–Sidang Lanjutan Pemeriksaan Terdakwa Suparno
PN SIAK—Selasa, 31 Maret 2015. Sidang kasus perambahan hutan cagar biosfer di kecamatan Siak Kecil dengan terdakwa Suparno, kembali digelar. Bertempat di ruang cakra Pengadilan Negeri Siak, agenda sidang pemeriksaan ahli dijadwalkan pukul 13.00.
Ruang Cakra masih sepi siang itu. Namun hari ini hingga masuk waktu ashar ruang cakra tetap tak ada aktivitas apa pun. Penjaga di lobby pengadilan katakan, sidang ditunda karena Hakim Ketua Sorta Ria Neva sedang berada di Pengadilan Tinggi Riau, Pekanbaru. Terdakwa Suparno usai shalat zuhur bergegas masuk mobil pribadinya meninggalkan pengadilan.
Salah satu Penasihat Hukum terdakwa Suparno, Wan Arwin Temimi dijumpai di kantin Pengadilan Negeri Siak mengatakan, sidang ditunda “Hakim ketua masih di Pekanbaru, Jaksa juga ada rapat,” ucapnya. Temimi meninggalkan Pengadilan Negeri Siak.
Sebelumnya, Endah Jaksa Penuntut Umum saat dihubungi lewat pesan singkat mengatakan, sidang akan dimulai setelah shalat Zuhur. Saat ditemui di ruangannya di Kejaksaan Ngeri Siak, Endah juga katakan, sidang tidak ditunda. “Tidak ada pemberitahuan sidang ditunda dari hakim,” tambah Endah.
“Sidangnya setelah shalat ashar,” kata Panitera.
Setelah Ashar, Suparno terlihat sudah berada dalam ruangan duduk bersebelahan dengan Prayoto, dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau bidang Pemetaan. Prayoto diminta oleh Penasihat Hukum Suparno, bertindak sebagai saksi ahli. Penasihat Hukum terdakwa Suparno juga bertambah dua orang dari Polda Riau yaitu Kompol Rusli dan Nerwa.
Tiga hakim memasuki ruang sidang. Ada yang lain, Hakim Ketua—Sorta Ria Neva yang biasa memimpin sidang tak tampak di meja hijau. Kursi hakim Ketua diganti oleh Alfonso Nahak dan dua hakim anggota, Rudi Wibowo serta Naibaho. Alfonso Nahak memberitahukan, bahwa hakim Ketua Sorta Ria Neva tidak bisa hadir, karena sedang ada tugas di Pekanbaru. Sebelum mengetuk palu tanda sidang dibuka, Alfonso Nahak meminta pertimbangan Penasihat Hukum dan Jaksa Penuntut Umum “Bagaimana dengan Jaksa dan Penasehat hukum, apakah keberatan?” kata Alfonso. Secara bergantian mereka menjawab tidak keberatan sidang dilanjutkan.
Saksi Ahli Prayoto, pegawai Dinas Kehutanan Riau bidang Pemetaan
Sebelum sidang dimulai, hakim minta surat tugas dan kartu identitas Prayoto. Surat tugas tak distempel, hakim minta Prayoto untuk bawa surat yang telah distempel di sidang selanjutnya. Sidang dilanjutkan.
Prayoto lulusan Universitas Gajah Mada (UGM), Sejak 2001 ia bekerja di Dinas Kehutanan Riau, bidang Perencanaan dan 2009 sampai kini ia di bagian pemetaan. Terkait regulasi izin kepemilikan lahan di Riau, Prayoto mengatakan, belum ada aturan yang jelas dalam penetapan kawasan hutan. “Untuk kepemilikan lahan HTI, perusahaan diberikan izin baru mengukur tapal batas,” katanya. Dalam tapal batas tidak jelas dibunyikan titik batas yang sebenarnya.
Sedangkan untuk kepemilikan lahan perkebunan, perusahaan memiliki tapal batas sesudah itu mendapatkan SK. “Aturan itu yang buat konflik perusahaan dengan masyarakat,” ucap hakim Nahak. Prayoto juga mengatakan enclave tidak pernah dilakukan oleh perusahaan, “Seharusnya lahan warga dikeluarkan dari konsesi perusahaan,” ujarnya.
Tim penasehat hukum Suparno minta Prayoto jelaskan titik koordinat lahan milik suparno depan majelis hakim, sebelumnya Suparno dan tim melakukan pengukuran lahan dengan mencatat titik koordinat. “Koordinat milik Suparno tidak masuk di kawasan PT Balai Kayang Mandiri (BKM),” katanya. Posisi lahan Suparno berada di perbatasan lahan PT BKM. Prayoto hanya membaca titik ko0rdinat saat persidangan, ia tidak ikut turun dengan pihak Suparno.
Dalam dakwaan JPU, Suparno didakwa melakukan kegiatan usaha budidaya tanaman perkebunan kepala sawit di atas areal seluas 433,35 ha di Desa Tasik Betung Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak. Yang merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Minas dan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil.
Suparno melakukan budidaya perkebunan kelapa sawit, di lahan berdasarkan nota lampiran SK Menteri kehutanan RI No;173/kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1989 tentang Tata guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di wilayah Provinsi Riau tingkat 1, berada pada tiga lokasi; Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Minas yang telah diberi izin pemanfaatan atas nama PT Balaia Kayang Mandiri; Hutan Produksi Terbatas (HPT) Minas di luar areal kerja PT Balai Kayang Mandiri dan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil.
Menurut hakim Nahak, ada tumpang tindih terhadap status lahan di Riau yang dikeluarkan oleh kementerian dan pemerintah daerah, “Menteri bilang hutan, kepala desa keluarkan SKGR,” ucap Nahak. Biarpun SK 173 tahun 1989 tentang kawasan hutan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan SK 878.
Terhadap status lahan yang belum jelas, banyak terjadi perambahan lahan yang dilakukan oleh warga dan pemerintah,”“Tidak ada keputusan dari menteri kehutanan yang mengatur praktek perambahan,” kata Prayitno.
“Jauh sebelum 2010, lahan sudah ditanami sawit.” Ia juga melihat ini terjadi karena, hak warga untuk memiliki lahan tidak diberikan, “Kita tau lahan HTI dan perkebunan di Riau hanya di kuasai oleh segelintir orang, bagaimana dengan warga yang ingin memiliki lahan untuk mencukupi kehidupannya,” ujar Prayitno.
Menurutnya, tahun 2015, sekitar 4,5 juta kawasan hutan di Riau menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Produksi Konversi (HPK).
Sebelum sidang ditutup, pihak penasehat hukum minta sidak lapangan, menurut mereka saat kasus ini muncul, terdakwa Suparno tidak dilibatkan dalam peninjauan lokasi, sehingga ada perbedaan dalam penentuan titik koordinat. Pukul 5 sore, sidang akhirnya selesai. Dilanjutkan pada 7 April dengan agenda pemeriksaan terdakwa. #fadli-rct