Kasus Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada PT NSP

Diduga Bakar Lahan, PT NSP Digugat Senilai Satu Triliun Rupiah

foto 4

 

–Sidang Perdata PT National Sago Prima

Video : Gugatan KLHK atas PT NSP

foto 4

PN Jakarta Selatan, 14 Januari 2016 – Setelah melewati lebih dari tujuh kali mediasi, pihak penggugat maupun tergugat tidak memperoleh titik temu. Mediasi gagal. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku penggugat tetap pada pendiriannya, menggugat PT National Sago Prima karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. 

foto 3

Sidang perdana terkait pokok perkara dibuka oleh majelis hakim yang diketuai Nani Indrawati, didampingi I Ketut Tirta dan Efendi Muchtar selaku hakim anggota. Majelis memberi kesempatan pada pihak penggugat untuk menyampaikan gugatannya. Berto Herora Harahap, kuasa hukum penggugat menyerahkan berkas pada majelis hakim dan pihak tergugat. Mereka sepakat berkas gugatan tidak dibacakan. Sidang dilanjutkan minggu depan dengan agenda penyampaian eksepsi dari pihak tergugat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan PT National Sago Prima melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan pencemaran lingkungan hidup. Lahan PT NSP yang telah memperoleh IUPHH-BK seluas 21.418 hektar di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 30 Januari 2014 hingga Maret 2014, telah terbakar. Hal tersebut diketahui melalui hasil verifikasi lapangan menggunakan data satelit modis (Terra Aqua). Penggugat menyebutkan dalam berkas gugatannya bahwa luas petak terbakar pada PT NSP terdiri dari lahan belum produktif sekitar 2000 hektar dan kawasan produktif seluas 1000 hektar. 

“Petak-petak terbakar tersebut telah merusak lapisan permukaan gambut dengan tebal rata-rata 5-10 sentimeter,” tertulis dalam berkas gugatan yang salinannya diperoleh tim RCT. 

foto 1

Berdasarkan hasil penelitian ahli kerusakan tanah, perbuatan PT NSP telah mengakibatkan kerusakan tanah gambut yang ditunjukkan dengan paramater-parameter subsidence, pH tanah, C organik, nitrogen tanah, total mikro organisme tanah, total fungi, respirasi tanah, porositas, bobot isi tanah, penurunan keragaman spesies dan populasi flora dan fauna. 

Akibat adanya kebakaran pada petak-petak yang belum produktif maupun yang sudah produktif tersebut telah dilepaskan gas-gas rumah kaca berupa 27 ribu ton karbon, 9.450 ton CO2, 98,28 ton CH4, 43,47 ton NOx, 120,96 ton NH3, 100,17 ton O3, 1.748,25 ton CO serta 2.100 ton partikel. 

“Berdasarkan hal tersebut, tergugat dinyatakan telah lalai melakukan kewajiban hukumnya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran di lahannya,” bunyi gugatan.  

Faktor lain yang menyatakan PT NSP lalai mencegah dan menanggulangi kebakaran, berdasarkan hasil verifikasi lapangan, karena tidak memiliki sarana dan prasarana memadai dalam pengendalian dan pencegahan kebakaran. Mereka tak memiliki early warning system, early detection system, sistem komunikasi, peralatan pemadaman dan personil pemadaman yang tidak cukup untuk melakukan pemadaman. PT NSP telah melanggar ketentuan PP Nomor 4 Tahun 2001, PP Nomor 45 Tahun 2004, dan Permenhut Nomor 12 Tahun 2009 tentang pengendalian kebakaran hutan.

Selain itu, penggugat menilai PT NSP melakukan usaha tanpa adanya analisis AMDAL. “Dalam kenyataannya, PT NSP menggunakan AMDAL atas nama PT National Timber and Forest Product yang disetujui dan disahkan oleh Komisi Pusat Amdal Departemen Kehutanan dan Perkebunan tanggal 31 Agustus 1999,” tulis KLHK dalam gugatannya. Tergugat, katanya, juga tidak melakukan revisi AMDAL tersebut sehingga bisa dikatakan sebenarnya PT NSP tidak memiliki AMDAL. 

Dengan demikian, penggugat menyatakan PT NSP telah melanggar ketentuan pasal 69 ayat 1 huruf a dan i UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Perbuatan melawan hukum oleh tergugat tersebut, menurut KLHK, telah menimbulkan kerugian lingkungan hidup, sehingga PT NSP untuk membayar ganti rugi akibat perbuatannya. Kerugian tersebut terdiri dari kerusakan ekologis senilai Rp 223.660.500.000 dan kerusakan ekonomi sejumlah Rp 95.507.922.500. Penggugat juga menyebutkan adanya kerusakan tidak ternilai (immaterial) dari peristiwa kebakaran lahan tersebut. “Kerusakan immaterial yang dimaksud adalah adanya pernyataan negara sebagai negara pencemar akibat asap serta adanya ancaman boikot terhadap produk yang dihasilkan dari areal penyiapan dengan menggunakan api.”

Selain itu, PT NSP harus mengeluarkan biaya untuk memulihkan lahan seluas 3000 hektar yang rusak senilai Rp 753.745.500.000. Sehingga total biaya yang harus dikeluarkan PT NSP senilai Rp 1.072.913.922.500 (satu triliun tujuh puluh dua miliar sembilan ratus tiga belas juta sembilan ratus dua puluh dua ribu lima ratus rupiah).     

Sebelumnya, PT NSP sudah dinyatakan bersalah melakukan kebakaran lahan pada perkara pidana. Pengadilan Negeri Bengkalis pada 19 Januari 2015 telah menyatakan bahwa PT NSP telah terbukti secara meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Majelis hakim PN Bengkalis juga menjatuhkan pidana tambahan terhadap PT NSP berupa kewajiban melengkapi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran sesuai dengan petunjuk standarisasi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dengan pengawasan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti dalam jangka waktu satu tahun. #rct-lovina

 

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube