PN Pelalawan, Senin 30 Oktober 2017—Hakim Ketua I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara bersama anggota Nur Rahmi dan A. Eswin Sugandhi Oetara, membuka sidang perkara pidana penguasaan lahan secara illegal atas nama terdakwa PT Peputra Supra Jaya, diwakili Sudiono selaku direktur.
Penuntut umum yang hadir dalam perkara ini Himawan Saputra dari Kejaksaan Negeri Pelalawan. Sementara itu, terdakwa diwakili empat penasihat hukum, Juffri Mochtar Tayib, Suharmono, Linda dan Heru. Mereka menghadirkan dua orang ahli.
Adalah Herman Rajagukguk pertama diperiksa. Ia Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ahli hukum perusahaan, hukum perjanjian dan hukum corporate crime. Ia ditanya soal SK 673 dan SK 878 yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dalam waktu singkat. Dua SK tersebut menjelaskan status areal perkebunan milik terdakwa PT Peputra Supra Jaya.
Pada SK 673, areal perkebunan milik terdakwa PT Peputra Supra Jaya sempat berstatus bukan kawasan hutan. Namun pada SK 878, areal tersebut berubah status menjadi kawasan hutan. Menurut Herman, pemerintah tidak konsisten. “Perubahan SK tersebut menghambat pertumbuhan ekonomi dan tak sesuai dengan keinginan Presiden Jokowi.”
Namun, persoalan lainnya, terdakwa PT Peputra Supra Jaya ternyata melakukan usaha penanaman kelapa sawit melebihi dari luasan yang telah diberi izin. Kata Herman, perusahaan masih dapat diberi tenggang waktu untuk memperbaharui izin. Ia merujuk pada pasal 114 ayat 2 undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan.
Perusahaan yang telah memiliki izin sebelum undang-undang tersebut diundangkan, dapat mengajukan permohonan pembaharuan izin dalam waktu lima tahun setelah aturan tersebut diberlakukan. “Artinya, perusahaan itu masih diberi waktu sampai 2019 nanti,” tegas Herman.
Suparji Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, ahli berikutnya yang diperiksa juga berkata demikian. Katanya, Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan lahir untuk penyesuaian. Dengan kata lain, perusahaan yang diketahui menanam dengan luasan yang tak sesuai izin diberi kesempatan untuk memperbaikinya, tanpa memohon izin baru.
Tapi, Suparji tak sepakat perusahaan dihukum apabila memperoleh lahan dari masyarakat. Ditambah lagi, perusahaan tersebut sudah berupaya untuk memperbaiki izinnya. “Tinggal sistem dan respon birokrasinya untuk menanggapi permohonan tersebut.”
Suparji juga tak sepakat dengan strict liability atau pertanggungjawaban mutlak terhadap perusahaan. Menurutnya, azas tersebut tak berlaku dalam undang-undang perkebunan. “Itu untuk pidana lingkungan hidup.”
Mengenai satu korporasi atau perusahaan dapat dipidana, katanya, juga masih jadi perdebatan diberbagai kalangan ahli. Bagi yang tak setuju beralasan, bahwa sulit membuktikan satu perusahaan melakukan perbuatan dengan sengaja. Kesengajaan atau kelalaian adalah satu unsur yang mesti dapat dibuktikan dalam satu tindak pidana.
Bagi yang setuju berpendapat, korporasi digerakkan oleh pengurus. Dalam hal ini direksi, dewan komisaris dan rapat umum pemegang saham. “Karena itu bagian dari organ perseroan,” sebut Suparji.
Artinya, korporasi dapat diminta pertanggungjawaban melalui pengurus korporasi. Suparji merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016, tentang tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi.
Pemeriksaan terhadap ahli tersebut selesai jelang masuknya waktu ashar. Mereka adalah ahli yang terakhir dihadirkan oleh panasihat hukum terdakwa. Dengan kata lain, pemeriksaan terhadap saksi maupun ahli telah selesai pada persidangan kali ini. Majelis hakim kemudian menjadwalkan pemeriksaan terdakwa, pada Senin 6 November 2017. Sidang ditutup pukul 15.12.#Suryadi-rct