Opini

KORUPSI DAN MEMBUKA SP3 ILLOG RIAU

SEHARI SEBELUM SERTIJAB Kapolda Riau Sutjiptadi ke Hadiatmoko, saya wawancara Sutjiptdi, Kapoda Riau 2006-2008, di lantai dua Polda Riau, pada 13 Mei 2008. Wawancara itu terkait Sutjiptadi serahkan berkas kejahatan kehutanan yang mengandung unsur korupsi ke KPK pada Mei 2008. “Saya hanya melanjutkan aspirasi masyarakat yang meminta agar kasus korupsi segerta diusut dan dibawa ke KPK,” kata Sutjiptadi.

Saya waktu itu wartawan Bahana Mahasiswa Universitas Riau.  Edisi wawancara itu, terbit pada rubrik Bincang-Bincang Bahana Mahasiswa edisi Mei-Juni 2008 hal 15. Saya ambil berapa jawaban Sutjiptadi seputar kejahatan kehutanan. 

Kasus ini menyangkut pejabat tinggi di Riau? 

Pasti. Kalau namanya kayu pasti menyangkut pejabat, karena mereka yang memberi izin. Dan jika ini terjadi, tentu tidak hanya menyangkut seorang pejabat saja, ada yang menyuruh tentu ada juga yang membantu. Banyak jadinya. Bukti awal sudah cukup. Buktinya KPK sudah turun ke lapangan kalau bukti tersebut sudah cukup. Dan kami rasa memang bukti sudah cukup.

Apakah pengungkapan kasus Azmun Jaafar bisa jadi embrio pengungkapan kasus lebih besar? 

Itukan ditangani KPK. Tapi ini juga menyangkut kasus Madukoro yang kita tangani. Ini entri untuk kita bisa masuk ke salah satu sisi. Yang jelas perizinan tidak akan melibatkan satu orang. Tentu ada yang memohon dan menerbitkan izin. Semuanya kita jadikan saksi. Saksi-saksi ini dalam perkembangannya dalam penyidikan bisa saja jadi tersangka.

Esok (14 Mei 2008) anda sertijab, apa harapan anda terhadap proses hukum di Riau? 

Karena negara kita negara hukum kita harus taat hukum. Siapa yang menghalangi itu yang harus ditindak.


Fenomena kasus tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan (illegal logging) tahun 2001-2006 dibongkar habis-habisan saat Kapolda Riau dijabat Brigadir Jenderal Sutjiptadi pada Desember 2006. 

Pada 2007, Polda Riau bergerak cepat; memeriksa puluhan saksi, menyita dan mengamankan 133 eksavator (alat berat), menetapkan sekitar 200 tersangka, Menangkap 90 truk dan menyita 2 juta meter kubik kayu log tanpa dokumen resmi. Barang bukti itu terlacak milik 14 perusahaan pemasok kayu ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (PT IKPP). 

Secara politik Presiden SBY memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI selaku Koordinator Penanggulangan Pembalakan Ilegal (illegal logging), segera mengumumkan 14 dari 21 perusahaan pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), dan meminta Kapolda Riau segera memproses secara hukum.

Dapat dukungan politik dari Presiden SBY, Polda Riau mulai limpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Riau. Namun, indikasi aneh mulai terlihat. Sepanjang September 2007-Juli 2008, kejaksaan empat kali kembalikan berkas perkara ke Polda Riau karena berkas belum lengkap (P-19).

Situasi politik berubah saat korporasi melancarkan serangan—salah satu serangan, PT RAPP PHK massal karyawan. Tiba-tiba, Sutjiptadi diganti oleh Brigjend Hadiatmoko. Hadiatmoko mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 pada 11 Desember 2008, karena dinilai Tidak cukup bukti, Bukan merupakan Tindak Pidana. Dalam siaran pers nya, Hadiatmoko menyatakan keluarnya SP3 karena Penyidik  tak memiliki cukup bukti untuk meneruskan perkara tersebut, selain itu keterangan Ahli dari Departemen Kehutanan & Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa ke-13 perusahaan yang disidik tersebut memiliki “izin” dan dalam operasinya tidak mengakibatkan perusakan lingkungan (belakangan diketahui tidak ada keterangan saksi ahli dari Kementerian LH).

Publik terkejut, sebab selama 22 bulan kasus ini berjalan dan secara mengejutkan di SP3-kan oleh Polda Riau. Padahal November 2008, Hadiatmoko mengatakan bahwa tak akan mengeluarkan SP3 terkait kasus ilegal logging di Riau.

