- Video : Basuki Wasis
- Video : Andri Wibisana
PN Jakarta Selatan, 1 Maret 2016 – Sidang yang seyogyanya dimulai pukul 09.00, molor selama 1,5 jam. Sidang baru dibuka oleh majelis hakim pukul 10.30. Kuasa hukum penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadirkan tiga orang saksi ahli pada sidang kali ini. Satu ahli kerusakan tanah dan lingkungan, serta dua ahli hukum lingkungan.
Basuki Wasis, Ahli Kerusakan Tanah, dosen Institut Pertanian Bogor
Basuki Wasis sudah menangani kasus kebakaran lahan di areal perusahaan sebanyak lebih dari 400 kasus. Metodenya, turun ke lapangan, ambil sampel tanah, diteliti di laboratorium, dianalisis, dan dibuktikan secara ilmiah apakah terjadi kerusakan tanah di areal perusahaan yang diselidiki tersebut.
Untuk kebakaran yang terjadi di lahan PT National Sago Prima, Basuki Wasis turun ke lapangan sebanyak tiga kali: 9 Maret 2014 atas permintaan penyidik Polda Riau, 10 Maret 2014, dan 22 Maret 2014 dengan tim dari KLHK.
Di lapangan, katanya, terjadi penurunan ketebalan gambut akibat kebakaran. “Memang salah satu permasalahan gambut, bila water management kurang baik, tanah menjadi kering.” Di lapangan Basuki melihat tinggi muka air PT NSP terlalu dalam sehingga mudah terjadi kebakaran.
Dalam menganalisis kebakaran yang terjadi di lahan PT NSP, Basuki Wasis berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang kriteria kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan. Akibat terbakar, lanjutnya, terjadi penurunan ketebalan gambut, kematian flora dan fauna. “Di beberapa petak lahan NSP juga merupakan kawasan konservasi, seharusnya dilindungi, tapi malah turut terbakar,” ujarnya.
Selain itu, saat turun ke lapangan, Basuki menyebutkan beberapa lahan masih terbakar saat itu. “Ada tumpukan kayu log, dan saya tidak melihat ada proses pemadaman api di lahan yang terbakar itu,” sebutnya lagi.
Hasil analisis Basuki menyimpulkan, di areal PT NSP yang terbakar telah terjadi penurunan ketebalan gambut sebesar 20-30 sentimeter, keragaman spesies tidak ada, flora dan fauna 100 persen mati. “Dari indikator itu saja sudah cukup untuk menyebutkan telah terjadi kerusakan tanah di lahan PT NSP,” simpulnya.
Andri Gunawan Wibisana, Ahli Hukum Lingkungan, dosen Universitas Indonesia
Sebagai ahli hukum lingkungan, majelis hakim maupun kuasa hukum penggugat dan tergugat bertanya seputar prinsip, konsep dan asas yang terkandung dalam hukum lingkungan. Andri menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara lugas dan meyakinkan. Berikut intisari jawaban Andri atas pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian?
Prinsip kehati-hatian muncul sebagai tindakan dari prinsip pencegahan karena keduanya bernilai sama, bertujuan mencegah. Bedanya, dalam prinsip kehati-hatian, ada ancaman yang besar. Ketika terjadi ancaman besar, zaman dulu tahun 1960-an, negara minta dulu mana buktinya ancaman besar. Kita tunggu bukti, baru bisa cegah. Dalam banyak kasus, sudah terlambat dicegah, karena kita fokus pada penunjukkan bukti. Itu yang coba diantisipasi pada prinsip kehati-hatian. Jadi tidak perlu menunggu lagi scientific evidence dalam prinsip ini. Kenapa? Karena ancamannya sangat serius. Jadi menurut prinsip ini, jika ada ancaman sangat serius atau tidak bisa dikendalilkan, maka bukti ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk mencegah. Walaupun tidak pasti tetap harus dicegah.
Apakah asas ini juga berlaku di Indonesia?
Di Indonesia, asas ini tidak ada dalam peraturan perundang-undangan sampai tahun 2009, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Uniknya, meskipun asas ini belum diakui dalam undang-undang sebelum tahun 2009, dia sudah mulai masuk dalam putusan pengadilan. Misalnya pada kasus Mandalawangi. Bahkan putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Pengadilan mengaitkan putusan Mandalawangi ini dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Putusannya mengatakan, dengan diterapkannya asas kehati-hatian, maka pertanggungjawaban bergeser atau berubah, dari “perbuatan melawan hukum” menjadi “strict liability” atau pertanggung jawaban mutlak.
Jika terjadi kebakaran hutan, baik yang dilakukan oleh perusahaan atau orang lain, apakah prinsip itu masih penting?
