Video : Replik KLHK atas PT NSP
PN Jakarta Selatan, 28 Januari 2016—Sidang gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT National Sago Prima sampai pada agenda replik penggugat. Para advokat dari kantor hukum Patra M Zen & Partners menyerahkan berkas replik setebal 61 halaman kepada majelis hakim tanpa membacanya.
Pada repliknya, penggugat menyatakan menolak seluruh dalil yang diajukan tergugat dalam jawabannya dan menyatakan tetap pada gugatannya. Penggugat berkesimpulan benar telah terjadi kebakaran hutan di areal tergugat (PT National Sago Prima) dan mereka tidak mampu mengatasi kebakaran hutan yang terjadi di arealnya.
Selain itu, tergugat dinilai tidak pernah melakukan perbuatan mencegah terjadinya kebakaran hutan di arealnya sehingga melanggar ketentun Pasal 14 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001. “Terbukti pada eksepsinya, tidak satupun ada uraian yang menjelaskan upaya pencegahan dilakukan tergugat,” begitu tertera dalam replik.
Perbuatan mencegah kebakaran yang dimaksud penggugat yakni tergugat wajib memiliki sarana prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di lokasi usahanya, berupa sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan, alat pencegahan kebakaran hutan, prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran lahan, perangkat organisasi yang bertanggung jawab mencegah kebakaran lahan, dan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan secara berkala.
Dalam replik penggugat, tergugat juga dinilai telah lalai mencegah kerusakan lingkungan hidup dan tidak mampu mengatasi kebakaran hutan yang terjadi di arealnya. “Tergugat akui sendiri dalam eksepsinya,” bunyi replik penggugat.
Berdasarkan verifikasi lapangan dengan data hotspot satelit Modis, penggugat menyatakan telah terjadi kebakaran di areal PT NSP sejak tanggal 31 Januari 2014 hingga Maret 2014. Kebakaran itu merupakan salah satu penyumbang asap terbanyak di Riau pada 2014. “Hasil verifikasi lapangan juga menunjukkan tergugat mempunyai pompa pemadam api sebanyak tiga unit, namun yang dapat beroperasi hanya satu sehingga mengakibatkan api membesar dan melahap lahan.” Audit kepatuhan periode Juli-September 2014 terhadap PT NSP menunjukkan bahwa perusahaan itu tidak memiliki sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai untuk mengatasi kebakaran.
Penggugat menyatakan bahwa PT NSP tidak memiliki Amdal sehingga melanggar pasal 69 UU Nomor 32 Tahun 2009. Berdasarkan fakta yang ada, yang memiliki Amdal hak pengusahaan HTI murni sagu adalah PT National Timber and Forest Product yang disetujui dan disahkan Komisi Pusat Amdal Departemen Kehutanan dan Perkebunan tanggal 31 Agustus 1999.
Dengan demikian, penggugat dalam provisi memohon pada majelis hakim untuk memerintahkan penghentian sementara kegiatan operasional tergugat sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap. Penggugat juga mohon sita jaminan harta kekayaan milik tergugat baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam pokok perkara, penggugat minta majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan perbuatan tergugat yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat lalainya tergugat mengantisipasi kerusakan hutan adalah perbuatan melanggar hukum, menyatakan tergugat telah beroperasi tanpa adanya Analisa Dampak Lingkungan adalah perbuatan melanggar hukum.
Penggugat juga minta tergugat membayar ganti rugi lingkungan hidup atas kerusakan ekologis kepada penggugat sebesar 319 miliar 168 juta 422 ribu 500 rupiah, serta menghukum tergugat melakukan pemulihan lingkungan terhadap hutan yang telah terbakar pada lahan milik tergugat seluas 3000 hektar senilai 753 miliar 745 juta 500 ribu rupiah. #rctlovina