–Sidang II Terdakwa Ashari
PN Dumai, Senin 19 Oktober 2015–Pukul 16.15, Ashari yang didakwakan telah melakukan perambahan hutan dan illegal loging di kawasan PT. Diamond Raya Timber, memakai baju dinas berwarna hijau dan menggunakan peci hitam, memasuki ruangan sidang bersama penasehat hukumnya Iki Dulagin lalu duduk di kursi pengunjung.
Tri Nugraha penuntut umum hadir dengan tergesa-gesa, disusul dengan majelis hakim yang diketuai Isnurul Syamsul Arif didampingi anggota majelis hakim M Sacral Ritonga dan Adiswarna Chairul Putra. Dalam keadaan mati lampu, Sidang dengan No perkara: 423/Pid.Sus/2015/PN.Dum. dibuka pukul 16.36.
Hakim mempersilahkan penasehat hukum membacakan eksepsinya.
Penasehat hukum membaca lembaran eksepsi yang menyatakan PN Dumai tak berwenang mengadili perkara aquo, berdasarkan pedoman menentukan kewenangan mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari kompetensi relatif, diatur dalam bagian kedua Bab X, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan ketiga pasal tersebut, salah satu kriteria menentukan kewenangan relatif suatu PN memeriksa dan memutus suatu perkara pidana adalah dilihat dari tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti).
Dihubungkan dengan perkara aquo sebagaimana diuraikan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan secara jelas dn tegas menyebut dan menguraikan bahwa tempat kejadian perkara atau lokasi terjadinya dugaan tindak pidana dalam perkara aquo terletak di Kampung Tengah, Kepenghuluan Desa Darussalam, Kecamatan Sinaboi Kabuten Rokan Hilir. Seharusnya pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara aquo adalah Pengadilan Negeri Rokan Hilir dan bukan pengadilan Negeri Dumai.
Penasehat Hukum mengatakan pada 18 Agustus 2015, penuntut umum mendakwa terdakwa di Pengadilan Negeri Dumai dengan nomor register perkara: PDM-197/DUMAI/08/2015 atau nomor perkara: 381/Pid.Sus/2015/PN.Dum. penutut umum mendakwa dua dakwaan yakni: pertama, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo Pasal 78 ayat (2) Undang-undang RI No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kedua, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf (b) jo Pasal 78 ayat (2) Undang-undang RI No 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Selanjutnya atas dakwaan tersebut, kuasa hukum terdakwa mengajukan eksepsi yang dibacakan pada tanggal 8 September 2015. Kemudian pada tanggal 22 September 2015 majelis hakim yang memeriksa perkara ini memutuskan surat dakwaan penuntut umum No perkara : PDM-197/DUMAI/08/2015 tanggal 18 Agustus batal demi hukum.
Pada Intinya berdasarkan putusan pengadilan Negeri Dumai tersebut, pengajuan perkara pidana aquo tidak dapat dilanjutkan karena telah ada putusan pengadilan yang menyatakan batal demi hukum, oleh karena itu dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara aquo secara hukum dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam eksepsinya penasehat hukum juga mengatakan bahwa berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dinyatakan bahwa berdasarkan peta lampiran SK Menteri Kehutanan RI. No. 173/Kpts-II/1986, tanggal 6 Juni 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) kawasan Hutan Provinsi Riau, maka locus delictie perkara dinyatakan merupakan wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan Hutan Produksi (HP) Bagan Siapi-api. Berdasarkan uraian Jaksa Penuntut Umum tersebut menjadi jelas bahwa locus delictie masih merupakan kawasan hutan yang ditunjuk belum menjadi kawasan hutan yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutan.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor: 45/PUU-IX/2011 yang diputuskan pada Selasa, 21 Februari 2012, tentang pengujian atas ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor. 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang,,menjadi: “ kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahakan keberdayaannya sebagai hutan tetap”. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka menjadi jelas bahwa locus delictie perkara aquo tidak dan bukan lagi merupakan kawasan hutan.
Berkaitan dengan ketentuan mengenai pengukuhan kawasan hutan diatur di dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 41 tahun1999 tentang kehutanan, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) berdasarkan invemtari hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2) kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayai (1) dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
Lebih lanjut lagi di dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan itu meliputi beberapa tahapan sebagai berikut:
- Penunjukan kawasan
- Penataan batas kawasan hutan
- Pemetaan kawasan hutan
- Penetapan kawasan hutan.
Bahwa untuk menjalankan amanat Putusan Mahkmah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 45/PUU-IX/2011 serta amanah dalam ketentuan pasal 14 dan 5 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, maka Kementrian Kehutanan Mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Berdasarkan uraian tersebut maka dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara aquo secara hukum harus dinyatakan tida dapat diterima.
Kemudian Penasehat Hukum juga mengatakan bahwa surat dakwaan disusun dengan tidak jelas menyangkut hukum dan pasalnya. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa telah melanggar perbutan pidana sebagaiman diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Di sisi lain berdasarkan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan telah mencabut ketentuan di dalam pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sehingga pasal yang digunakan oleh penuntut umum tidak dapat digunakan lagi untuk mendakwa seseorang karena telah mengerjakan dan/atau menduduki dan/atau menduduki hutan secara tidak sah. Berdasarkan asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.
Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi. Atas dasar tersebut, maka seharusnya yang berlaku adalah ketentuan di dalam undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Namun demikia ketentuan inipun tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo karena tempus delictie-nya adalah sebelum Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan berlaku dan di sini berlaku asas legalitas.
Di sisi lain surat dakwaan ini ditandatangani pada tanggal 22 September 2015, dimana tentu saja Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sudah tidak dapat diterapkn karena sudah dicabut. Sementara berdasarkan asas legalitas, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan pun tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo.
Sesuai dengan uraian diatas Penasehat Hukum menyimpulkan bahwa, bahwa dakwaan tidak memenuhi syarat materil sesuai dengan pasal 143 ayat 3 dan Pasal 250 ayat (4) HIR. Untuk itu dapat diketahui bersama dengan jelas dan terang surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum.
Berdasarkan keberatan yang disampaikan penasehat hukum dari surat dakwaan yang diberikan kepada terdakwa, sebagai penasehat hukum Iki membacakan permohonan dimana, meminta majelis hakim untuk mengabulkan :
- menerima dan mengabulkan eksepsi terdakwa untuk seluruhnya
- menyatakan Pengadilan Negeri Dumai tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara a quo
- meyatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima dan/atau atal dmi hukum
- menyatakan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan/atau meleaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum
- merehabilitasi nama baikdan kehormatan terdakwa serta mengembalikan semua harta benda dan hak keperdataan milik terdakwa yang telah dirampas
- membebankan biaya perkara pada negara.
Ia juga menambahkan jika majelis hakim berpendapat lain, majelis hakim dapat memberikan putusan dengan seadil-adilnya.
Untuk menanggapi eksepsi yang disampaikan penasehat hukum, hakim menyampaikan kepada jaksa penuntut umum bahwa tanggapannya disampikan pada saat sidang selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 2015, Sidang ditutup pukul 16.46. #reinaldi-rct