Barangkali, Sutjiptadi sudah mengendus SP3 itu. April 2008, sebulan sebelum digantikan Hadiatmoko, Sutjiptadi  melaporkan dugaan tindak pidana korupsi pemberian izin kehutanan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK mulai memburu para koruptor hingga dibawa ke Pengadilan Tipikor. Putusan Pengadilan Tipikor memperlihatkan; selain korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan (illegal logging) dengan cara menebang hutan alam, korporasi juga melakukan korupsi saat pengurusan izin IUPHHKHT dan RKT. Artinya, korupsi dilakukan korporasi agar bisa merusak hutan alam di Riau. Negara dirugikan miliaran hingga triliunan rupiah.  

Dari 14 (empat belas) kasus kejahatan Illegal Logging yang di SP3-kan oleh Polda Riau, tiga korporasi ada dalam kasus korupsi kehutanan yang ditangani KPK. PT Merbau Pelalawan Lestari (Korporasi dalam Kasus Azmun Jaafar, Asral Rachman dan Burhanuddin Husin), PT Madukoro (Korporasi dalam kasus terpidana Azmun Jaafar, terpidana Asral Rahman dan terdakwa Burhanuddin Husin) dan PT Rimba Mandau Lestari (Korporasi dalam kasus terpidana Asral, Arwin dan terdakwa Burhanuddin Husin). 


MESKI KASUS KORUPSI KEHUTANAN ditangani KPK, publik masih terkejut dan bertanya-tanya, kenapa kasus kejahatan kehutanan illog Riau SP3-kan oleh Polda Riau? Padahal November 2008, Hadiatmoko mengatakan bahwa tak akan mengeluarkan SP3 terkait kasus ilegal logging di Riau.

Public pun protes melakukan ragam aksi, mulai dari unjuk rasa, seminar. Intinya, public menilai keluarnya SP3 itu, membuktikan ketidakberdayaan penegak hukum terhadap ancaman investasi (yang belum tentu sepenuhnya benar) dan praktek-praktek kolutif dan indikasi mafia dari persoalan ini.

Pertanyaan public di atas, terjawab dari hasil temuan Satgas PMH (Juni 2011) dan Hasil Eksaminasi Publik SP3 Iillog Riau yang ditaja ICW-Jikalahari (November 2011) di Jakarta. 

Temuan Satgas PMH. Pada Selasa-Rabu, 7-8 Juni 2011, Satgas PMH taja  koordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan terhadap kasus illegal logging atas 14 perusahaan di Riau. 

Pertemuan itu diikuti oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kadiv Pembinaan Hukum Mabes Polri, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, Direktur dan Wakil Direktur V Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Ahli Kehutanan IPB.

Dari hasil koordinasi tersebut, dihasilkan hal-hal sebagai berikut:

Hasil kajian Satgas PMH menyimpulkan bahwa terdapat 4 alasan untuk dapat membuka kembali SP3 tersebut:

Alasan penerbitan SP3 menimbulkan keraguan serta ketidakpastian karena terdapat banyak kejanggalan terkait materi pembuktian maupun penunjukan ahli sebagai berikut:

  1. Penunjukan Ahli dari Kementerian Kehutanan Pusat dan Dinas Kehutanan Riau yang terdapat potensi konflik kepentingan justru dijadikan dasar untuk menilai sah atau tidaknya izin yang dikeluarkan. 
  2. Pengabaian Ahli-Ahli Independen yang selama ini kesaksiannya digunakan oleh pengadilan dalam kasus-kasus illegal logging, dimana keterangan ahli tersebut setidaknya telah memperkuat upaya pemenuhan unsur-unsur pidana yang disangkakan.
  3. Ahli-ahli independen tersebut justru dihadirkan sendiri oleh penyidik namun kemudian pendapatnya tidak dipertimbangkan setelah ada petunjuk (P19) dari Jaksa. Kemudian terbit SP3 yang salah satu pertimbangannya menggunakan pendapat ahli dari Kementerian Kehutanan.
  4. Alasan penerbitan SP3 hanya terkait dengan tindak pidana kehutanan, sementara tindak pidana lingkungan hidup belum dipertimbangkan.
  5. Dengan demikian patut diduga terdapat kejanggalan dalam penerbitan SP3 tersebut.

Dengan adanya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan dalam tingkat Kasasi dengan terdakwa H Tengku Azmun Jaafar, S.H. memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro adalah melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah. 

Terhadap keterangan para ahli dari Kementerian Kehutanan (BS dan BW) yang dijadikan dasar pertimbangan penerbitan SP3 PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukoro menjadi tidak bernilai karena bertentangan dengan Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009. Sehingga terhadap SP3-SP3 lainnya yang menggunakan keterangan para ahli tersebut secara hukum dapat dianggap tidak lagi mempunyai nilai pembuktian. 

Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 menunjukkan bahwa proses penerbitan IUPHHK-HT dalam perkara in casu merupakan perbuatan tindak pidana korupsi, oleh karenanya patut diduga dalam penerbitan ijin IUPHHK-HT terhadap 14 perusahaan yang dihentikan penyidikannya, tidak menutup kemungkinan terdapat indikasi tindak pidana korupsi.

Forum menyepakati bahwa SP3 perkara illegal logging terkait 14 perusahaan dapat dibuka kembali jika terdapat petunjuk atau bukti baru; Beberapa pendapat terkait kemungkinan dibukanya kembali SP3 tersebut, yakni:

  1. Para pihak yang berkepentingan dengan penerbitan SP3 terhadap 14 perusahaan dapat menempuh jalur hukum melalui proses praperadilan; 
  2. SP3 dapat dibuka kembali atas prakarsa dari Polri sebagai pihak yang menerbitkan SP3 sepanjang terdapat bukti baru atau keadaan baru; 
  3. Mendorong KPK sesuai dengan kewenangannya untuk memprakarsai proses hukum terhadap 14 perusahaan dengan mengacu pada putusan MA dengan terdakwa Tengku Azmun Jaafar berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi; 
  4. Gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian negara yang diajukan oleh Negara (dengan Jaksa sebagai Pengacara Negara) berdasarkan Pasal 90 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun kerugian Negara diperkirakan sebagai berikut:
  5. Kerugian negara karena hilangnya Nilai Kayu (log) pada 14 perusahaan IUPHHK-HT di Provinsi Riau sebesar Rp 73.364.544.000.000,- 
  6. Total yang biaya kerugian Perusakan Lingkungan pada 14 perusahaan di Provinsi Riau adalah Rp  1.994.594.854.760.000,-.

Berdasarkan hasil rapat koordinasi ini, Satgas PMH akan mengambil langkah sebagai berikut;

  1. Melaporkan hasil rapat koordinasi kepada Presiden; 
  2. Meminta KAPOLRI untuk mempertimbangkan pencabutan SP3 dan pembukaan kembali penyidikan dengan pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas;
  3. Meminta kepada KPK untuk memprakarsai proses hukum terhadap penyelenggara negara dan pihak terkait lainnya dalam hubungannya dengan kasus 14 Perusahaan yang dihentikan berdasarkan SP3 dengan mengacu pada putusan MA dengan terdakwa Tengku Azmun Jaafar berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi;
  4. Meminta Kementerian Lingkungan Hidup untuk melakukan gugatan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 90 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  5. Bersama-sama dengan Kementerian Kehutanan akan menindaklanjuti upaya pembenahan tata kelola di sektor kehutanan melalui POKJA yang dibentuk bersama dengan Kementerian Kehutanan untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa di masa yang akan datang.

 

Hasil Eksaminasi Publik Terhadap Penghentian Penyidikan (Sp3) Atas 14 Perusahaan IUPHHKHT Di Provinsi Riau, juga tak jauh beda dengan hasil temuan Satgas PMH. Berikut rekomendasi tim Eksaminasi; 

  1. Bahwa SP3 terhadap 14 perusahaan kehutanan tersebut dibatalkan dan perkara dibuka kembali untuk dilakukan proses penyidikan dan penuntutan, dengan catatan karena Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka tindak pidana yang menyangkut Lingkungan Hidup tidak dapat didakwakan karena kejadiannya telah terjadi sebelum Undang-Undang No,32 tahun 2009 berlaku padahal pelanggaran terhadap Lingkungan Hidup telah terjadi ketika Undang-Undang No.23 tahun 1997 masih berlaku. Oleh karena itu, perbuatan tindak pidana tersebut tidak dapat dituntut dengan Undang-Undang yang sudah dinyatakan tidak berlaku.
  2. Bahwa Polda Riau dapat melakukan penyidikan kembali terhadap kasus-kasus tersebut dengan lebih fokus terhadap bagaimana mencari dan menemukan bukti-bukti yang kuat dalam masing-masing peristiwa pidana tersebut.
  3. Bahwa adanya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan dalam tingkat Kasasi dengan terdakwa H Tengku Azmun Jaafar, S.H. memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro adalah melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah untuk itu menjadi kewajiban Penyidik dalam hal ini Polda Riau untuk mencabut SP3 tersebut dan meneruskan kembali penyidikan atas 14 perusahaan IUPHHKT-HT di Propinsi Riau.
  4. Bahwa selain menjerat dengan tindak pidana kehutanan, maka tidak menutup peluang untuk menjerat pelaku atau koorporasi dengan tindak pidana korupsi. 
  5. Bahwa Kementerian Kehutanan segera melakukan proses pengukuhan kawasan hutan secara nasional.
  6. Bahwa perlu dilakukan revisi terhadap ketentuan pidana dan juga ketentuan lainnya dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Intinya, SP3 illog Riau tahun 2008 bisa dibuka kembali, berdasarkan telaahan hukum dari Satgas PMH dan tim Eksaminasi Publik ICW-Jikalahari; 

  1. Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 menunjukkan bahwa proses penerbitan IUPHHK-HT dalam perkara in casu merupakan perbuatan tindak pidana korupsi, oleh karenanya patut diduga dalam penerbitan ijin IUPHHK-HT terhadap 14 perusahaan yang dihentikan penyidikannya, tidak menutup kemungkinan terdapat indikasi tindak pidana korupsi, (Satgas PMH). 
  2. Bahwa adanya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan dalam tingkat Kasasi dengan terdakwa H Tengku Azmun Jaafar, S.H. memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro adalah melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah untuk itu menjadi kewajiban Penyidik dalam hal ini Polda Riau untuk mencabut SP3 tersebut dan meneruskan kembali penyidikan atas 14 perusahaan IUPHHKT-HT di Propinsi Riau. (Hasil Eksaminasi Publik ICW-Jikalahari).

Artinya putusan hakim tipikor, dari kasus korupsi kehutanan Azmun Jaafar telah menemukan Petunjuk sekaligus Bukti Baru. Berdasarkan pasal pasal 109 KUHAP, ayat 2 berbunyi; Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

Artinya SP3 bisa dibuka kembali jika ada petunjuk atau bukti baru. 

Pasal 184 dalam KUHAP; 

(1). Alat bukti yang sah ialah:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

 (2). Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan:“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Pasal 185 KUHAP ayat 1; Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 188 KUHAP; 

(1). Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2). Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa.


Bukti baru sekaligus petunjuk lainnya, selain kasus terpidana Azmun Jaafar, juga ada dalam kasus terpidana Asral Rahman, terpidana Arwin AS, terpidana Suhada Tasman, dan terdakwa Burhanuddin Husin. Salah satu bukti barunya adalah; Kesaksian para Direktur Korporasi. 

Kesaksian Para Direktur Korporasi

Arwin As dan Korporasi PT Bina Daya Bintara, PT Nasional Timber and Forest Product, PT Seraya Sumber Lestari (Ketiganya mitra PT RAPP), PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari (Keduanya mitra PT IKPP) adalah pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam Kasus Arwin As. Dalam tahun 2002-2005 Terdakwa Arwin AS sejak awal tahu rencana permohonan IUPHHK-HT oleh beberapa perusahaan. Terbukti adanya pertemuan antara terdakwa dengan Asral Rahman dan perusahaan calon pemohon IUPHHK-HT. Sebelum IUPHHK-HT terbit, terdakwa lakukan serangkaian pertemuan dengan Asral Rahman dan direktur-direktur perusahaan:

Arwin bersua dengan Sunarijo, Direktur PT. National Trmber and Forest Product. Sunarijo ingin ajukan IUPHHK-HT di Siak. Terdakwa saran berkoordinasi dengan Asral Rachman, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Siak. Sunarijo kenal Arwin AS karena Asral Rachman. Waktu itu Arwin dan Asral hendak naik haji bersama-sama. Dan Asral beritahu Sunarijo perihal naik haji. Asral dan Arwin naik haji bersama. Asral bilang ke Sunarijo kalau ia mau naik haji bersama Arwin. 

Ada diberikan uang dari Sunarijo untuk naik haji, tapi ia pastikan tidak ada kaitannya dengan izin IUPHHK-HT. Saat itu proses izin sedang berjalan. Dalam BAP, tercantum Pina Liangita, Kepala Bagian Keuangan PT Siak Raya Timber mengeluarkan biaya Rp 17 juta untuk naik haji Arwin. Saat itu yang ambil uangnya langsung Sunaryo. Ia katakan untuk bantuan naik haji Arwin. 

Setelah uang diberikan ke Sunarijo, Pina akan bikin voucher sebagai bukti uang keluar dan peruntukannya. Dalam BAP juga tercantum banyak sekali pengeluaran tidak resmi yang dikeluarkan PT Nasional Timber and Forest Product, anak perusahaan PT Siak Raya Timber. Salah satunya untuk beli dasi Asral Rahman. Pina tetap mengaku tidak pernah ketemu dan tidak kenal semua orang yang mendapat uang tersebut. Yang meminta dana banyak dari orang dalam perusahaan sendiri. “Mereka ambil sendiri uangnya,” kata Pina.

