PN Pelalawan, Senin, 25 September 2017—Hakim Ketua I Gede Budhy Dharma Asmara bersama Hakim Anggota Ria Ayu Rosalin yang menggantikan Nurrahmi yang tidak bisa hadir karena ada acara keluarga dan Andry Eswin Sugandhi Oetara, membuka sidang perkara pidana Izin Usaha Perkebunan (IUP) Illegal dengan terdakwa PT Peputra Supra Jaya (PSJ) pada pukul 11.09. Sudiono selaku Direktur mewakili terdakwa, didampingi Penasihat Hukum (PH) Jufri Mochtar Tayib, Suharmono, Linda dan Heru.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hadir dalam perkara ini, Thony dari Kejaksaan Agung, Syafril Dahlan dan Zurwandi dari Kejaksaan Tinggi Riau dan Himawan Aprianto Saputra dari Kejaksaan Negeri Pelalawan. Ia menghadirkan seorang ahli Pidana Korporasi juga Guru Besar di Universitas Sumatera Utara, Alvi Syahrin.
Tindak pidana korporasi adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diatur dalam Perundang-undangan yang menyatakan perbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh dan untuk atas nama korporasi, di mana perbuatan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional di sebuah perusahaan. Korporasi berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Secara teori, badan usaha dengan korporasi itu pengertiannya sama, tapi badan usaha merupakan bagian dari badan hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan Pasal 113 menjelaskan sanksi pidana dapat dijatuhkan pada korporasi dan/atau pengurusnya. Apabila tindak pidana dilakukan oleh untuk nama atas korporasi, yang bertanggung jawab adalah pengurusnya, karena perusahaan tidak bisa melakukan tindakan fisik.
Ahli juga memberi penjelasan perbedaan antara pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Perkebunan dengan pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Pada ayat 1 menjelaskan suatu perusahaan memiliki izin perkebunan, namun ingin memperluas areal perkebunan, maka izin perluasan areal harus diurus selambat-lambatnya satu tahun. Pada pasal 2 menjelaskan suatu perusahaan memiliki izin perkebunan, namun pada arealnya ada bertentangan pada Undang-Undang, maka perusahaan harus memperbaiki izinnya dalam kurun waktu lima tahun.
Sanksi pidana dapat dijatuhkan pada pengurusnya. Direkturnya tidak bisa melepaskan tanggung jawab apabila korporasinya melakukan tindak pidana karena jika terjadi perbuatan melawan hukum pada perusahaannya, direktur dianggap menyuruh atau membiarkan perbuatan tersebut. Direktur bisa melepaskan tanggung jawabnya apabila ia mengundurkan diri atau ia telah melakukan sesuai dengan aturan-aturan berlaku.
Untuk menjatuhkan hukuman pada korporasi, harus dilihat dulu terdakwanya siapa. Terdakwa korporasi, orang perorangan atau keduanya. Jika terdakwanya korporasi yang diwakili orang perorangan, maka hukumannya ditambah 1/3 dari hukumannya berupa denda. Jika terdakwanya orang perorangan, maka terdakwa dapat dihukum penjara dan/atau denda.
Pada korporasi, hanya jajaran direksi saja yang dapat dimintai pertanggung jawaban jika korporasi melakukan tindak pidana. Yang bisa diminta pertanggung jawaban adalah Direktur, jika tidak ada bisa Manejer. Karyawan tidak bisa diminta pertanggung jawaban pidana karena ia hanya bergerak jika diperintah. Jadi, jika perusahaan melakukan perbuatan melwan hukum, yang diminta pertanggung jawaban dimulai dari atas, bukan dari bawah.
Ini logika hukum, Pemerintah tidak akan mengeluarkan izin jika sudah ada izin di lahan yang sudah ada izin lainnya. Jika itu terjadi, maka akan ada terjadi peristiwa hukum. Jika dikaitkan dengan konsep hukum, sepanjang izin yang dikeluarkan pertama kali belum dicabut, maka pemegang izin yang pertama mempunyai kedudukan utama dari pada mereka yang memiliki izin yang kedua di suatu lahan yang sama. Dalam kasus pidana, yang dicari adalah kebenaran materil, maka apabila izin yang dikeluarkan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan, Hakim tidak mencabut izin usaha yang kedua, melainkan menyebutnya izin yang tidak memiliki kekuatan hukum. Izin yang tidak memiliki kekuatan hukum sama saja tidak memiliki izin. Karena dalam azas mengatakan, Hakim Pidana dapat menguji keabsahan dalam perbuatan hukum administrasi dikenal dengan eksepsi karena tidak adanya keabsahan.
Linda menganggap Izin Persetujuan adalah IUP. Ia mempertanyakan apakah korporasi dapat dimintai pertanggung jawaban jika IUP sudah terbit sebelum izin konsesi diterbitkan. Karena, pada tahun 1997 belum ada IUP.
“PT PSJ sudah memiliki Izin Perkebunan yang diterbitkan oleh Dirjen Perkebunan berupa Persetujuan Prinsip sejak bulan Maret tahun 1997, sedangkan Izin Konsesi terbit bulan Agustus 1997. Apakah korporasi dapat diminta pertanggung jawaban sedangkan izin usaha ada jauh sebelum izin konsesi diterbitkan?” tanya Linda pada Ahli.
“Izin Persetujuan Prinsip berbeda dengan izin usaha kegiatan, memang Izin Persetujuan Prinsip merupakan cikal bakal IUP, tetap saja itu bukan izin untuk melakukan kegiatan,” jelas Alvi Syahrin.
Alvi Syahrin menjelaskan, Izin Persetujuan Prinsip hanya berlaku selama satu tahun. Selama itu, perusahaan wajub memproses izin lokasi, menyediakan jaminan tenaga kerja serta memproses Hak Guna Usaha (HGU). HGU inilah yang akan menjadi izin saat melakukan kegiatan usaha. Alvi juga menyebutkan PT PSJ belum memiliki izin usaha, hanya memiliki Izin Prinsip. Maksudnya, Pemerintah Daerah bisa menyetujui atau tidak sebuah korporasi melakukan usaha perkebunan bukan memberikan izin untuk melakukan usaha perkebunan.
“Apakah Jaksa merasa cukup menghadirkan saksi dan ahli?” tanya Hakim Ketua I Gede.
“Pada Hari Kamis besok, kita lihat perkembangannya dulu, Yang Mulia,” kata JPU Putra.
Sidang ditunda pada Kamis, 28 September dengan agenda pemeriksaan ahli. Sidang ditutup pukul 15.45. #RCTdefri