PN SIAK, Selasa 14 April 2015–Cuaca kota Siak cerah dan lumayan panas hingga dalam ruang sidang cakra Pengadilan Negeri Siak. Air Conditioner nya rusak, hanya kipas gantung yang berfungsi. “Kalau AC tu dihidupkan mati sendiri dia,” kata seorang petugas. Ruang sidang cakra ini akan digelar sidang lanjutan terdakwa Suparno atas kasus perambahan hutan cagar biosfer di Giam Siak Kecil.
“Agenda sidang kita hari ini pemeriksaan terdakwa Suparno,” kata Hakim Ketua, Sorta Ria Neva.
Suparno seorang anggota Polri. Mulai bertugas dari tahun 1990 hingga sekarang. Tempat bertugas mulai dari Sumatera Barat, Kepulauan Riau hingga Riau. Saat terlibat dalam pembelian tanah di lokasi yang bermasalah, Suparno menjabat sebagai Kapolsek Kandis tahun 2011 hingga 2013.
Awalnya Suparno dapat informasi dari Zulakrial dan Ristopo. Zulakrial dosen di Universitas Islam Riau sementara Ristopo sebagai Kasi Pidsus di Kejaksaan Negeri Rokan Hilir. “Mereka berdua teman kuliah,” kata Suparno. Ristopo punya teman seorang Kepala Desa Jaya Pura, namanya Pungut. Lewat Pungut lah jual beli tanah dengan Suparno mulai terjadi. Suparno sudah lama kenal Pungut saat bertugas di Polsek Sugai Apit.
Setelah diberitahu oleh Zulakria dan Ristopo, satu bulan kemudian Pungut datang ke Pekanbaru dan langsung menghubungi terdakwa Suparno. Sorenya, Suparno mendatangi Pungut yang saat itu menginap di hotel. Pungut ditemani oleh Sapaat. Lalu mereka berbincang-bincang di depan hotel.
“Ngobrolnya berdiri saja?” tanya Sorta.
“Iya,” jawab terdakwa Suparno. Kata Suparno, Pungut saat itu mau meminjam uang.
Pembicaraan hanya sebentar dan Suparno langsung pulang. Dalam perjalanan Suparno menguhubungi Pungut kembali dan memintanya untuk datang ke rumah Suparno hari itu juga. Tiba di rumah Suparno, Sapaat yang kala itu ikut menemani Pungut langsung membuka peta dan menunjukkan lokasi tanah yang berada di Buatan Besar. “Ini peta tanah rakyat,” kata Suparno meniru ucapan Sapaat saat itu.
Pungut lalu menawarkan tanah yang ada di lokasi tersebut pada terdakwa Suparno. “Ambil saja punya aku, luasnya 20 Hektare.”
Terdakwa Suparno lalu meminta Pungut membawa Kepala Desa Buatan Besar untuk datang ke Pekanbaru. “Karena surat-surat lahan itu tidak ada saat itu.” Terdakwa Suparno lalu memberi uang Rp. 250 ribu pada Pungut untuk pulang ke Siak.
Dua bulan kemudian, Pungut datang bersama Rahim Kepala Desa Buatan Besar, Suwanto dan juga Sapaat. Mereka membawa peta, surat perizinan, laptop dan surat kelompok tani. Pertemuan itu pada sore hari di rumah Suparno di Pekanbaru. Di rumah ini dijelaskan batas-batas tanah yang ditawarkan pada Suparno. Sebelah kiri berbatasan dengan masyarakat, belakang berbatasan dengan tanaman akasia, kanan berbatasan dengan masyarakat Bunga Raya dan di depan berbatasan dengan kanal.
Setelah pertemuan itu, satu bulan kemudian, Suparno, Pungut, Rahim, Suwanto dan Sapaat meninjau lokasi tanah yang akan dibeli. Mereka mengendarai sepeda motor. Rahim sudah menunggu di rumah makan dekat kantor Kepala Desa. Tiba di lokasi, Sapaat mengeluarkan Global Positioning System atau GPS.
“Apakah saudara melihat PT di situ?” Tanya Sorta.
“Ada. Kanal dulu baru akasia,” Jawab terdakwa Suparno.
Setelah ke lapangan meninjau lokasi tanah, kesepakatan jual beli tanah pun dilakukan. Terdakwa Suparno minta Surat Keterangan Tanah atau SKT, dan meminta SKT tersebut diantarkan ke Pekanbaru.
Dua bulan setelahnya, Rahim Kepala Desa Buatan Besar dan Sapaat pun datang membawa 10 SKT ke rumah Suparno. Sugeng Ketua RT di Buatan Besar dan Suwanto ikut menemani. Hanya Pungut yang tidak ikut. Dari 10 SKT yang dibawa, masing-masing 5 SKT atas nama terdakwa Suparno dan Fredi istri terdakwa Suparno, serta 5 SKT atas nama Maryanto, Indra anak Maryanto dan Istrinya.
Pembuatan 1 SKT biayanya Rp. 2 Juta. Rahim lalu meminta uang muka Rp. 10 Juta dari total 10 SKT sebesar Rp. 20 Juta. Setelah Rahim menyerahkan SKT pada Suparno, Maryanto yang juga ikut, membeli menyerahkan tanah tersebut pada terdakwa Suparno untuk ditanami dan dikelola.
Maryanto yang pernah diperiksa sebagai saksi pada sidang sebelumnya, mengatakan, dia tidak tahu menahu lagi soal tanah itu karena sudah diserahkan pada terdakwa Suparno pengelolaannya. “Saya tidak sanggup lagi membayar, bahkan surat-surat itu pun tidak ada sama saya,” kata Maryanto saat bersaksi.
“Surat-surat itu sudah saya serahkan pada dia, mungkin dia lupa,” jelas terdakwa Suparno depan majelis Hakim. Kata terdakwa Suparno, soal bagi hasil atas pengelolaan tanah tersebut ditentukan dikemudian hari.
Pada 2011, Rahim dan Suwanto datang kembali ke Pekanbaru, meminta sisa uang Rp. 10 Juta yang belum dilunasi oleh terdakwa Suparno. Sisa uang itu pun dilunasi oleh terdakwa Suparno. Kedatangan Rahim dan Suwanto kali ini juga menawarkan lagi lahan yang lebih luas. “Lokasi nya di seberang lahan yang diawal,” kata terdakwa Suparno. Suparno lalu menawarkan lahan tersebut pada Heru, atasan terdakwa Suparno di Kepolisian Daerah atau Polda Riau. Tidak hanya Heru, atasan Suparno di Polda Riau yang ikut membeli lahan ini, Amrozi dan Putu.
“Penyakit ini sudah terbuka semua, kamu jangan jadi pahlawan, jangan kamu kubur sendiri,” tegas Sorta.
“Iya yang mulia,” jawab terdakwa Suparno.
Saat membeli lahan yang ditawarkan oleh Rahim, Heru, Amrozi dan Putu sebagai Inspektur Pengawasan Daerah atau Irwasda di Polda Riau. Ketiganya berpangkat Komisaris Besar atau Kombes. “Pak Heru sudah pensiun, Pak Amrozi dan Pak Putu sekarang di Mabes,” jelas terdakwa Suparno.
“Apa motivasi saudara tidak menyebutkan nama-nama Kombes itu saat di penyidikan?” tanya Rusli, Penasihat Hukum terdakwa Suparno.
“Karena saya merasa beliau akan menyelesaikan masalah ini,” balas terdakwa Suparno.
Pada penjualan lahan tahap kedua ini, Heru mendapatkan 14 Hektare, Putu 14 Hektare, Amrozi 24 Hektare dan Joni 14 Hektare. “Joni itu Brimob,” kata terdakwa Suparno. Adalagi Subhan yang juga ikut membeli seluas 10 Hektare dan Saiman 7 Hektare. Kata terdakwa Suparno, Subhan itu Ustad, dia mau membangun pesantren di sana. Terdakwa Suparno sebagai penghubung dalam penjualan semua lahan ini.
“Ada keaktivan saudara juga dalam menawarkan lahan-lahan itu pada orang,” tegas Sorta. “Apa tujuan anda menawarkan lahan itu pada Heru? Anda mau cari backing karena dia Irwasda?”
“Tidak. Dia hobi saja. Saya pun tak tahu pak Amrozi tahu dari mana lahan itu,” balas terdakwa Suparno.
Dalam pembuatan SKT dari lahan-lahan yang dibeli juga terlihat sepele. Terdakwa Suparno cukup mengirim nama-nama yang akan dibuatkan SKT lewat short message service atau pesan singkat, pada Rahim.
“Tak ada prosedur hukum? Orang hukum harus taat hukum,” bantah Sorta.
“Anda pun lalai terhadap status hutannya bagaimana,” kata Alfonso Nahak, hakim anggota.
Dari kesemua lahan yang dibeli, terdakwa Suparno juga terlibat dalam penanaman bibit pada lahan yang luasnya lebih dari 25 Hektare. Mulai dari biaya, pekerja di lahan, semuanya diserahkan pengurusannya pada Suparno. “Dalam Undang-Undang kehutanan, kalau menanam lebih dari 25 Hektare harus ada izinnya. Kamu ada izin?” tanya Sorta.
“Tidak ada,” jawab Suparno.
“Kamu sadar kesalahan mu?”
“Sadar.”
“Kalau sadar salah diapain?”
“Di Hukum.”
Tanya jawab hakim dan terdakwa Suparno itu menutup sidang sore pukul 15.45. Sidang yang berjalan sekitar 2 jam 12 menit itu dilanjutkan kembali pada 21 April 2015. Jumat 17 April, akan dilakukan pemeriksaan lapangan. “Penasihat Hukum dan terdakwa tolong atur teknisnya,” tutup Sorta. #rct-Suryadi