Arwin mengaku Asral Rachman pernah menelepon dirinya bahwa ada orang mau tanamkan investasi di Siak. Terdakwa sambut baik dan terjadi pertemuan di restoran hotel Dian Graha Pekanbaru. Hadir dalam pertemuan selain terdakwa dan Asral Rachman ada Samuel, Amir Sanggani Kabag Ekonomi, Fikri, Delta dan Sunaryo. 

Arwin bersua Asrul Adam (sepupu Terdakwa) pemilik PT Balai Kayang Mandiri di Kafe Oh La La di Mall Ciputra (milik Samuel Songadji direktur PT Seraya Sumber Lestari) dan kedai kopi Yakun di Jalan Setiabudi Pekanbaru. Asrul Adam ingin ajukan IUPHHK-HT.  Proses ajuan diurus Wan Junaidi. Wan Junaidi mengaku empat kali pertemuan dilakukan dengan terdakwa sebelum maupun sesudah pengajuan IUPHHK-HT. Terdakwa minta segera ajukan permohonan. Arwin mengakui pertemuan itu tapi tak ada hubungan dengan perizinan dan janji-janji. 

Arwin bersua Samuel Soengjadi dan lr. Delta dari PT. Seraya Sumber Lestari di ruang kerja Terdakwa. Mereka  meminta disposisi terdakwa atas permohonan yang diajukan PT. Seraya Sumber Lestari. Setelah dapat disposisi, Samuel Soengjadi dan lr. Delta serahkan surat permohonan IUPHHKHT yang terdapat disposisi asli dari Terdakwa. Delta bersama Kepala Desa Tumang (alm) pernah datang ke rumah terdakwa untuk memohon IUPHHK-HT. Terdakwa mengakui Asral Rachman kenalkan terdakwa dengan para investor itu. Arwin persilakan ajukan izin. Karena terdakwa tidak mengerti hal hal tekhnis, ia sarankan bicara dengan Asral Rachman, kalau boleh terdakwa akan tandatangani. 

Ficky menandatangani IUPHHK-HT bersama Arwin pada 8 Mei 2002. PT Bina Daya Bintara bergerak di bidang perkayuan. Punya lahan di Kabupaten Siak. Lahan berupa IUPHHK-HT. Ficky ajukan permohonan sendiri. Syaratnya perusahaan dan lahan. Berupa hutan produksi. Sudah ditinjau. Diajukan ke Bupati. “Bupati suruh ke Dinas Kehutanan,” kata Ficky. 

Arwin dan Asral Rachman bersua Benny Santoso soal permohonan IUPHHKHT PT. Rimba Mandau Lestari. 

Pada sekira Mei 2001-Mei 2002 Arwin terima permohonan IUPHHK-HT dari lima perusahaan itu. Lantas Arwin beri disposisi kepada Asral Rachman pada prinsipnya setuju menerbitkan IUPHHK-HT. Terdakwa minta pada Asral Rachman segera proses dan persiapkan syarat-syarat kelengkapan untuk terbitkan IUPHHK-HT. Agus Syamsir terangkan pada 2001-2002 saat dirinya jabat Kepala Seksi Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPH) di Dinas Kehutanan Siak. Ia terima IUPHHK-HT lima perusahaan. Ia langsung proses menerbitkan Surat Petimbangan Tekhnis yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Siak. 

Asral Rachman merespon. Ia tugasi Tim survey ke lokasi IUPHHK-HT PT. Rimba Mandau Lestari dan PT. Bina Daya Bintara. Hasilnya dua areal itu berupa areal hutan alam memiliki potensi tegakan 5 m3/Ha sehingga tak sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001. Khusus PT. Balai Kayang Mandiri, PT Seraya Sumber Lestari dan PT. National Timber and Forest Product tidak dilakukan pemeriksaan lapangan oleh tim survey. Ini lantaran PT Balai Kayang Mandiri milik keluarga terdakwa dan PT Seraya Sumber Lestari (direktur Samuel Soengjadi) serta PT Nasional Timber Forest and Product (Direktur Soenarijo) keduanya teman Asral Rahman. 

Menurut Agus Syamsir, ia diperintahkan Kadis Kehutanan Propinsi Riau, Asral Rahman untuk keluarkan rekomendasi meski tak ada laporan survei. Setelah keluar izin prinsip IUPHHK-HT oleh terdakwa Arwin, Agus Syamsir terima uang sekitar Rp 37 juta. 

Agus Syamsir dianggap melanggar peraturan Menteri Kehutanan Nomor 10.1 tahun 2000. “Saya cuma jalankan perintah atasan,” kata Agus Syamsir. “Sudah tahu melanggar kenapa dijalankan?” tanya hakim. “Perintahnya harus keluarkan rekomendasi apapun yang terjadi.”

Arwin Arwin bantah semua pernyataan Agus Syamsir. Ia mengaku tak pernah terima uang dari Agus Syamsir. Mengenai izin IUPHHK-HT kepada lima perusahaan yang dikeluarkan, Arwin katakan, sebelumnya Asral Rahman telah yakinkan dirinya kalau izin kelima perusahaan tidak ada masalah. “Karena itu saya tanda tangan izin. Saya tidak mengerti tentang izin hutan ini,” akunya.

Meski salahi aturan Asral tetap  berikan surat saran pertimbangan teknis pencadangan areal hutan tanaman kepada Terdakwa. Yang intinya mendukung dikabulkan permohonan IUPHHK-HT. Mengetahui surat itu kelima perusahaan itu memberi uang kepada Agus Syamsir untuk segera membuat konsep pertimbangan teknis.

Meski salahi aturan dan tahu hasil survey, Arwin berdasarkan pertimbangan teknis itu terbitkan surat izin prinsip persetujuan pencadangan areal IUPHHK-HT berupa surat Bupati Siak untuk lima perusahaan.

Lantas, lima perusahaan itu ajukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan Kegiatan ljin Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman. 

Setelah penilaian studi kelayakan (feasibility study) oleh Asral Rachman, Arwin teken surat persetujuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana pengelolaan Lingkungan dan Rencana pemantauan Lingkungan Kegiatan ljin Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman yang diajukan oleh masing-masing perusahaan tersebut.

Arwin, berdasarkan persetujuan studi kelayakan (feasibility study) dan pertimbangan teknis, melanggar ketentuan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-lll/2OOO serta ketentuan dalam Lampiran Kepmenhut No. 2llKpls-ll/2001 malah menerbitkan IUPHHK-HT untuk lima perusahaan. Padahal  lahan yang dimohonkan IUPHHK-HT tak memenuhi persyaratan Kepmenhut No. 10.1/Kpts-ll/2000.

Pasca terbit SK Bupati Siak tentang pemberian Hak IUPHHK-HT, kelima perusahaan itu memberi sejumlah uang kepada Arwin dan Asral Rachman melalui Agus Syamsir. Arwin kenal Agus Syamsir staf dinas kehutanan dan merupakan salah satu Pembina Sepak Bola dan sering berhubungan dengan terdakwa menyangkut mencari dana untuk kegiatan.

Agus Syamsir mengaku pernah ditelepon Arwin untuk ambil uang dari Supendi di PT Panca Eka Bina Plywood Indonesia (Grup perusahaan PT Bina Daya Bintara dan PT Seraya Sumber Lestari) senilai Rp 200 juta dalam bentuk tunai. Agus langsung serahkan pada terdakwa di rumahnya. Total dana yang disetor Agus Syamsir kepada terdakwa Rp 850 juta dan US $ 2.000 langsung dari Sunarijo kepada Arwin. 

Sunarijo ajukan izin IUPHHK-HT atas saran Asral Rahman. Lahannya saat itu eks HPH. Ia sendiri tak pernah lihat kondisi hutan saat itu. Setelah izin keluar dari Arwin, Sunarijo diminta Asral Rahman berikan uang Rp 400 juta, dititipkan ke Agus Syamsir. Sunarijo juga akui pernah berikan uang tunai USD 2 ribu dolar langsung ke terdakwa Arwin. “Saya diminta Asral Rahman untuk serahkan uang itu langsung. Katanya untuk Arwin naik haji,” ujar Sunarijo.

Setelah memperoleh pengesahan BKT/BKT-IUPHHKHT dari Asral Rachman, lima perusahaan itu lakukan penebangan hutan alam di areal IUPHHK-HT yang potensi tegakannya lebih dari 5 m3/ha. 

Selain itu, dari izin tersebut, ia juga dianggap memperkaya orang lain dan korporasi. Asral Rahman dapat 894,2 juta, Agus Syamsir dapat 37,5 juta. Untuk perusahaan; Bina Daya Bintara terima 110,5 miliar, Seraya Sumber Lestari terima 57,6 miliar, Balai Kayang Mandiri terima 48,06 miliar, Rimba Mandau Lestari terima 15,04 miliar, Nasional Timber and Forest Product terima 70,3 miliar.

Dalam Kasus Syuhada Tasman

Bahwa seluruh volume kayu hasul land clearing yang telah dibeli PT RAPP dari PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitratani Nusa Sejati, CV Tuah Negeri, CV Putri Lindung Bulan, dan CV Bhakti Praja Mulia adalah berasal dari kawasan hutan alam untuk sebagian besar bubur kertas PT RAPP.

Dana sejumlah Rp 200 juta dari Samuel Soengjadi (PT Uniseraya) Samuel Soengjadi adalah direktur PT Uniseraya, PT Seraya Sumber Lestari dan PT Bina Daya Bintara (dua terakhir di Siak). PT Bina Daya Bintara dan PT Seraya Sumber Lestari adalah mitra PT RAPP. 

  1. PT Uniseraya tergabung dalam perusahaan Panca Eka Grup. Selain PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Tani Nusa Sejati dan PT Trio Mas FDI juga perusahaan Panca Eka Grup. Uang sebesar Rp 200 juta itu terkait dengan memuluskan rkt PT Rimba Mutiara Permai dan PT Mitra Taninusa Sejati yang diteken Syuhada Tasman. Direktur PT Rimba Mutiara Permai Soe Erwin, dalam kesaksian menyebut PT Rimba Mutiara Permai menjual kayu ke PT Persada Karya Sejati, anak perusahaan atau grup PT RAPP. Pengakuan Supendi direktur PT Uniseraya juga menjual kayu ke PT RAPP. Bahkan menjual kayu ke PT RAPP. 
  2. Kesaksian Azmun Jaafar, menyebut PT RAPP dan PT Indah Kiat tak ada punya IUPHHKHT di Pelalawan, tetapi anak perusahaan-perusahaan tersebut punya IUPHHKHT, contohnya PT Uniseraya, PT Satria Perkasa Agung anak perusahaan Sinar Mas.
  3. Uang sebesa Rp 75 juta dari Herry Yuswanto (PT RAPP) untuk Syuhada Tasman, ini terkait rkt PT PT Selaras Abadi Utama, CV Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri dan CV Bhakti Praja Mulia. Empat perusahaan itu adalah grup atau terafiliasi dengan PT RAPP yang berkantor di jl. Sei Duku No 333 pekanbaru. Selain itu CV Mutiara Lestari dan CV Alam Lestari juga masuk dalam grup PT RAPP. 

Bagaimana PT PT Selaras Abadi Utama, CV Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri dan CV Bhakti Praja Mulia bisa jadi grup PT RAPP? 

Dalam dakwaan PU KPK terpidana Azmun Jaafar tertulis: sekira Februari 2001 sampai Mei 2002, sesaat setelah terima permohonan pencadangan IUPHHK-HT dari PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Selaras Abadi Utama, PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Trio Mas FDI, PT Satria Perkasa Agung, PT Mitra Hutani Jaya, timbul keinginan Azmun Jaafar untuk mendapatkan IUPHHKHT untuk kepentingan pribadi dan keluarga. 

Azmun perintahkan Budi Surlani, Hambali, Muhammad Faisal (ajudan), Azuar (pembantu), Tengku Lukman Jaafar (kakak kandung), Anwir Yamadi mendirikan perusahaan atau badan usaha atau mencari perusahaan lain yang akan diberikan IUPHHK HT oleh Azmun sebagai Bupati Pelalawan. 

Lantas, Budi Surlani meminjam PT Madukoro dan CV Alam Lestari dari Margaretha, Muhammad Faisal dirikan CV. Tuah Negeri dan PT Putri Lindung Bulan, Hambali mendirikan CV. Harapan Jaya, Anwir Yamadi mendirikan CV Mutiara Lestari, Tengku Lukman Jaafar dirikan CV. Bhakti Praja Mulia.  

Budi Surlani dan Hambali ajukan IUPHHK HT atas nama tujuh perusahaan di atas kepada Bupati Pelalawan Azmun Jaafar waktu itu. 

Saat perusahaan-perusahaan itu dapat IUPHHK-HT, orang-orang yang ditunjuk Azmun Jaafar segera tawarkan take over (diambil alih) kepada PT RAPP melalui Ir Rosman, GM Forestry PT RAPP (Ir Rosman melarikan diri saat kasus Azmun, hingga kini belum tertangkap). Kesepakatan pun terlaksana. Tujuh perusahaan Azmun Jaafar itu resmi milik PT RAPP. 

  1. Dana sebesar Rp 465, 271 juta dari Soenarijo (PT Siak Raya Timber). Selain itu dia juga direktur PT National Timber Forest and Product (PT NTFP) dan Direktur PT Nusawana Raya. PT PT NTFP adalah anak perusahaan PT Siak Raya Timber. PT NTFP salah satu mitra PT RAPP. 
  2. Kesaksian Soenarijo menyebutkan bahwa pemberian uang untuk terdakwa oleh PT Siak Raya Timber dilakukan sebelum dan sesudah pengesahan rkt. Karena PT Siak Raya Timber masih memiliki kepentingan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Riau setelah penegsahan rkt yaitu untuk memperlancar pengurusan SKSHH dan Surat P2LHP. Alasana memberikan uang dan tiket kepada terdakwa Syuhada Tasman, karena Soenarijo takut jika tak menuruti permintaan Syuhada maka proses perizinan yang diajukan PT Siak Raya Timber dan PT Nusa Wana Raya akan bermasalah. Saat menjadi saksi dalam kasus Terpidana Asral Rachman tahun 2012, Soenarijo juga menyebut pada 2004 PT National Timber Forest and Product kesulitan uang. PT NTFP lakukan kerjasama dengan PT Cahaya Mas Lestari Jaya merupakan anak grup perusahaan PT RAPP. Dalam kerjsama itu pembagian fee PT NTFP sebesar 30 persen dan PT Cahaya Mas Lestari Jaya 70 persen. Sebelumnya PT NTFP juga menjual kayu kecil ke PT RAPP.
  3. Dana sejumlah Rp 100 juta dari Budi Artiful (KUD Bina Jaya). 
  4. Budi Artiful adalah Direktur PT Tenaga Kampar. Perusahaannya bergerak di bidang kilang kayu. Selain itu, Budi juga menjadi anggota KUD Bina Jaya. KUD tersebut pernah mengurus IUPHHK-HT di Pelalawan saat bupatinya dijabat oleh Tengku Azmun Jaafar. KUD itu milik M Haris. Dalam BAP, Budi mengaku pernah memberikan sejumlah uang kepada Syuhada Tasman untuk kelancaran penerbitan RKT. Uang yang diminta sebesar Rp 100 juta. Namun ia membayar sebanyak dua tahap: masing-masing 50 juta. “Staf Dishut bilang uang itu untuk Kadis. Semacam uang pelicin untuk mengeluarkan RKT,” kata Budi.
  5. Budi mengaku tak pernah betemu langsung dengan Kadishut. Ia hanya serahkan uangnya ke pegawai Kadishut. “Dapat informasi dari orang bahwa kalau urus RKT harus serahkan uang ke pegawai itu. Mukanya masih ingat, tapi namanya tidak ingat. Ruangannya sebelum ruangan Pak Syuhada.” Terbukti setelah diberikan uang tersebut, pengurusan RKT sudah lancar. Tim rct menilai, kuat dugaan kayu-kayu KUD itu juga dijual ke PT RAPP. 
  6. Lim WI LIN, direktur keuangan PT RAPP menyebut dalam kesaksian Sidang Syuhada bahwa PT Persada Karya Sejati, PT Lestari Unggul Makmur, PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitratani Nusa Sejati, CV Tuah Negeri, CV Putri Lindung Bulan, dan CV Bhakti Praja Mulia adalah perusahaan-perusahaan mitra PT RAPP dalam kaitan kerjasama penanaman, suplai kayu dan pembelian kayu dan land clearing yang dasarnya adalah perjanjian antara PT RAPP dengan perusahaan-perusahaan mitra PT RAPP. 
  7. Bahwa seluruh volume kayu hasul land clearing yang telah dibeli PT RAPP dari PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitratani Nusa Sejati, CV Tuah Negeri, CV Putri Lindung Bulan, dan CV Bhakti Praja Mulia adalah berasal dari kawasan hutan alam. 
  8. Yang melakukan proses land clearing di areal IUPHHKHT milik PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitratani Nusa Sejati, CV Tuah Negeri, CV Putri Lindung Bulan, dan CV Bhakti Praja Mulia adalah PT RAPP. 
  9. Kayu-kayu yang dibeli pleh PT RAPP dari PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitratani Nusa Sejati, CV Tuah Negeri, CV Putri Lindung Bulan, dan CV Bhakti Praja Mulia sebagian besar digunakan dalam pembuatan bubur kertas.  

Kesaksian para direktur korporasi dengan jelas terlihat bahwa; inisiatif memberi suap kepada pejabat publik adalah para direktur korporasi dengan cara melakukan penyimpangan, melakukan perbuatan melawan hukum. Dampak utamanya; keuangan negara dirugikan hingga triliunan rupiah. Dan kesaksian ini adalah petunjuk sekaligus bukti baru. ***


Made Ali. Aktif di riaucorruptiontrial.

 

 

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube