PN Dumai, 17 Februari 2016—Sidang lanjutan kasus perambahan hutan dan lahan dengan terdakwa Ashari memasuki babak akhir, yaitu pembacaan putusan. Setelah ditunda minggu lalu, majelis hakim diketuai Isnurul S. Arief membacakan putusannya hari ini. “Berkas putusan cukup tebal, jadi kami akan membacakan poin-poinnya saja,” katanya.
Sebelumnya, penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Dumai menuntut terdakwa menggerakkan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dengan tuntutan penjara selama delapan tahun dan denda sepuluh milyar rupiah. Ashari dianggap terbukti melanggar dakwaan ketiga, yakni Pasal 94 Ayat 1 jo Pasal 19 huruf a UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan. Tuntutan yang diberikan jaksa merupakan batas minimal dari ancaman pasal tersebut.
Majelis hakim membacakan pertimbangan hukumnya.
Ashari melakukan perambahan hutan dari tahun 2000 hingga 20 Mei 2012. Berdasarkan asas legalitas, ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut. Bila hendak diberlakukan ke belakang, harus dipenuhi syarat-syarat, yaitu terdapat undang-undangan mengenai suatu perbuatan, perubahan itu terjadi setelah perbuatan itu dilakukan, ketentuan yang baru lebih menguntungkan atau meringankan pelaku.
Pasal yang diterapkan penuntut umum, menurut majelis hakim, lebih memberatkan terdakwa, sehingga secara hukum tidak dapat diterapkan kepada terdakwa yang melakukan pembalakan liar sebelum UU 18/2013 berlaku sejak 6 Agustus 2013. “Dengan demikian, alternatif dakwaan ketiga harus dikesampingkan,” kata hakim.
Selanjutnya majelis hakim memberikan pertimbangan dakwaan kesatu penuntut umum dari dua dakwaan tersisa. Dakwaan pertama, Ashari dianggap melanggar Pasal 50 Ayat 3 huruf a jo Pasal 78 Ayat 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dakwaan kedua, ia melanggar Pasal 50 Ayat 3 Huruf b jo Pasal 78 Ayat 2 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Majelis hakim menganggap dakwaan kesatu paling pas dikenakan kepada terdakwa.
Apakah Ashari melakukan perbuatan “dengan sengaja mengerjakan/menggunakan/menduduki kawasan hutan secara tidak sah” seperti tertulis dalam unsur pada dakwaan kesatu?
Berikut pertimbangan majelis hakim.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan tanggal 6 Juni 1986 tentang penunjukan areal hutan di wilayah daerah tingkat 1 Riau di wilayah hutan Senepis kota Dumai, telah ditunjuk sebagai hutan produksi Bagan Siapi-api. Menhut telah memberikan konsesi pada PT Diamond Raya Timber melalui SK Menhut tanggal 8 Mei 1998 tentang perpanjangan hak penguasaan hutan PT Diamond Raya Timber yang diberikan Menhut tanggal 27 Juni 1979 seluas 90.956 hektar.
Sesuai surat pernyataan 29 April 2003 dan surat pernyataan terdakwa 23 Mei 2015, terdakwa mengatakan sejak 2002 telah mengolah lahan yang terletak di Sungai Sembilan Senepis untuk kelompok tani dan pemukiman dan lahan belum memiliki surat resmi kepemilikan lahan. Tahun 2007 terdakwa juga membangun gedung bertingkat, disebut gedung putih, milik kelompok tani yang dipimpin terdakwa. Areal yang digunakan terdakwa tersebut, berdasarkan tata guna hutan kesepakatan dan peta hutan kawasan propinsi Riau, berada di dalam kawasan hutan negara yang berfungsi sebagai hutan produksi tetap di wilayah Dumai yang juga termasuk dalam kawasan konsesi PT Diamond Raya Timber.
Perbuatan terdakwa dalam membuka areal hutan menjadi perkebunan dengan mengalihkan kepada warga tanpa seizin Menhut dan tanpa alas hak yang sah tersebut, menurut majelis hakim sama dengan menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Karena itu, Ashari dianggap telah terbukti melanggar Pasal 50 Ayat 3 huruf a jo Pasal 78 Ayat 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Selanjutnya, dengan terbuktinya dakwaan kesatu, majelis hakim membuktikan apakah terdakwa Ashari dapat dihukum.
Majelis menyebutkan Pasal 112 huruf a UU No. 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan. Pada saat UU ini berlaku, yakni 6 Agustus 2013, ketentuan pasal 50 ayat 1 dan ayat 3 huruf a, f, g, h, j, k, dan b, ketentuan pasal 78 ayat 1 mengenai ketentuan pidana terhadap pasal 50 ayat 1 dan ayat 2 mengenai ketentuan pidana pada pasal 50 ayat 3 huruf a, b, ayat 6, 7, 9, 10, dalam UU Kehutanan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Meskipun penyidikan telah dilakukan sejak 2012, namun perkara terdakwa Ashari baru dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan pada 22 september 2015. Setelah berlaku Pasal 112 huruf a UU No. 18 tahun 2013 (mencabut pasal-pasal UU Kehutanan yang disebutkan di atas), maka saat ini ketentuan tersebut telah dicabut sehingga menjadi alasan pembenar dapat menghapuskan pidana bagi terdakwa.
Dari pertimbangan hukum tersebut, majelis hakim tidak sependapat dengan yang dikemukakan penuntut umum dalam surat tuntutannya. Dari seluruh uraian di atas, walaupun terdakwa terbukti melanggar Pasal 50 ayat 3 huruf a UU Kehutanan, namun majelis hakim berpendapat terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah karena pasal tersebut tidak berlaku lagi sejak dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 2013. Dengan demikian terdakwa harus dikepaskan dari segala tuntutan hukum.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan:
Mengadili:
- 1.Menyatakan terdakwa Ashari bin Musa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan sebagaimana dakwaan kesatu penuntut umum tetapi bukan merupakan tindak pidana
- 2.Melepaskan terdakwa Ashari bin Musa dari segala tuntutan hukum
- 3.Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan dan kedudukan, harkat, serta martabatnya
- 4.Menetapkan semua barang bukti dikembalikan kepada pemiliknya
- 5.Menetapkan semua bukti surat tetap terlampir dalam berkas perkara
- 6.Membebankan biaya perkara kepada negara
Usai membacakan putusan, majelis hakim memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk melakukan upaya hukum berikutnya bila ada yang keberatan. Sidang ditutup sebelum kumadang Azan Ashar berbunyi. #rctlovina