–Catatan Sidang terdakwa Kompol Suparno, perambah Cagar Biosphere Giam Siak
PN SIAK. Senin, 23 Februari 2015–Sekitar pukul 8.30, ruang sidang cakra Pengadilan Negeri Kabupaten Siak masih lengang. Pintunya masih tertutup. Hari ini akan digelar sidang lanjutan terdakwa Suparno mantan Polsek Siak.
Hingga tengah hari ruang sidang masih lengang. Biasanya sebelum sidang terdakwa Suparno dimulai, hakim terlebih dahulu bersidang dengan kasus lain. Tepat pukul dua siang barulah sidang dimulai. Agenda sidang melanjutkan keterangan 4 orang saksi meringankan.
Saksi pertama yang memberi keterangan Maryanto. “Kamu orang Kuansing?” kata hakim Ketua, Sorta Ria Neva. “Tidak bu, saya tinggal di Perawang, KTP saja Kuansing,” jawan Maryanto.
Maryanto ikut membeli tanah di lahan cagar biosfer Giam Siak Kecil seluas 10 hektare. Mulanya Maryanto diajak Slamet dan Suparno untuk survei ke lahan yang akan ditanami sawit itu. Slamet adik Suparno. Sebelum tiba di lokasi lahan yang akan disurvei, Maryanto, Slamet dan Suparno singgah ke rumah seseorang. Di rumah ini mereka bertemu dengan dua orang. “Saya tidak tahu namanya, salah satu dari mereka ada yang membawa peta dan kompas,” jelas Maryanto pada hakim.
“Saudara saksi kenal dengan yang namanya pak Pungut?” kata Penasehat Hukum terdakwa, Heri Suryadi.
“Saya lupa, tah Pungut tah Pangut,” jawab Maryanto.
Dari 10 hektare luas tanah yang dibeli, Maryanto harus mengurusi surat-surat dengan mengatasnamakan anak-anaknya: Laksono, Feriyanto dan Indra. Dua lagi atas nama istrinya Lasmini dan atas nama Maryanto sendiri. Namun sampai sekarang Maryanto tidak menerima surat tersebut padahal sudah memberikan uang Rp 10 juta pada Suaprno.
Setelah sempat membayar, Maryanto tidak dapat melanjutkan pembayaran lagi karena tidak punya uang. “Lahan itu saya serahkan ke Pak Suparno.”
Saksi kedua adalah Slamet adik kandung Suparno. Slamet seorang Polisi yang bertugas di Polresta Pekanbaru. Slamet mendengar ada penjualan tanah di lokasi hutan cagar biosfer pada 2010. “Saya tahu ada seorang Kepala Desa yang datang dua kali ke rumah abang saya Suparno.” Rumah Slamet berdekatan dengan rumah Suparno.
“Kamu ikut dalam perbincangan ketika itu?” kata hakim anggota Rudi Wibowo.
“Saya ikut ketika pertemuan kedua, waktu Kepala Desa itu membawa surat,” jawab Slamet. Setelah itu Suparno menawarkan pada Slamet untuk membeli tanah tersebut. Kepala desa menawarkan 1 kapling tanah seharga Rp 1 Juta.
Slamet dua kali membeli tanah di lokasi ini. Pertama 6 hektar dan yang kedua 14 Hektar. Surat-surat kepemilikan tanah dibuat atas nama anak-anaknya Nurul dan Muhammad Ridal. Nama lain, istri Amidah Lubis dan Slamet sendiri. Masing-masing surat untuk dua hektar tanah.
Slamet sempat datang ke lokasi untuk survei. Di lokasi Slamet bertemu dengan Sapaat yang menjelaskan tentang lahan yang akan digarap untuk penanaman sawit. Namun setelah membeli tanah tersebut, Slamet baru menerima 5 surat dari tanah yang 14 hektare dan sampai sekarang belum menerima surat-surat dari tanah yang tersisa milik Slamet. “Saya sudah berikan uang Rp 13 Juta pada pak Suparno untuk mengurus surat-surat.”
Tanah Slamet bersempadan dengan Saiman dan Asmiralda. Keduanya masih berhubungan keluarga dengan Slamet termasuk Suparno.
Saksi selanjutnya adalah Arifin seorang warga Kandis. Arifin tidak punya tanah di lokasi yang dilarang untuk dirambah. “Saya disuruh Dalimunthe untuk melihat lokasi tanah yang dibelinya.” Dalimunthe akrab dipanggil Opung.
Hubungan Arifin dengan Opung sebatas hubungan dagang karena Arifin sering membeli barang di gudang Opung. Sementara Arifin kenal dengan Suparno saat Suparno menjabat sebagai Polsek Kandis. Suparno yang mengurusi segala operasional pengurusan lahan yang dibiayai oleh Opung.
Opung membeli tanah sebanyak 25 pancang dari seorang Kepala Desa. Tanah yang dibeli dibuktikan dengan surat sebanyak 25 surat. “Setelah membeli baru saya disuruh ke lokasi untuk melihat,” terang Arifin.
Saksi terakhir adalah Pandi. Pandi hanya sebagai pekerja selama 3 bulan dilahan yang akan ditanami sawit. Pandi diajak oleh Yono yang waktu itu dikenal Pandi di Langkat, kampung halaman Pandi. Pandi bekerja menebas, membersihkan lahan hanya dengan parang. Gajinya dibayar Rp. 1,2 juta per hektarnya. Pandi berhenti bekerja karena temannya dari Kalimantan yang juga ikut bekerja di situ berhenti kerja.
Setelah mendengar keterangan semua saksi, sidang yang dipimpin hakim Ketua Sorta Ria Neva, dua hakim anggota Alfonso dan Rudi Wibowo pun usai. “Kami berencana menghadirkan Opung untuk sidang selanjutnya, dan satu orang warga Buatan yang dulunya tinggal dilokasi lahan tersebut,” kata PH terdakwa Heri Suryadi.
“Baiklah, sidang kita lanjut 2 Maret 2015,” kata Sorta Ria Neva. Pukul 16.41 sidang ditutup.#rct-Suryadi