–Sidang Perdata PT Jatim Jaya Perkasa
- Video : Prof Bambang Hero I
- Prof Bambang Hero II
- Audio : Keterangan Ahli Prof Bambang Hero
- Keterangan Ahli Prof Bambang Hero II
Jakarta Utara, 21 Oktober 2015–Sidang gugatan perdata PT Jatim Jaya Perkasa minggu lalu memasuki pemeriksaan saksi ahli. Pihak penggugat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghadirkan ahli Bambang Hero Sahardjo, ahli kebakaran lahan dari Institut Pertanian Bogor.
Bambang Hero sudah 300-400 kali menjadi saksi ahli untuk kasus kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, hingga Kalimantan Tengah. Sidang kali ini ia menjadi saksi ahli soal kasus kebakaran lahan PT Jatim Jaya Perkasa di Rokan Hilir, Riau.
PT Jatim Jaya Perkasa digugat oleh KLHK karena diduga membuka lahan dengan cara membakar pada Juni 2014. Seluas 1000 hektar kebun yang dikelola perusahaan tersebut terbakar pada saat itu. Saksi sebelumnya, M. Nur Hidayat dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Riau, menyatakan bahwa kebakaran juga terjadi pada kebun dengan tanaman sawit yang tidak produktif. “Sawit itu tumbuhnya miring,” katanya.
Bambang Hero menjelaskan hal tersebut melalui penelitian ilmiah. Ia menyatakan berdasarkan hasil verifikasi lapangan, ia sebagai ahli kebakaran lahan menyimpulkan bahwa kebakaran lahan benar terjadi di lahan PT Jatim Jaya Perkasa dan dilakukan dengan sengaja.
“Saya ke lapangan bersama penyidik. Areanya yang terbakar di tempat tidak produktif. Meskipun tidak langsung membakar, tapi bila dilihat dalam data perusahaan, produktivitas lahan tersebut rendah. Itu seperti produktivitas yang dihasilkan oleh masyarakat,” katanya.
Bambang juga membahas terkait izin usaha perkebunan PT Jatim Jaya Perkasa. “Di dalam IUP diatur bagaimana target perusahaan, termasuk tindakan apabila terjadi kebakaran di lahannya. Tapi saya tidak temukan izin tersebut. Di lapangan baru saya tahu bahwa izin baru diajukan Agustus 2014 dan langsung disahkan 5 September 2014. Sedangkan kebakaran terjadi Juni 2014. Jadi, saat kebakaran terjadi, perusahaan itu tidak punya izin.”
Jadi Bambang menyimpulkan bahwa perusahaan tersebut tak turut pada aturan main. “Lahan JJP juga pernah terbakar tahun 2012 dan beberapa tahun sebelumnya. Karena itu, kesimpulan saya, kebakaran dilakukan sengaja. Tahun 2014, pernah dilakukan audit untuk PT JJP dan hasilnya, JJP merupakan satu dari 14 korporasi di Riau yang tidak mematuhi aturan yang berlaku.”
Selain itu, Bambang Hero juga menjelaskan bahwa di lokasi kebakaran PT JJP tidak ada sarana dan prasarana apapun. “Berdasarkan pedoman pengendalian kebakaran lahan gambut, terdapat rincian ketentuan sarana prasarana yang harus dipenuhi. Misalnya untuk luasan 1000-10 ribu hektar, minimal harus punya 5-10 buah menara pemantau api. Di dalam ketentuan itu ada semua. Itu merupakan kewajiban dari perusahaan,” katanya.
Terkait menghitung kerugian negara dari peristiwa kebakaran lahan, hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang kerugian dan kerusakan lingkungan hidup. “Kami tidak sembarang melakukan perhitungan kerugian itu. Salah satu pasal menyatakan harus ada penunjukan dari lembaga negara. Saya ditunjuk oleh KLHK untuk menghitung kerugian akibat kebakaran lahan tersebut,” kata Bambang menjawab pertanyaan hakim.
Berdasarkan pada surat gugatan, PT JJP harus mengganti biaya pemulihan dari kerusakan ekologis senilai Rp 75,5 Miliar. Penggantian biaya kerugian ekonomis Rp 44,3 Miliar. Ditambah biaya pemulihan lahan bekas terbakar senilai Rp 371,1 Miliar. Sehingga total ganti rugi yang harus dikeluarkan PT Jatim Jaya Perkasa senilai Rp 491 Miliar.
Membuka lahan dengan cara membakar, menurut Bambang, justru menguntungkan perusahaan. “Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 4 Tahun 2009, dinyatakan bahwa untuk membuka lahan harus menggunakan kapur, berapa kadarnya untuk lahan berapa luas, itu ada semua. Tapi pakai kapur mahal. Cara cepatnya, sambung Bambang, adalah dengan cara membakar, persis seperti dilakukan nenek moyang dulu. “Abunya bisa meningkatkan pH tanah, sesuai dengan pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman sawit, karena abu dari kebakaran mengandung pupuk.”
Selisihnya juga besar sekali. Bila menggunakan kapur, biayanya bisa sampai Rp 40-50 juta per hektar. “Namun bila menggunakan cara bakar, bisa dapat Rp 8 juta per hektar, bahkan bisa kurang dari itu.”
Hakim anggota Jeferson Tarigan mempertanyakan landasan pemerintah turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi ke lahan perusahaan. Bambang menjelaskan ia tertera di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2010. “Dinyatakan pemerintah harus melakukan kegiatan pencegahan terkait kebakaran hutan dan lahan. Setiap perusahaan wajib melaporkan kegiatan pencemaran tersebut kepada bupati, walikota, dan ditembuskan kepada gubernur dan kementerian kehutanan. Laporan itu dijadikan pedoman kementerian untuk memantau kegiatan pencemaran oleh perusahaan.”
“Jadi tidak ada kewajiban pemerintah untuk memeriksa ke lapangan, hanya menerima laporan saja?” tanya Tarigan.
“Saya tidak bisa menjawab itu. Bukan kewenangan saya. Mungkin bisa ditanyakan kepada ahli lainnya.”
Bambang menjelaskan juga metode mengukur luas lahan perusahaan yang terbakar. “Saya dibantu oleh hotspot, indikasi terjadinya kebakaran suhu di permukaan. Saya verifikasi ke lapangan, dari situ tahu bahwa benar kebakaran itu ada di dalam area lokasi perusahaan. Di lokasi saya pakai GPS, dapat koordinat-koordinat, dicocokkan dengan citra satelit dan di-overlay dengan peta perusahaan. Hasilnya, benar lokasi kebakaran ada di dalam lahan milik perusahaan.”
KLHK juga menghadirkan ahli lainnya, Basuki Wasis, ahli kerusakan gambut, pada hari itu. Namun hakim menunda sidang karena banyak persidangan lain. Basuki belum sempat diperiksa. “Sidang dilanjutkan pada 4 November 2015 dengan agenda pemeriksaan ahli Basuki Wasis,” tutup majelis hakim. #rct-lovina