Video : Ahli Alvi Syahrin
PN ROHIL, 21 November 2016— Persidangan perkara pidana karhutla dengan terdakwa PT JJP kembali digelar. Dengan agenda menghadirkan saksi dari JPU, sidang dimulai pukul 10.50 oleh Hakim Ketua Lukman Nulhakim. Ia didampingi dua hakim anggota Crimson dan Rina Yose. JPU hadirkan ahli pidana, Alvi Syahrin. Ia Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Keterangannya dalam persidangan banyak menjelaskan pertanggungjawaban tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi. Ia jelaskan jika terdapat tindak pidana lingkungan yang dilakukan atas nama badan usaha, tuntutan dan sanksinya dapat diberikan kepada badan usaha atau orang yang memberi perintah. Selain itu juga dapat dimintai pertanggungjawaban kepada orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
“UU nomor 32 sudah menjelaskan bahwa korporasi atau badan usaha merupakan subjek hukum dan dapat dimintai pertangungjawaban,” ujar Alvi.
Terkait pertanggungjawaban yang dijatuhkan kepada direksi, Alvi nyatakan yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah pihak yang menjalankan pengurusan perusahaan. “Ini pengurus yang ada di level atas seperti Direktur sampai Manajer,” jelasnya. Sebab pengurus ini memiliki kewenangan dalam mengatur kegiatan perusahaan dan memberi perintah. Sedangkan pengurus dilevel bawah hanya menjalankan perintah. “Apalagi tindak pidana yang dilakukan membawa keuntungan bagi perusahaan, maka korporasi sebagai subjek hukum dapat dipidana.”
Alvi juga menjelaskan maksud dari kesengajaan dalam tindak pidana. Ada 3 bentuk kesengajaan, pertama sengaja yang telah dimaksud, kedua sengaja dengan kemungkinan dan ketiga sengaja untuk kepentingan. Ia katakan kebanyakan kasus pidana lingkungan merupakan sengaja dengan kemungkinan. Diantaranya perusahaan tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam peraturan sehingga muncul dampak yang telah diperkirakan. “Contoh dalam kebakaran, perusahaan tahu ada aturan terkait pencegahan dan penanggulangan, namun ini tidak dipatuhi. Padahal perusahaan dapat membayangkan dampak yang muncul jika aturan tidak dipatuhi,” jelas Alvi.
Alvi juga memaparkan persoalan pidana lingkungan yang dimuat dalam UU 32 tahun 2009. Kata kunci dalam aturan ini adalah pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban terkait adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Salah satu ukurannya apakah kerusakan yang terjadi telah melampaui baku mutu air, laut, udara serta lingkungan. “Aturan ini bersifat alternatif, jadi jika salah satu saja sudah terpenuhi, maka ia terbukti telah melakukan perusakan lingkungan,” kata Alvi. Menurutnya semakin besar bentuk kerusakan, maka akan semakin berat pula hukuman pidana yang diberikan.
Indikator yang digunakan untuk menyatakan telah terjadi kerusakan lingkungan hidup adalah dengan melakukan uji fisik, kimia dan biologi. Menggunakan alat dan metode sesuai aturan dan mengujinya di laboratorium, maka indkator kerusakan lingkungan dapat diketahui dan dapay dijadikan alat bukti di persidangan. “Ini scientific evidence,” ujar Alvi.
“Jika tindak pidana korporasi, sanksinya bagaimana?” tanya JPU
“Menurut pasal 119 itu denda dan pidana tambahan atau tindakan penertiban,” ujar Avi.
Pidana tambahan ini bisa berupa membayar sesuai dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan atau penutupan tempat usaha. Selain itu bisa juga memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan atau memenuhi segala aspek yang dinilai telah sengaja dilalaikan oleh korporasi.
“Bagaimana dengan kelalaian?” tanya hakim.
“Perbedaannya ia bisa membayangkan dampak yang akan terjadi, berusaha mencegah, namun peristiwa tersebut tetap terjadi,” jawab Alvi.
“Bagaimana menilai ia sengaja atau lalai?”
“Jika sengaja, ia tidak akan melakukan upaya-upaya pencegahan. Jika lalai, ada upaya pencegahan yang dilakukan sesuai dengan kewajiban korporasi namun tidak maksimal.”
Alvi menjelaskan ada beberapa teori terkait pertanggungjawaban korporasi untuk kesengajaan atau kelalaian. Jika korporasi tidak melakukan upaya sesuai dengan kebijakan pelaksanaan yang sesuai aturan maka korporasi digolongkan sebagai sengaja melanggar aturan.
Ada 3 sanksi yang dapat diberikan berkaitan dengan tindakan pengrusakan lingkungan hidup. Pertama sanksi administratif berupa pencabutan atau pembekuan izin yang akan memberikan efek jera agar perbuatan tidak terulang kembali. Kedua sanksi perdata dengan meminta ganti rugi dari kerusakan lingkungan yang telah dilakukan. Dan terkahir sanksi pidana dengan meminta pertanggungjawaban terhadap kerusakan yang telah dilakukan.
“Jadi tindak pidananya dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan serta berapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan,” jelas Alvi.
Setelah Alvi selesai memberi keterangan, Hakim Ketua menunda persidangan untuk dilanjutkan pada Senin, 28 November 2016 dengan agenda menghadirkan ahli dari JPU. #RCT-Yusuf