Kabar Siaran Pers

Hasil SPI KPK: Pencegahan Korupsi di Riau Kian Buruk

Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK dibantu Badan Pusat Statistik kembali merilis hasil survei penelitian integritas periode Juli 2017-Juli 2018. Survei dilakukan pada 20 pemerintah provinsi dan enam kementerian atau lembaga. Riau makin terpuruk karena berada pada posisi buncit dengan indeks 62,33 dari skala 0-100. Indeks itu menunjukkan, semakin kecil angkanya berarti wilayah yang disurvei semakin rawan korupsi.

Gambaran umum permasalahan integritas yang disurvei, antara lain: praktik percaloan, gratifikasi, nepotisme, suap promosi dan sistem antikorupsi.

Dibanding hasil survei periode 2016-2017, pencegahan korupsi di Riau semakin menurun. Saat itu, Riau menempati posisi 10 dari 15 pemerintah provinsi yang disurvei dengan indeks 63. Masalahnya, 11 persen pegawai di Riau pernah mendengar dan melihat rekan-rekannya menerima suap atau gratifikasi. Pegawai di Riau juga kerap minta uang pada orang yang sedang berurusan dengan mereka.

Dalam hal memanfaatkan fasilitas kantor, 40 persen pegawai yakin rekan-rekannya kerap menggunakan fasilitas kantor di luar jam kerja untuk kepentingan pribadi. Pegawai di Riau juga mengaku, pernah mendengar bahkan melihat langsung atasannya menyuruh melanggar aturan dan menyalahgunakan kewenangan.

Soal suap dan gratifikasi, Riau sangat mengkhawatirkan. Pegawai di Riau percaya, suap dan gratifikasi akan merubah karir mereka lebih baik ketika menghadapai promosi atau mutasi jabatan. Parahnya lagi, Pemerintah Riau merajai penyelewengan perjalanan dinas dengan membuat perjalanan palsu, kuitansi palsu dan hotel tempat menginap palsu. Ini peringkat tertinggi bagi Riau sekaligus kabar buruk dari keseluruhan aspek yang disurvei oleh bagian pencegahan KPK. Di samping itu, masih banyak pegawai di Riau yang takut dikucilkan, diberi sanksi atau dihambat karirnya bila melaporkan praktik korupsi yang terjadi dilingkungan kerjanya.

Dari hasil dua kali survei itu, Riau masih kalah dari provinsi tetangga seperti, Sumatera Barat (3), Kepulauan Riau (5), Jambi (17) dan Sumatera Utara (13). Periode sebelumnya, Sumatera Utara masih di bawah Riau. Provinsi Jawa Tengah yang tidak masuk daftar dalam survei 2016-2017, langsung menempati peringkat pertama dalam survei 2017-2018.

Senin 6 Oktober 2014, Gamawan Fauzi Menteri Dalam Negeri kala itu menunjuk Arsyadjuliandi Rachman Plt Gubernur Riau setelah Annas Maamun terjaring operasi tangkap tangan KPK. Lebih kurang 20 bulan kemudian, tepat 25 Mei 2016, setelah Jokowi jadi presiden dan menunjuk Tjahjo Kumolo sebagai Menteri Dalam Negeri, Arsyadjuliandi Rachman akhirnya jadi gubernur tetap. Jelang akhir masa jabatan, Andi Rachman—panggilannya—mengeluarkan surat keputusan rencana aksi daerah pemberantasan korupsi yang ditandatangani wakilnya, Wan Thamrin Hasyim.

“Hasil survei penilaian integritas KPK menunjukkan, Pemerintahan Andi Rachman kala itu tidak sungguh-sungguh mencegah korupsi. SK rencana aksi pemberantasan korupsi juga tidak berhasil keluarkan Riau dari zona merah dan darurat korupsi. Itu menunjukkan, Pemerintahan Andi Rachman tidak berintegritas,” kata Ahlul Fadli Koordinator Senarai.

Buktinya, tahun ini dua kepala daerah di Riau telah jadi tersangka oleh KPK. Wali Kota Dumai Zulkifli Adnan Singkah atau Zulkifli AS—sapaannya—disangka menyuap Yaya Purnomo Pegawai Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan untuk meloloskan usulan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada APBN 2017 dan RAPBN 2018. Zulkifli juga diduga terima Rp 50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari seorang pengusaha yang mengerjakan proyek di Dumai. Zulkifli tidak melaporkan pemberian itu pada KPK setelah 30 hari lamanya. Ini masalah integritas dan gratifikasi seperti hasil survei KPK.

Sedangkan Amril Mukminin, tersangka proyek peningkatan Jalan Duri-Sungai Pakning. Ia diduga terima uang sebelum dan sesudah dilantik jadi bupati dari PT Citra Gading Asritama (CGA). Masing-masing Rp 2,5 miliar dan terakhir Rp 3,1 miliar.

Selain itu, mantan Sekda Dumai Muhammad Nasir dihukum 7 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan mengembalikan kerugian negara Rp 2 miliar. Sedangkan Direktur PT Mawatindo Road Construction Hobby Siregar dihukum 7,6 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan mengembalikan kerugian negara Rp 40,8 miliar. Keduanya terbukti korupsi proyek peningkatan Jalan Batu Panjang-Pangkalan Nyirih, Kabupaten Bengkalis.

Menurut Ahlul Fadli, kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK selama ini membuktikan sendiri hasil survei di atas. “Bila Pemprov Riau serius mencegah praktik korupsi di lingkungannya, tentu tidak ada lagi pegawai maupun pemerintah daerah yang sesuka hati main lancung,” ujar Ahlul Fadli.

Lalu, bagaimana dengan Pemerintahan Syamsuar? Apakah 10 program kerja 100 hari Syamsur-Edy pro pemberantasan korupsi? Bila dilihat dari visi-misi Syamsuar-Edy saat mengikuti pemilihan gubernur dan wakil gubernur, mereka tidak tegas menyebut pemberantasan korupsi.

Visinya antara lain: terwujudnya Riau yang berdaya saing, sejahtera, bermartabat dan unggul. Diikuti lima misinya; mewujudkan sumberdaya manusia yang beriman, berkualitas dan berdaya saing global melalui pembangunan manusia seutuhnya. Mewujudkan pembangunan infrastruktur daerah yang merata, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif, mandiri dan berdaya saing. Mewujudkan budaya melayu sebagai payung negeri dan mengembangkan pariwisata yang berdaya saing. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pelayanan publik yang prima berbasis teknologi informasi.

Dalam penjabaran visi-misi di atas, Syamsuar-Edy nampak tidak tegas dalam mencegah dan memberantas korupsi. Hanya ada satu poin dalam 10 arah kebijakan prioritas Syamsuar-Edy yang anti korupsi, yaitu, mewujudkan budaya kerja pemerintahan yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. “Tapi, kita belum melihat hasilnya. Apakah setelah satu tahun Syamsuar-Edy nanti berhasil mengangkat indeks pencegahan korupsi di Riau?” jelas Ahlul Fadli.

Pencegahan korupsi saja memang tidak cukup untuk memperbaiki tata kelola pemerintah yang bersih. Sayangnya, DPR RI justru melemahkan KPK mulai dari struktur hingga peraturan yang selama ini terbukti ampuh dan berani menangkap pejabat hingga di dareah. Pelemahan itu dimulai dari penetapan Pimpinan KPK baru yang bermasalah secara integritas dan pernah melanggar kode etik.

“Padahal, selain melakukan penindakan, KPK juga membenahi integritas pejabat dan pegawai pemerintahan. Bagaimana integritas penyelenggara negara bisa dibenahi sementara pimpinan KPK cacat integritas dan tak punya etika penegakan hukum?” tanya Ahlul Fadli kembali.

Kini, kewenangan KPK semakin dikucilkan setelah revisi UU KPK disetujui DPR dipenghujung masa tugas. Hanya Peraturan Pemerintah Pengganti UU yang dapat menyelamatkan kembali komisi antirasuah yang terlanjur dipercaya publik dibanding penegak hukum lainnya dalam memberantas korupsi. “Jokowi harus dengar desakan publik yang turun ke jalan selama hampir satu bulan ini,” tutup Ahlul Fadli.

Narahubung:

Ahlul Fadli—0852 7129 0622

Suryadi—0852 7599 8923

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Live Tweet

https://twitter.com/senarai_id

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube