Kasus Karhutla dan Limbah PT NSP

Erwin Bebas Karena Bukanlah Pihak Yang Bertanggung Jawab

karhutla erwiinnd

—Sidang Putusan Perkara Karhutla Terdakwa Ir Erwin, General Manager PT NSP

karhutla erwiinnd
PN BENGKALIS, 22 JANUARI 2015—Selang 5 menit dari berakhirnya pembacaan putusan terhadap PT NSP dalam kasus Karhutla yang menyatakan ia bersalah, putusan untuk Erwinpun bersiap dibacakan. Erwin menempati kursi yang berada ditengah ruangsambil tertunduk menantikan putusan dari Majelis Hakim. Sesekali ia melihat kearah PH.

 

Diawali pembacaan identitas serta poin-poin dalam dakwaan. Sama dengan sebelumnya, dakwaan, keterangan saksi, tuntutan dan pleidooi hanya dibacakan intinya saja. Karena dianggap semua sudah mengetahui dan terlampir dalam amar putusan. Pembacaan putusan dengan nomor perkara 549/PIDSUS/2014/PN.BKS pun dimulai.

JPU bengkalis

Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum berbentuk kombinasi, sehingga Majelis akan mempertimbangkan setiap unsur dari dakwaan. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka akan beralih kedakwaan selanjutnya dan terus hingga dakwaan terakhir.

melky

Dimana dakwaannya antara lain:

Dakwaan Primair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1) huruf h jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dakwaan Subsidiair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 98 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dakwaan Lebih Subsidiair pertama, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 99 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dakwaan Lebih Subsidiair kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf d jo pasal 78 ayat (3), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

renny

Dakwaan Lebih Subsidiair ketiga sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 92 ayat (1) huruf a jo pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 2013, Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Dan Dakwaan Lebih Subsidiair keempat sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 109 jo pasal 36 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dakwaan pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1) huruf h jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

Unsur setiap orang. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Unsur orang yang memberi perintah. 

Untuk unsur setiap orang, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur ini mengacu pada subjek ataupun setiap orang yang mampu mempertanggung jawabkan baik secara rohani maupun jasmani unsur pidananya. Dimana dalam hal ini terdakwa Ir Erwin yang diajukan oleh penuntut umum dalam perkara ini yang dibacakan identitasnya oleh hakim ketua dan tidak disangkal oleh yang bersangkutan. Maka Majelis Hakim berpendapat unsur ini telah terpenuhi.

Pada unsur kedua, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Pada awal penjelasannya Hakim menegaskan sesuai dengan akta dan dan bukti-bukti yang ada, benar bahwa PT NSP memiliki lahan untuk usahanya. Selanjutnya yang akan dibuktikan terkait benar atau tidaknya terdakwa melakukan pembukaan lahan dengan membakar.

Hakim menetapkan bahwa benar PT NSP melakukan pembukaan lahan dengan adanya perjanjian pembukaan lahan dengan cara Land Clearing pada areal IUPHH-BK PT. NSP dengan menyerahkan pekerjaan tersebut kepada PT. Nuansa Pertiwi dan PT. Sumatera Multi Indah.

Cara pembukaan lahan dengan melakukan imas tumbang (secara manual/tebang pakai mesin potong maupun parang dan alat berat berupa exavator) kemudian potongan kayu tersebut dirumpuk sesuai dengan jalur rumpukan yang ditentukan selanjutnya untuk dapat dilakukan penanaman sagu.

Menurut keterangan saksi Bajuri bahwa pengerjaan land clearing telah selesai pada akhir Desember 2013. Hakim membandingkan bahwa PU dalam dakwaannya mendakwakan bahwa kebakaran pada lahan PT NSP terjadi dalam kurun waktu akhir Januari 2014 hingga pertengahan Maret 2014 dimana keterangan ini bersesuaian dengan keterangan saksi dan ahli.

Hakim menimbang bahwa waktu land clearing dengan kejadian kebakaran terdapat ketidak sesuaian dimana waktu land clearing telah berakhir pada Desember 2013 sedangkan kebakaran terjadi pada akhir Januari hingga Maret 2014. Majelis Hakim berpendapat unsur ini tidak terpenuhi. Sehingga terdakwa dibebaskan dari dakwaan pertama.

Dakwaan selanjutnya, yaitu pasal 98 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

Unsur setiap orang. Unsur dengan sengaja melakukan perbuatan. Unsur dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Unsur orang yang memberi perintah.

Hakim menjelaskan bahwa unsur setiap orang tidak perlu dijelaskan lagi untuk menghemat waktu dan jalannya persidangan. Pertimbangan langsung ditujukan pada unsur kedua.

Hakim menjelaskan unsur dengan sengaja berhubungan dengan kegiatan batin seseorang untuk melakukan tindak pidana. Majelis Hakim menyadari tidak mudah untuk menilai sikap batin seseorang. Apakah benar pelaku melakukan dengan sengaja atau tidak.

Majelis Hakim mempertimbangkan untuk membuktikan unsur ini maka tindakan dengan sengaja melakukan perbuatan tertentu tentulah diartikan sebagai seseorang telah tahu maksud dari kegiatannya dan mengkehendaki akibat dari tindakannya tersebut.

Dalam hal ini hakim membacakan pertimbangan dari dakwaan serta tuntutan dari PU bahwa hal ini terbukti. Didasarkan pada keterangan ahli Bambang Hero dimana kebakaran terjadi dengan sistemtis dan terencana. Lahan yang terbakar merata serta dalam petak-petak tertentu. Hakim menambahkan bahwa memang ada usaha pemadaman, namun setelah api hampir menuntaskan tugasnya membakar lahan yang diinginkan.

Dari penjelasan PU ini, Hakim menjelaskan bahwa mereka mempertimbangkannya. Namun hakim pada akhirnya menjelaskan bahwa fakta ini terbantahkan berdasarkan keterangan saksi dan terdakwa. Dimana usaha pemadaman telah dilakukan oleh terdakwa melalui stafnya. Hingga PT NSP menyewa helikopter pada Maret 2014 serta ada rekaman video pemadaman kebakaran dari wartawan yang meliput.

Hakimpun menambahkan pertimbangannya bahwa PT NSP justru mengalami kerugian akibat kejadian ini. Maka unsur sengaja, dimana pelaku menghendaki akibatnya tidak terpenuhi. Berdasarkan pertimbangan ini Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur kedua tidak terpenuhi dan terdakwa dibebaskan dari dakwaan ini.

Majelis Hakim melanjutkan pembacaan dakwaan selanjutnya. Yaitu pasal 99 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

Unsur setiap orang. Unsur karena kelalaiannya. Unsur dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Usur sebagai orang yang memberi perintah. 

Seperti sebelumnya, unsur setiap orang tidak lagi dijelaskan. Memasuki unsur kedua karena kelalaian, hakim menjelaskan pertimbangannya.

Menggunakan teori hukum dimana kelalaian dianggap sebagai sebuah kealpaan. Dimana ini terjadi karena tidak hati-hati serta tidak melaksanakan sesuatu sesuai aturan yang ada.

Hakim mengaitkan hal ini dengan penjelasan PU bahwa terdakwa tidak melakukan pemadaman karena kelalaian PT NSP dalam melengkapi saran dan prasarana. Ini diatur dalam PP nomor4 tahun 2001 tentang pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup karena kebakaran hutan atau lahan. Dimana setiap badan usaha yang usahanya menimbulkan dampak besar terhadap kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan wajib melakukan pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan diareal usahanya.

Dan selanjutnya dalam pasal 14 mengatur bahwa setiap badan usaha wajib memenuhi sarana prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sarana dan prasarananya antara lain

Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. Alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan.
Prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan.

Perangkat organisasi yang bertanggungjawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan.
Pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.

Dalam hal ini Majelis Hakim melanjutkan penjelasannya terkait fakta terjadinya kebakaran di areal konsesi PT NSP. Yang sudah menjadi fakta bahwa memang benar telah terjadi kebakaran pada akhir Januari hingga pertengahan Maret 2014. Dengan luasan lahan yang terbakar capai 3000 hektar.

