–-Sidang Keempat Korupsi Lahan Bhakti Praja Pelalawan terdakwa Marwan Ibrahim
PN PEKANBARU, 29 OKTOBER 2014— Persidangan terdakwa Marwan Ibrahim dalam kasus korupsi lahan Bhakti Praja Pelalawan kembali berlangsung. Hari ini persidangan terlambat di mulai dikarenakan tahanan belum datang ke pengadilan. Hingga pukul 11.30 barulah tampak Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tim Penasehat Hukum (PH) bersiap di ruang sidang.
Seperti sidang sebelumnya, kali ini Marwan juga gunakan kemeja putih lengan panjang. Dengan rompi tahanan Kejaksaan Negeri Pangkalan Kerinci serta peci hitam ia dibawa ke sel tahanan. Setelah hakim Achmad Prasetyo Pudjoharsoyo selaku Hakim Ketua didampingi Masrul dan Rachman Silaen, dua hakim anggota membuka sidang pukul 11.50, terdakwa dibawa masuk ke ruang sidang.
Hari ini persidangan diagendakan pemeriksaan saksi. JPU hadirkan 5 orang saksi. Ada Rina Noverawati, karyawan PT Bank Riau Kepri cabang Pangkalan Kerinci yang KTPnya dipinjam Al Azmi. Juga pasangan suami istri Joni Akbar Asri dan Herlinawati. Joni merupakan karyawan di PT RAPP dan Herlina adalah staff kantor Penanaman Modal. Keduanya juga sama dengan Rina, KTPnya dipinjam untuk mengurus sertifikat tanah oleh Syahrizal Hamid. Saksi lainnya kakak beradik Muhammad Fauzan dan Muhammad Faisal. Faisal bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sedangkan Fauzan sebagai sekuriti di PT Bank Riau Kepri cabang Pangkalan Kerinci.
Hakim Ketua mengecek identitas dari tiap saksi, kemudian kelimanya disumpah bersamaan. Setelah itu Hakim Ketua mempersilahkan saksi selain Rina untuk keluar ruangan.
“Mohon maaf majelis hakim, untuk efisiensi waktu saya mengusulkan untuk memeriksa saksi secara bersamaan,” ujar Romy Rozali, JPU yang hari ini bersidang sendiri. Hakim Ketua menanyakan kepada hakim anggota dan PH. Setelah mempertimbangkan bahwa saksi merupakan orang yang dipinjam KTPnya, serta ada yang berperan dalam mengambil uang, akhirnya usulan JPU disetujui.
“Rina, Joni dan Herlina dapat diperiksa bersama karena ketiganya merupakan orang yang dipinjam KTPnya untuk pengurusan sertifikat. Sedangkan Faisal dan Fauzan diperiksa bersama setelahnya,” ujar JPU. Fauzan dan Faisal berjalan tinggalkan ruang sidang, sedangkan 3 saksi lainnya menempati kursi.
Pemeriksaan dilakukan bersamaan, hakim, JPU dan PH bergantian menanyai ketiga saksi yang diperiksa pertama kali.
Rina Noverawati— karyawan PT Bank Riau Kepri cabang Pangkalan Kerinci
Rina mengetahui bahwa Al Azmi merupakan teman dari orangtuanya. Ketika KTPnya dipinjam oleh Al Azmi, ia tak tahu untuk apa. Ia hanya tahu bahwa kartu identitasnya tersebut dipinjam untuk pengurusan tanah. Tanah milik siapa ia tak tahu.
Rina menjelaskan bahwa ia pernah diminta untuk menandatangani berkas-berkas. Namun berkas apa, ia juga tak tahu.
“Saya disuruh cepat-cepat tanda tangan,” ujarnya ketika ditanya Hakim Ketua perihal surat-surat tersebut.
“Apa tidak ada staf dari Pemda datang untuk menjelaskan soal pembebasan tanah?” tanya Rahman Silaen
“Tidak ada pak. Sama Rina tidak ada.”
“Apa ada tanda tangan berkas acara musyawarah, berita acara sosialisasi, pengukuran, penetapan harga dan banyak lagi yang lain?”
“Saya tidak tahu berkasnya apa saja,”
“Tanda tangan berkas itu dimana?”
“Dirumah Pak,”
“Siapa yang bawa kerumah?”
“Al Azmi,”
“Jadi saudara tidak tahu?”
“Tidak Pak,”
Rina menjelaskan ia sama sekali tidak tahu urusan tanah tersebut, ia hanya meminjamkan KTP. Kemudian hari ia diminta oleh Fauzan untuk menandatangani slip penarikan.
“Berapa jumlahnya,” tanya hakim.
“Saya tidak tahu Pak,” jawab Rina.
Ia jelaskan kala itu ia tengah bertugas melayani pelanggan ditempat ia bekerja. Fauzan yang jadi satpam disana menghampirinya sambil membawa slip penarikan. Ia diminta untuk menandatangani slip tersebut. Karena tengah melayani pelanggan, Rina katakan ia cepat-cepat tanda tangan. Setelah itu Fauzan pergi dan Rina kembali melayani pelanggannya.
Ketika ditanya hakim apakah ia tak mendapatkan apa-apa terkait kepemilikan lahan, Rina jawab pada 2008 ia tak dapat apa-apa.
“Kalau 2009 direkening ada ditinggalkan Rp 8 juta,” jawabnya.
“Itu untuk apa?” tanya hakim
“Tidak tahu Pak,”
“Kenapa ada ditinggalkan direkening?”
“Tidak tahu Pak,”
Ketika ditanya perkiraan uang yang masuk ke rekening Rina, ia tak bisa menjawab pasti. “Mungkin sekitar Rp 3 miliar Pak,” ujarnya.
“Ini Rina kan sudah dewasa, ada hartanya ini, tanah itu, apa tidak pernah menanyakan, yang mana sih tanah saya, dimana letaknya?” tanya Rahman Silaen kepada Rina.
“Tidak pernah Pak,”
Hakim juga menanyakan apakah pernah berhubungan dengan terdakwa terkait persoalan tanah ini. Rina menjawab tidak pernah.
Herlina—staff kantor Penanaman Modal. Sebelumnya juga bekerja di Badan Pertanahan Daerah bersama Syahrizal Hamid
Senada dengan Rina, Herlina juga adalah orang yang dipinjam KTPnya. Namun bukan oleh Al Azmi, melainkan Syahrizal Hamid. Ia adalah keponakan dari Syahrizal. Ketika KTP dipinjam oleh omnya ini, ia tahu bahwa itu untuk pembelian tanah di kilo 5.
“Kenapa tidak pakai KTP Syahrizal saja?” tanya hakim.
“Karena aturannya harus pakai KTP setempat Pak,” jawab Herlina.
Ia tahu bahwa aturannya ketika seseorang membeli tanah melebihi 2 hektar, maka si pembeli harus memiliki KTP setempat, dimana tanah tersebut dibeli. Setahu Herlina, Syahrizal memiliki KTP Pekanbaru.
Setelah KTPnya dipinjam, Syahrizal pernah membawakan berkas untuk ditandatangani Herlina. Seingatnya ada berkas SKGR, surat pernyataan tanah tidak bersengketa dan lainnya. Namun ia lupa.
Pertanyaan yang sama dengan Rina dilontarkan juga ke dirinya. Ini terkait adanya petugas Pemda yang datang menjelaskan perihal tanah dan penandatanganan berkas acara.
“Tidak ada Pak,” jawab Herlina.
Terkait persoalan lahan, Herlina tahu bahwa surat yang ia urus tersebut mendapat ganti rugi sebanyak dua kali. Pada 2008 dan 2009. Ganti rugi dari Pemda itu berkisar lebih dari Rp 2 miliar.
Pada 2008, ia menandatangani kwitansi ganti rugi lahan. Nominalnya ia tak ingat, namun lebih dari Rp 2 miliar. Begitu pula pada 2009. Pada tahun ini ia bersama suaminya, Joni mendatangi Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan. Disana ia berjumpa dengan Al Azmi dan Syahrizal Hamid. Penandatanganan kwitansi kedua dilakukan. Nominalnya juga melebihi Rp 2 miliar.
“Tidak dapat apa-apa?” tanya majelis hakim.
“Ada ditinggalkan Rp 20 juta,” jawab Herlina.
“Itu untuk apa? Apa karena dipinjam KTPnya?”
“Tidak tahu Pak,”
“Kwitansinya itu resmi atau tidak?”
“Resmi Pak,”
Keterkaitan keterangan saksi dengan terdakwa secara langsung juga tidak ada. Ia hanya tahu kala itu terdakwa menjabat sebagai Sekda dan hanya melihatnya ketika ada kunjungan atau upacara.
“Tidak pernah melihat terdakwa ini ke BPD?” tanya Hakim Ketua
“Tidak Pak,”
“Masa?”
“Iya maksudnya waktu upacara atau kunjungan dinas ada Pak,” ralat Herlina.
“iya pasti ada, kalau nggak ada kan aneh,” tukas Hakim Ketua.
Joni Akbar Asri—Karyawan PT RAPP
Peminjaman KTP juga terjadi pada Joni. Dan yang meminjam adalah omnya, Syahrizal Hamid. Digunakan untuk apa, Syahrizal juga tak menjelaskan secara rinci.
“Dulu saya pernah tanya KTP untuk apa, dia jawab untuk urus sertifikat tanah,” jelas Joni.
“Tanah siapa?” tanya hakim.
“Ya karena dia bilang untuk urus tanah, saya pikir ya tanahnya dia,” jawab Joni.
Ia juga tak terlalu paham tanah ini diperuntukkan apa, ataupun terkait berkas-berkas yang diurus. Ia juga tak pernah didatangi staff Pemda untuk mendengarkan penjelasan soal lahan yang menggunakan namanya. Dimana letak lahan tersebut secara pasti iapun tak tahu.
Soal ganti rugi lahan, ia pernah sekali menandatangani kwitansi. Itu pada 2009. Ia ceritakan secara kronologis, ia tenga bekerja dan istrinya, Herlina menghubungi. Ia diminta untuk menjemput istrinya dan bersama-sama pergi ke Dinas Perkebunan. Disana ia melihat ada Al Azmi dan Syahrizal Hamid.
“Bahas apa saja disana?” tanya JPU
“Tidak ada,”
“Masa tidak ada?”
“Ya saya buru-buru soalnya izin dari pimpinan cuma sebentar. Palingan ada tegur sapa tanya kabar. Setelah itu saya buru-buru tandatangan dan pergi dari sana,” jelas Joni.
“Berapa nominalnya?”
“Lebih Rp 3 miliar,”
“Nggak dapat apa-apa?”
“Ada ditinggalkan Rp 20 juta direkening,” jawab Joni.
Terkait dengan terdakwa, Joni menyatakan tidak pernah berhubungan langsung dengan terdakwa terkait hal ini.
Muhammad Faisal—Pegawai Negeri Sipil di Kantor Bupati Pelalawan
Pertanyaan terhadap Faisal dibuka oleh Rahman Silaen,ia menanyakan pengetahuan saksi terkait perkara ini. Faisal menjelaskan ketika ia diperiksa ia mengetahui bahwa kasus yang menyangkut terdakwa terkait kepemilikan lahan. Lahan yang bermasalah tersebut salah satunya atas nama Faisal.
“Apa anda ada membeli lahan?”
“Tidak Pak,”
“Bagaimana itu bisa jadi milik saudara?”
“Saya tidak pernah melakukan pembelian, tapi KTP saya pernah dipinjam untuk melakukan pembelian tanah,”
“Oleh siapa?”
“Paman saya Pak,”
“Siapa?”
“Syahrizal Hamid,”
Faisal menjelaskan bahwa ia tak pernah diberi tahu untuk apa KTPnya dipinjam. Hal itu terjadi sekitar 2002 atau 2003. Ia tidak tahu dimana letak tanahnya, namun dari BPN ia pernah diberitahu bahwa ada tanah atas nama dirinya. Ia tidak ingat pernah memegang SKT ataupun SKGR dari tanah atas namanya tersebut.
Ia mendapat ganti rugi pada 2009. Ia diminta menandatangani berkas-berkas yang disediakan oleh Syahrizal Hamid. Nominal di kwitansi yang ia terima dari ganti rugi lahan dengan luas sekitar 5000 meter persegi sekitar Rp 800 juta. Faisal juga tak tahu menahu terkait berkas-berkas tersebut, sama dengan saksi sebelumnya, ia juga tak pernah didatangani staff Pemda.
Setelah penandatanganan kwitansi, Faisal tahu bahwa uangnya telah ditransfer ke rekeningnya. Karena keesokan harinya ia diminta untuk mencairkan uang tersebut. Ia diminta untuk meninggalkan Rp 8 juta direkeningnya.
“Apa lagi yang saudara ketahui soal uang-uang tersebut?”
“Yang saya tahu penarikan uang dari Rina Noverawati itu Pak,”
“Nah itu bagaimana?” tanya Rahman.
Faisal menjelaskan bahwa pada 2009 ada dua kali penarikan uang. Penarikan pertama, ia tidak tahu dari nama-nama siapa saja uang itu diambil. Yang jelas nominalnya sekitar Rp 12 miliar bersamaan dengan uang yang diambil dari rekeningnya. Uang yang ia bawa tersebut lebih dari 5 bungkusan plastik yang diberikan bank.
Setelah pencairan, ia menyerahkan uang tersebut di pinggir jalan kawasan Kantor Dinas Bhakti Praja ke Syahrizal Hamid. Faisal memberitahukan uang tersebut berada di mobil ke, kemudian pamannya tersebut minta diantarkan uangnya ke rumah Syahrizal di Pekanbaru.
Faisal menjelaskan perintah dari Syahrizal Hamid ialah uang Rp 12 miliar tersebut, Rp 5 miliar diserahkan kepada Al Azmi. Faisal mengangkut bungkusan senilai Rp 5 miliar tersebut ke mobil Al Azmi diderah belakang Islamic Center. Setelah itu mereka berpisah. Pada pencairan kedua, uang yang diambil sekitar Rp 5 miliar dan langsung diantar ke Pekanbaru.
“Apa lagi yang saudara tahu?” tanya Rahman lagi
“Setelah itu Syahrizal meminta tolong saya untuk membawakan uang tersebut ke Jakarta Pak,” jawab Faisal.
Faisal menceritakan bahwa mereka menempuh jalan darat menuju Jakarta. Ia bersama Syahrizal Hamid dan Al Azmi. Masing-masing dari mereka membawa koper, sedangkan Faisal hanya membawa tas berisi pakaiannya. Ia tidak tahu pasti apakah koper tersebut berisi uang, namun dari cerita Syahrizal kepadanya, ia diberitahu bahwa pamannya tersebut membawa uang. Jumlahnya Rp 3 miliar.
Sesampainya di Jakarta tengah malam, mereka beristirahat. Keesokan harinya Al Azmi dan Syahrizal pergi ke Lapas Cipinang menemui Azmun Jaafar. Ia tidak tahu apakah uang tersebut dibawa atau tidak, karena koper ditinggalkan di kamar. Sedangka ia sendiri tidak ikut mengunjungi lapas. Dua hari kemudian mereka kembali ke Pekanbaru.
Faisal melanjutkan, beberapa minggu kemudian Syahrizal kembali minta diantarkan ke Jakarta. Kali ini ada 5 orang yang berangkat. Faisal, Asral Permana dan Doni—anak Syahrizal, Syahrizal dan staffnya. Kali ini ia membawa uang Rp 5 miliar. Tapi tetap fisik uangnya Faisal tak lihat. Dan ia juga tak tahu uang diserahkan kepada siapa.
“Untuk apa uang sebanyak itu dibawa ke Jakarta? Apa dia tidak cerita?” tanya Hakim Ketua
“Tidak tahu Pak,”
“Waktu itu Azmun Jaafar apa statusnya di Jakarta?”
“Sudah ditahan di LP Cipinang Pak,”
“Apa dia tidak cerita?”
“Tidak Pak,”
Muhammad Fauzan—Sekuriti di PT Bank Riau Kepri Cabang Pangkalan Kerinci
Kartu identitas Fauzan juga dipinjam oleh Syahrizal. Ia tidak pernah tahu bahwa KTPnya dipinjam untuk pengurusan tanah. Ia juga tidak tahu ada surat-surat tanah atas nama dirinya. Berkas-berkas terkait hal tersebut dibawakan Syahrizal kerumahnya dan Fauzan tinggal tandatangan.
“Apa pernah ada pemanggilan dan undangan rapat untuk membicarakan ganti rugi lahan?” tanya Rahman
“Tidak Pak,”
“Berarti anda tidak pernah tahu dan ujug-ujug ada yang datang bawa berkasnya dan anda tanda tangan?”
“Iya Pak,”
Fauzan menceritakan ia pernah dipanggil Budi Rahmatsyah, bendaharawan. Ia menyerahkan uang secara simbolik.
“Apa maksud saudara dengan simbolik?” tanya Rahman
“Saya dikasi uang sekitar satu bungkus besar. Waktu itu di Rumah Dinas Bhakti Praja, di foto dan uang itu saya serahkan kembali,” jelas Fauzan.
“Bagaimana uang itu bisa sampai disana? Saudara tahu?”
“Tahu Pak, karena saya yang ngambil uang itu di Bank Riau. Atasan saya menyuruh untuk antarkan uang itu ke Rumah Dinas Bhakti Praja,” ujar Fauzan.
“Apa saudara pernah bertemu dengan terdakwa ketika mengantar uang?”
“Tidak pernah Pak,”
Pemeriksaan saksi pada hari ini selesai pukul 16.58. Secara keseluruhan terdakwa tidak memberikan tanggapan karena keterangan dari saksi tidak terkait dengan dirinya. Sidang selanjutnya akan dilangsungkan pada 5 November 2014 dengan agenda pemeriksaan saksi.#rct-Yaya