PN Pekanbaru, Kamis 22 Februari 2018—majelis hakim membuka sidang perkara pidana korupsi, dengan terdakwa Zaiful Yusri, Subiakto, Edi Erisman, Rusman Yatim, Hisbun Nazar dan Abdul Rajab. Sidang berlangsung di ruangan lantai pengadilan, pukul 11.56.
Enam orang penasihat hukum terdakwa menghadirkan 2 saksi ahli.
Pertama, Karsono, sebagai Biro Hukum dan Advokasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Segala kekayaan sumberdaya alam dikuasai oleh negara, sebagaimana amanat UUD 1945 dan salah satu turunannya UU Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Negara berhak memberi hak penguasaan atas tanah pada masyarakat. Hak ini bisa diberi langsung oleh pemerintah atau melalui permohonan dari masyarakat.
Masyarakat yang memohon hak atas tanah wajib menyertakan beberapa syarat. Misalnya, Surat Keterangan Tanah atau Surat Keterangan Ganti Rugi yang dikeluarkan kepala desa, identitas pemohon, peta lokasi tanah yang dimohonkan serta beberapa syarat administrasi lainnya.
Permohonan diajukan pada Badan Pertanahan Nasional yang ada di daerah pemohon. Selanjutnya dibentuk Panitia A yang akan memverifikasi lokasi yang dimohonkan.
Setiap pemohon dibatasi dalam hal luasan tanah yang hendak dikuasai. Orang yang mengajukan permohonan tidak boleh dibawah umur. Selain itu, permohonan sertifikat tanah tidak boleh dalam kawasan hutan.
“Sertifikat diberikan pada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. Bila terjadi konflik, BPN boleh manghentikan upaya verifikasi atau mencabut kembali sertifikat jika sudah terlanjur dikeluarkan,” kata Karsono.
Apabila ditemukan kepemilikan orang lain dalam tanah yang dimohonkan, atau statusnya dalam kawasan hutan, panitia harus membuat catatan atau risalah dalam rekomendasi hasil verifikasi. Pertimbangan ini supaya diketahui oleh Ketua BPN.
“Meski nantinya Ketua BPN yang mengambil keputusan akhir atas penerbitan sertifikat,” kata Karsono.
Karsono selesai diperiksa. Sidang diskor 30 menit.
Ahli selanjutnya, Sadino, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan. Pemeriksaan pindah di ruang cakra lantai bawah.
SK 173 tahun 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Riau adalah penunjukan kawasan hutan, bukan penetapan kawasan hutan. Sesuai putusan MK tahun 2012, kawasan hutan harus ada penetapan.
Tahapan penetapan kawasan hutan adalah, inventarisasi, penunjukan, penataan batas dan terakhir penetapan.
“Ia diatur dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. UU ini tidak membenarkan penunjukan kawasan sebelum adanya inventarisasi,” kata Sadino.
Oleh karena itu, Sadino menegaskan, SK 173 tahun 1986, belum ada kepastian hukum karena masih penunjukan.
SK 173 tahun 1986 bukan satu-satunya regulasi yang mengatur tentang kawasan hutan di Provinsi Riau. SK ini pun dikeluarkan pada waktu Riau dan Kepulauan Riau masih berada dalam satu provinsi. Sudah banyak terjadi perubahan kawasan hutan karena beberap SK yang diterbitkan sampai sekarang.
Misalnya, SK 673 dan SK 878 yang diterbitkan Menteri Kehutanan pada 2014.
“Akibatnya, sering terjadi konflik norma,” jelas Sadino.
Diakhir, Sadino menegaskan, setelah ada putusan MK tahun 2012, bahwa kawasan hutan harus ada penetapan, SK 173 tahun 1986 tidak bisa diterapkan karena masih penujukan.
“Kalau perkara ini diperoses setelah putusan MK, maka ia tak dapat dilanjutkan. Kita harus patuh pada putusan MK.”#Suryadi