Hakim mempertimbangkan berdasarkan pleidooi dari PH terdakwa bahwa ada bukti surat SK Bupati Kepulauan Meranti nomor 16 tahun 2014 menyatakan status tanggap darurat terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap di Kepulauan Meranti tanggal 10 Februari 2014 disertai bukti SK Bupati nomor 25/AK/KPTS/III/2014 tanggal 19 Maret 2014 tentang perpanjangan penetapan status tanggap darurat penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap di Kepulauan Meranti. Sehingga kejadian kebakaran adalah bencana.

Berdasarkan hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa memang kebakaran tidak dapat dikendalikan oleh terdakwa, walaupun usaha pemadaman sudah dilaksanakan. Namun menyoroti PP nomor 4 tersebut, hakim memiliki fokus pandangan terhadap sistem deteksi dini dari terdakwa.

Hakim mempertimbangkan bahwa dari bukti surat yang diajukan terdakwa berupa laporan triwulan 4 Oktober hingga Desember 2013, kemajuan pembangunan IUPHHBKHTI sagu pada daftar sarana operasional kegiatan pengelolaan lahan milik PT NSP dilaporkan antara lain:

  1. Mesin pompa berjumlah 15 unit
  2. Selang pompa 100 unit
  3. Helm 30 unit
  4. Sepatu bot 30 unit
  5. Speedboat 12 unit
  6. Sepeda motor 19 unit
  7. HT 19 buah
  8. Kolam air 2 buah
  9. Papan peringatan 20 unit
  10. Buku pemeriksaan 5 buah
  11. Alat perlindungan diri 30 unit
  12. Parang 30 buah
  13. Penggaruk 10 buah
  14. Dan menara api 2 buah

Dapat diketahui jumlah sarana prasarana dari pencegahan pemadaman kebakaran sebelum terjadinya kebakaran. Dimana dapat dibandingkan dengan laporan triwulan 1 Januari – Maret 2014 pembangunan kebun milik terdakwa dilaporkan antara lain:

  1. Mesin pompa berjumlah 28 unit
  2. Selang pompa 245 unit
  3. Helm 70 unit
  4. Sepatu bot 30 unit
  5. Speedboat 12 unit
  6. Sepeda motor 19 unit
  7. HT 19 buah
  8. Kolam air tidak dilaporkan
  9. Papan peringatan 25 unit
  10. Buku pemeriksaan 5 buah
  11. Alat perlindungan diri tidak dilaporkan
  12. Parang 30 buah
  13. Penggaruk 10 buah
  14. Dan menara api 1 buah
  15. Teropong 2 unit

Dari bukti laporan ini, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdapat peningkatan sarana prasarana namun setelah kebakaran terjadi. Sehingga hakim berkesimpulan saran prasarana deteksi dini untuk pencegahan kebakaran milik PT NSP tidaklah terpenuhi sesuai peraturan.
Majelis Hakim menghargai bahwa terdakwa sudah melakukan pemadaman, serta membentuk tim masyarakat peduli api. Namun semua harus dikesampingkan sebab dilakukan setelah kebakaran terjadi.

Majelis Hakim mempertimbangkan fakta persidangan terkait kejadian kebakaran, terdakwa telah berupaya mengerahkan kemampuannya untuk memadamkan kebakaran diantaranya:

  1. Membuat SOP Pemadaman kebakaran
  2. Mengerahkan seluruh karyawan melakukan pemadaman
  3. Menyewa helikopter untuk pemadaman serta melakukan pengadaan peralatan disaat darurat. Sedangkan untuk sarana prasarana deteksi dini berada diluar tanggungjawab terdakwa.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut Majelis Hakim berpendapat terdakwa bukanlah orang yang patut dimintai pertanggungjawabannya akibat kelalaiannya. Menimbang bahwa dalam pengenaan sanksi terhadap suatu badan usaha, menurut hemat majelis, suatu badan usaha dapat dikenai sanksi namun tidak dengan orang nya sekaligus. Sehingga unsur karena kelalaiannya tidak terpenuhi.

Maka Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan selanjutnya sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf d jo pasal 78 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang unsur-unsurnya majelis hakim akan mempertimbangkan satu persatu unsur tersebut apakah terbukti atau tidak terhadap tindakan yang dilakukan terdakwa dalam perkara ini.
Kembali unsur setiap orang tidak dijelaskan. Dan dilanjutkan dengan unsur dengan sengaja. Penjelasannya hampir sama dengan dakwaan pertama subsidiair dimana unsur kesengajaan ini tidak terpenuhi karena terdakwa mengalami kerugian akibat kebakaran dan terdakwa telah lakukan pemadaman. Dengan demikian dakwaan ini tidak terpenuhi.

Majelis Hakim melanjutkan pembacaan pertimbangannya terhadap dakwaan yang diatur dalam pasal 92 ayat (2) huruf a jo pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 2013, Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang unsurnya sebagai berikut:

Unsur Setiap orang. Unsur melakukan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan. Unsur tanpa izin menteri.

Untuk unsursetiap orang telah terpenuhi. Maka dilanjutkan pada unsur selenjautnya. Pada unsur kedua, Majelis Hakim membacakan pertimbangannya terkait pemaparan PU soal pabrik PT NSP yang berada diluar areal konsesi. Karena berdasarkan keterangan ahli Kaselan yang datang ke lokasi kebakaran dan mengambil beberapa titik koordinat diareal konsesi PT NSP dimana 4 titik diareal pabrik merupakan areal konsesi hutan yang dapat dikonversi.

Dalam persidangan bahwa terdakwa juga mengajukan sertifikat hak guna bangunan atas nama PT NSP untuk izin pendirian pabrik tersebut. Namun dalam tuntutan PU menyatakan SHGB tersebut batal demi hukum karena sudah masuk dalam kawasan hutan. Penasehat hukum terdakwa dalam pembelaannya menyatakan bahwa untuk membatalkannya haruslah oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini melalui pengadilan negeri yang putusannya berkekuatan hukum tetap.

Majelis Hakim mempertimbangkan bukti surat yang diajukan terdakwa berupa penolakan perizinan koridor IUPHHBK atas nama PT NSP kepada Menhut yang tertuang dalam surat nomor S.27/VI.PRBUK/2014 tanggal 9 Januari 2014 dimana dikaitkan dengan Keputusan Menteri nomor p29/Menhut-2/II/2010 tanggal 29 Januari 2010 dan Keputusan Menteri nomor p30/Menhut-2/II/2010 tanggal 29 Januari 2010 tentang pengajuan izin koridor untuk IUPHHBK tidak terdapat mekanismenya.

Sehingga Majelis Hakim berpendapat meskipun kanal dan jalan termasuk dalam pengertian koridor dalam IUPHHBK, namun permintaan terdakwa tidak dapat diakomodir oleh Kementrian Kehutanan. Yang masuk dalam kawasan adalah jalan terdakwa sehingga pabrik tidak relevan untuk dipertimbangkan. Dan Majelis berpendapat unsur melakukan kegiatan perkebunan dikawasan hutan tidak terpenuhi. Dan terdakwa dibebaskan dari dakwaan ini.

Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan selanjutnya yaitu sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 109 jo pasal 36 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

Unsur setiap orang. Unsur yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa izin lingkungan. 

Dalm hal ini terkait unsur melakukan usaha dan/ atau kegiatan tanpa izin lingkungan Majelis membacakan fakta-fakta dari persidangan. Yaitu:

  1. Bahwa benar pabrik PT NSP beroperasi sejak Juni 2012
  2. Bahwa benar pembangunan pabrik PT NSP telah memperoleh kesepakatan dalam kerangka acuan AMDAL pada 15 Juni 2011 yang merujuk pada PP 27/1999
  3. Bahwa benar pabrik tual sagu untuk mengubah menjadi tepung sagu telah memperoleh persetujuan atas studi kelayakan AMDAL, RKL-RPL dari Bupati Kabupaten Bengkalis berdasarkan surat nomor 140/KPTS/III/2012 tertanggal 1 Maret 2012.
  4. Bahwa benar dalam produksinya PT NSP telah memperoleh izin usaha industri berdasarkan keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal nomor 75/I/IUP/II/2012 tertanggal 20 April 2012.
  5. Bahwa benar PT NSP selalu memberikan laporan persemester kepada BLH Kabupaten Kepulauan Meranti
  6. Bahwa benar BLH Kabupaten Kepulauan Meranti telah melakukan pengawasan AMDAL, RKL-RPL pada pabrik produksi pengolahan tual sagu menjadi tepung sagu milik PT NSP pada 4 November 2013 sebagaimana dimaksud dalam hasil pengawasan pada 2013 yang dilampirkan dalam surat BLH Kabupaten Kepulauan Meranti nomor 80.1/BLH/XI/2013/I-65 tertanggal 11 November 2013.
  7. Bahwa benar BLH Kabupaten Kepulauan Meranti telah melakukan pengawasan lingkungan hidup, amdal, RKL-RPL terhadap pabrik pengolahan sagu PT NSP pada tanggal 7 Agustus 2014
  8. Bahwa benar BLH Kabupaten Kepulauan Meranti, BLH Provinsi Riau serta Mentri tidak pernah memberikan sanksi atau terguran keapda terdakwa baik secara lisan ataupun tertulis terhadap PT NSP terkait dokumen AMDAL, RKL-RPL yang telah diperoleh oleh PT NSP

Majelis Hakim mempertimbangkan sesuai keterangan saksi Setya Budi Utomo dan bukti surat yang mana PT NSP telah memiliki AMDAL, RKL-RPL berdasarkan Surat Keputusan Bupati nomor 140/KPTS/III/2012 tertanggal 1 Maret 2012 tentang kelayakan studi AMDAL, RKL-RPL yang mnerujuk pada PP nomor 27/1999 tentang analisis dampak lingkungan dalam penyusunan dokumen AMDAL.

Menimbang bahwa berdasarkan keterangan ahli Nelson Sitohang dan saksi Armansyah bahwa dokumen amdal adalah dokumen kelayakan lingkungan yang masih berlaku mengingat ketentuan pasal 73 pp 27/2012 tentang izin lingkungan yang menyatakan dokumen lingkungan yang telah mendapatkan persetujuan sebelum berlakunya peraturan tersebut dinyatakan berlaku dan dipersamakan sebagai izin lingkungan.
Selanjutnya Majelis Hakim membacakan pertimbangannya berdasarkan PH terdakwa sesuai surat Kementrian Lingkungan Hidup nomor 14134/MENLH/KPN11/2013 memberikan tenggang waktu bagi perusahaan-perusahaan melengkapi izin-izin lingkungan sampai Juni 2015.

Menimbang tentang surat ini terkait pasal 121 UU RI 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan LH poin 2 huruf d menyatakan gubernur, walikota ataupun bupati sesuai kewenangannya memberikan sanksi berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksid dalam huruf c paling lambat 18 bulan sejak surat edaran ditetapkan.

Sehingga berdasarkan Surat Keputusan Mentri tersebut Majelis Hakim berpendapat penerapan sanksi terhadap PT NSP barulah bisa dilaksanakan setelah Juni 2015. Dan terdakwa dibebaskan dari dakwaan ini.

Sehingga Majelis Hakim berpendapat terdakwa tidak terbukti melakukan tindakan pidana sesuai dakwaan PU. Oleh karena unsur dakwaan ini tidak terpenuhi, maka terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak bersalah melakukan tindakan yang didakwakan kepadanya. Maka terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut. Karena terdakwa tidak terbukti melakukan tindakan yang didakwakan kepadanya maka kepada terdakwa dipulihkan haknya, harkat dan martabatnya.

Sehingga putusan Majelis Hakim untuk terdakwa Erwin ialah:

  1. Terdakwa erwin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan tidak bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum
  2. Membebaskan terdakwa erwin dari seluruh dakwaan penuntut umum tersebut.
  3. Memulihkan hak, kemampuan, kedudukan serta harkat dan martabatnya
  4. Barang bukti yang terlampir dipergunakan untuk perkara atas nama PT NSP
  5. Membebankan biaya perkara kepada negara

Pembacaan putusan untuk perkara ini selesai 13.20. Terdakwa Erwin tersenyum senang dan menyalami seluruh kerabat yang berada dalam ruang tersebut. Begitu pula saat ia bersalaman dengan PH serta PU. #rct-Yaya

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube