuk masyarakat sebesar 15 persen dari pendapatan kebun KKPA. Ia juga menjelaskan pihak pengelola kebun KKPA adalah PT Adei yang dianggap cakap dan terampil serta memiliki ahli yang mumpuni di bidangnya. Segala biaya terkait pembukaan dan pengolahan kebun KKPA terhitung sebagai hutang yang harus dibayar masyarakat.
“Dalam perjanjian kerjasama, hingga tahun 2o12 hutang masyarakat sebesar Rp 34 miliar,” kata Ria.
Kebun KKPA Desa Batang Nilo Kecil sudah menghasilkan tandan buah segar sejak tahun 2010.
Namun masyarakat Desa Batang Nilo Kecil baru menerima dana bagi hasil tahun 2013, saat penyidik kepolisian mengusut kasus kebakaran lahan. Ini tercantum dalam surat putusan.
Namun majelis hakim tidak menyalahkan PT Adei dalam hal ini. Hakim menyatakan bahwa keterlambatan pembagian hasil dikarenakan keanggotaan koperasi baru jelas dan disahkan oleh Bupati Pelalawan tanggal 23 Mei 2013.
Selain soal keanggotaan koperasi, keterangan Prof. Erman Rajagukguk, ahli yang dihadirkan tim Penasehat Hukum turut memperkuat alasan majelis hakim.
“Menurut Prof. Erman, pada prakteknya sering terjadi perjanjian disepakati lisan terlebih dahulu, baru tertulis,” kata Ria membacakan surat putusan. Jadi meskipun perjanjian kerjasama baru dibuat tahun 2012, kesepakatan terkait pembangunan KKPA sudah dilakukan dari tahun 2002.
“Saksi Labora Bancin, Adi Firdaus, Arifin, Riza Adami Nasution, Suryanto, dan terdakwa Danesuvaran KR Singam yang menanda tangani perjanjian kerjasama tersebut tidak menyatakan keberatan atas perjanjian itu saat dihadirkan sebagai saksi di persidangan,” ujar Ria lagi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, unsur melakukan kegiatan usaha perkebunan dengan luasan tertentu pada pasal 46 ayat 1 UU Perkebunan terpenuhi. “PT Adei dalam hal ini bertindak sebagai kontraktor atau bapak angkat,” tambah Ria.
BERIKUTNYA majelis hakim pertimbangkan unsur keempat yakni tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) pada pasal 46 ayat 1 UU Perkebunan.
Majelis hakim mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang diperbarui dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 tahun 2013 tentang hal yang sama. Dalam peraturan tersebut disebutkan kegiatan usaha perkebunan dengan luas lebih dari 25 hektar wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan Budidaya.
Fakta di persidangan kebun KKPA Desa Batang Nilo Kecil tidak memiliki izin usaha perkebunan. Jadi, unsur tidak memiliki IUP terpenuhi.
Namun majelis hakim menekankan yang seharusnya mengurus IUP adalah pemilik lahan. Majelis hakim menggunakan keterangan ahli Sri Ambar Kusumawati (dari tim Penuntut Umum) dan Prof. Erman Rajagukguk (dari tim Penasehat Hukum). “Keterangan kedua ahli bersesuaian yang menyatakan pemilik lahan, dalam hal ini Koperasi Petani Sejahtera, adalah pihak yang harus mengurus dan memiliki IUP,” katanya.
Selanjutnya majelis hakim membuktikan unsur setiap orang pada pasal 46 ayat 1 UU Perkebunan. Menurut majelis hakim setiap orang yang dimaksud adalah pekebun dan perusahaan perkebunan, namun hanya untuk Warga Negara Indonesia.
Ketiga terdakwa, yakni Danesuvaran KR Singam, Tan Kei Yoong, dan Goh Tee Meng, dinyatakan oleh majelis hakim sebagai orang yang cakap dan benar bekerja di PT Adei Plantation. “Jadi tidak ada eror in persona atau kesalahan pengajuan terdakwa,” kata majelis hakim.
Namun, ketiga terdakwa merupakan warga negara asing dalam hal ini warga negara Malaysia. Sehingga majelis hakim berpendapat ketiga terdakwa tidak bisa dijadikan subjek hukum tindak pidana IUP ilegal.
“Setelah kami mencermati dakwaan Penuntut Umum, tidak tepat terdakwa secara pribadi dijadikan sebagai subjek hukum. Kalau ada tindakan pidana terkait izin usaha perkebunan, yang harus dijerat adalah badan hukum atau orang-orang yang terlibat di dalamnya,” sebut hakim dalam putusannya.
Mereka menambahkan badan hukum yang dimaksud adalah pemilik lahan yang harus mengurus IUP dalam hal ini Koperasi Petani Sejahtera.
Karena itu, majelis hakim menganggap unsur setiap orang tidak terpenuhi dan terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan Penuntut Umum.
- Majelis hakim mengadili terdakwa Danesuvaran KR Singam, Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng:
- Secara sah dan meyakinkan tidak bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan Penuntut Umum.
- Membebaskan terdakwa dari segala tuntutan Penuntut Umum. Memulihkan nama baik dan harkat serta martabat terdakwa.
- Khusus terdakwa Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng, karena mereka ditahan, majelis hakim memerintahkan kepada Penuntut Umum agar membebaskan mereka dari segala jeratan hukum.
Barang bukti terkait kasus ini dikembalikan kepada yang berhak. Khusus areal kebun KKPA seluas 541 hektar, dikembalikan kepada Koperasi Petani Sejahtera untuk dikelola.
Danesuvaran, Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng menyatakan mengerti terhadap putusan majelis hakim. Raut wajah mereka berseri-seri karena divonis tidak bersalah. Tan Kei Yoong menyalami satu per satu majelis hakim yang sudah memvonisnya bebas dari segala jeratan hukum.
Banu Laksmana, tim Penuntut Umum menyatakan akan melakukan upaya hukum lanjutan terkait vonis ini. “Kemungkinan kita akan kasasi,” katanya ditemui usai persidangan. #rct-lovina