Prinsip pertanggung jawaban dalam peraturan perundang-undangan kita mengatakan bahwa pemegang izin bertanggung jawab atas kebakaran lahan yang terjadi di wilayahnya. Tanggung jawabnya itu seperti apa? Menurut Undang-Undang Kehutanan, tanggung jawabnya general, bisa mencegah atau menanggulangi. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 juga sama. Uniknya pada Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang perlindungan kehutanan. Pasal 30 mengatakan bahwa pemegang izin bertanggung jawab atas kebakaran hutan di areal kerjanya. Tanggung jawab ini secara pidana, perdata, ganti rugi, maupun administrasi. Artinya PP No. 45 Tahun 2004 tidak hanya berbicara soal responsif, tapi juga bicara soal strict liability, jadi ada tanggungjawab hukum kalau ada kebakaran yang terjadi di wilayah pemegang izin.
Bagaimana dengan kealpaan? Apakah merujuk pasal 30, ketika terjadi kebakaran di arealnya, apakah bisa dikatakan dia lalai?
Kalau rujukannya pasal itu, kita tidak perlu mempermasalahkan lalai atau tidak, karena pasal itu tidak mempermasalahkan lalai atau tidak, ada faktor alam atau tidak, ada faktor orang lain sekalipun, dia tidak mempertimbangkan hal itu.
Unsur lalai menjadi penting ketika membicarakan “perbuatan melawan hukum”. Sementara kalau merujuk pasal 30, itu adalah pasal strict liability.
Bagaimana jika terjadi kebakaran lahan, namun ada pembelaan diri yang biasa dipakai? Misal terjadi bencana alam, ada pihak ketiga yang membakar? Berlaku tidak pembelaan diri itu jika merujuk pasal 30 tadi?
Saya ingin menyampaikan, ada namanya absolute liability, artinya strict liability tanpa pembelaan. Itu tidak seperti strict liability yang masih ada pembelaan diri. Jadi absolute liability Itu sangat ketat. Meskipun ada faktor alam yang sangat kuat, misalnya elnino yang tidak bisa diatasi manusia, tapi selama proses terjadinya kebakaran masih ada faktor manusia di dalamnya, maka faktor alam itu gugur.
Tapi kalau kita menganggap absolute liability tidak berlaku di Indonesia, bisa tetap diterapkan strict liability dengan syarat agar bencana alam itu harus diuji dulu. Saya mencontohkan putusan Mandalawangi. Pengadilan tidak menolak sepenuhnya ada curah hujan yang sangat besar. Curah hujannya diakui bahkan ahli mengatakan hujannya besar, jadi ada faktor alam. Tetapi ada faktor manusia juga, yakni penebangan oleh tergugat. Curah hujan berkontribusi dengan manusia sehingga faktor alamnya gugur. Ada banyak kasus di Indonesia yang seperti putusan Mandalawangi itu. Jadi sebenarnya hal itu juga dianut di Indonesia, hanya saja kita tidak menteorisasikannya.
Jika gugatan diformulasikan dalam bentuk “perbuatan melawan hukum”, lalu kita membuktikan secara strict liability, nanti putusannya bagaimana?
Kalau mau langsung ke strict liability, bisa saja, tidak ada masalah. Contohnya di Indonesia kasus Walhi vs Freeport. Walhi menggunakan dalil strict liability. Persoalannya di Indonesia tidak ada petitum strict liability, jadi petitumnya dipakai Perbuatan Melawan Hukum. Namun Walhi tetap menang, bahkan sampai Mahkamah Agung. Contoh lain kasus Mandalawangi. Positanya berbicara tentang perbuatan melawan hukum dan strict liability. Tapi petitumnya hanya perbuatan melawan hukum. Tapi hakim dalam amar putusannya tidak menyebut perbuatan melawan hukum, tapi langsung disebut bertanggung jawab secara mutlak, strict liability. Dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
Jadi apakah perlu menyebutkan strict liability dalam gugatan? Idealnya tentu disebutkan. Tapi bisa jadi cara menyebutkannya merujuk pada kasus. Penyebutan kasus-kasus itu secara tidak langsung meminta hakim menerapkan pertimbangan hakim dikasus yang dirujuk itu, dimana mengarah ke strict liability. Seandainya di dalam gugatan meminta hakim merujuk ke kasus Walhi vs Freeport, misalnya, atau kasus Mandalawangi secara tegas, itu menurut saya permintaan agar hakim menerapkan strict liability. Namun tentu saja itu permintaan secara tidak langsung.
Yang saya sayangkan, putusan Mandalawangi itu masih malu-malu menyebutkan strict liability secara murni, seolah-olah sistem perundangan kita tidak mengenal strict liability. Menurut saya, tidak usah malu-malu dan sembunyi-sembunyi untuk mengakui strict liability, karena undang-undang kita menganut itu.
Karena jam sudah menunjukkan pukul 13.30, saksi ahli terakhir, Abdul Wahid Oscar, yang sedianya memberikan kesaksian juga, batal dilaksanakan. Keterangan Mantan Hakim Tinggi Pengawas Mahkamah Agung ini sebagai ahli hukum lingkungan akan didengarkan pada sidang minggu depan, Senin, 7 Maret 2016. #rctlovina