BENTANGAN SENARAI
JELANG PUTUSAN TERDAKWA BONGKU
PENDAHULUAN
Bongku hendak tanam ubi manggalo atau ubi racun. Tapi dia belum punya lahan. Jumat 1 November 2019, dia pergi mencari lokasi. Setelah dapat, keesokan harinya dia menebang 10 batang eukaliptus dan terus berlanjut hari berikutnya.
Minggu 3 November 2019, sekitar pukul 11.00, Sekuriti PT Arara Abadi, Harianto Pohan, Usman, Tobias Tangan dan Supriadi melihat Bongku masih menebang pohon. Mereka membawanya ke Kantor Distrik Duri II Km 38 dan melaporkannya ke Humas Arar Abadi di sana Edi Mulyono.
Pukul tiga sore, Mulyono dan para sekuriti tadi mengantar Bongku ke Polsek Pinggir. Mulyono langsung bikin laporan. Hari itu juga, polisi minta keterangan Mulyono, Pohan dan Usman sebagai saksi. Bongku ditetapkan tersangka dan ditahan di sana.
Senin 24 Februari 2020, Bongku jalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Bengkalis. Irvan, Jaksa Penuntut Umum hadirkan 3 saksi fakta dan 1 ahli. Tim Penasihat Hukum Bongku hadirkan 6 saksi meringankan dan 2 ahli.
Senin 13 April 2020, Irvan menuntut Bongku 1 tahun penjara denda Rp 500 juta subsider 1 bulan kurungan.
PROFIL TERDAKWA
Nama Lengkap : Bongku bin (alm) Jelodan
Tempat Lahir : Muara Basung (Riau)
Umur/Tgl. Lahir : 57 tahun/3 Agustus 1962
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Km 47 RT 01/RW 02, Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : Tida Pernah Sekolah
MAJELIS HAKIM
Hendah Karmila Dewi (Ketua)
Zia Uljannah Idris (Anggota)
Aulia Fhatma Widhola (Anggota)
PENUNTUT UMUM
Irvan R Prayogo
PENASIHAT HUKUM
Andi Wijaya
Rian Sibarani
DAKWAAN
Penuntut Umum pakai dakwaan alternatif:
Kesatu, Pasal 92 Ayat (1) Huruf a UU RI Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Orang perseorangan yang dengan sengaja: melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Atau
Kedua, Pasal 82 Ayat (1) Huruf b UU RI Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Orang perseorangan yang dengan sengaja: melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Atau
Ketiga, Pasal 82 Ayat (1) Huruf c UU RI Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Orang perseorangan yang dengan sengaja: melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
KESAKSIAN
Table Kesaksian
No | Nama | Pekerjaan | Kesaksian |
1 | Haryanto Pohan | Security PT Arara Abadi | Saat melakukan patrol pakai mobil Mazda, melintas di TKP dengar suara tebasan. Turun dan mengecek. Saat itu dilihat ada satu orang yang motong kayu Eucaliptus. Bongku Diamankan sebab merambah di Areal HTI Arara Abadi. Bongku diebawa ke Distrik 38, sekitar 4 kilometer dari TKP. Bongku ditanyai oleh Humas Arara Abadi, setelah itu jam 3 sore dibawa ke Polsek Pinggir lengkap parang dan pohon Eucaliptus yang sudah ditebang.
Pohan tahu titik koordinat setelah diberitahu Humas setelah diperiksa oleh Planning Survey PT Arara Abadi. Baru ia beritahu ke polisi bahwa Bongku tebang sekitar 0, 5 hektar. Link : http://senarai.or.id/pantau/saksi-dan-ahli-dari-jpu-berikan-keterangan/
|
2 | Usman bin Marzuki | Security PT Arara Abadi | Bersama Haryanto Pohan patrol sekitar jam 11. Di TKP lihat ada orang yang tebang Eukaliptus. Usaman katakana orang luar dapat masuk keareal Arara Abadi tetapi tidak untuk menebang pohon. Penebangan itu urusan konytraktor. TKP Bongku ditangkap bersebelahan dengan areal milik warga.
Sewaktu ditanyai kenapa menebang pohon eukaliptus. Bongku jawab itu aadalah areal miliknya. Dan akan dipakai untuk menanam ubi menggalo.
Bongku kemudian dibawa ke distrik 38 kemudian ditanyai oleh Humas Edi Mulyono. Kemudian dibawa ke Polsek Pingggir. Sejak ia bekerja di PT Arara Abadi, kejadian seperti ini sering terjadi. USaman juga tahu TKP dengan areal perjuangan masayarakat Suku Sakai hanya berbatas jalan. Link : http://senarai.or.id/pantau/saksi-dan-ahli-dari-jpu-berikan-keterangan/
|
3 | Sudarta | Koordinator Planning Survey PT Arara Abadi | Ia bertugas untuk mengukur, survei dan perencanaan di PT Arara Abadi. Ia dapat laporan dari Humas PT Arara Abadi adanya penebangan. Mereka Bersama security melakukan pengukuran di areal D-0404. Mereka yang kesana ada : Sudarta, Edi Mulyono, Usman, Tobias, Pohan dan Supriyadi. Kemudian deiketahui lahan yang ditebang seluas 0,5 hektar.
Sudarta bilang seharusnya warga sudah tahu areal itu aadalah Kawasan PT Arara Abadi sebab ada tanaman eucalyptus yang rapi, parit dan patok. Juga ada bangunan, pengajuan izin dan izin investasai. Ia juga tahu bahwa seberang jalan merupakan lahan perjuangan masyarakat suku sakai. Link : http://senarai.or.id/pantau/saksi-dan-ahli-dari-jpu-berikan-keterangan/
|
4 | Syahdiman | PNS | Ia merupakan Ahli yang kesehariannya bekerja di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia dimintai keahliannya seputar pengukuran.
Ia telah melakukan pengkuran di TKP 13 November 2019. Alat yang digunakan adalah GPS, dengan mengelilingi semua areal yang ditebas. Hasilnya didapat luasannya adalah 0,5 hektar. Waktu melakukan pengukuran ia didampingi oleh Polisi. Link : http://senarai.or.id/pantau/saksi-dan-ahli-dari-jpu-berikan-keterangan/
|
5 | Saprin | Kerabat Bongku/ Terdakwa | Saprin juga masyarakat Sakai. Ia dpat info Bongku ditangkap dari warga. Kemudian menyusul ke Polsek Pinggir. Ia juga diperiksa oleh polisi. Ia juga mendatangi TKP, disana sekitar beberapa ratus meter ada lading warga juga. Itu merupakan lahan yang diolah masayrakat sakai sejak lama. Ia dan Bongku sudah beberapa bulan tidak jumpa sebab rumah mereka berjauhan.
Konflik terjadi sejak PT Arara Abadi masuk disana, konflik juga berjalan senyap. Atas konflik tersebut merkea minta kementerian Lingkungan Hidup bisa selesaikan masalah itu. Tapi hingga kini tidak ada titik temu.
Pernah ada larangan KLHK dan Masyarakat Sakai mengelola lahan tersebut. Mediasi berlangsung 2015-2017. Pertemuan 2017 masyarakat Sakai minta penundaan mediasi untuk melakukan pemetaan wilayah adat. Mediasi berlangsung 4-5 kali. Sakai minta ada pemetaan sebab kalua hanya disampaikan secara lisan mereka tidak mengerti. Tapi pemetaan tidak pernah terlaksana. Saprin pernah melakukan pemetaan Partisipatif, dan itu yang ditunjukkan ke hakim, jaksa dan pengacara.
Dilokasi berkonflik ada kuburan leluhur mereka. Struktur masyarakat sakai terdiri dari Kepala Suku, Tungkek, Bunti, Antan-antan dan Jopanteh. Ada kesepakatan lisan untuk tidak menebang selama mediasi berlangusng. Tapi selama ini perusahaan tidak pernah bantu masyarakat sakai.
Saprin katakan bahwa objek konflik merupakan laahan ada sakai sebelum kemerdekaan. Buktinya berupa batas alam yakni bukit, sungai dan perkuburan. Pohon keramat tidak bisa dipakai jadi bukti sebab sudah habis.
Sebelum ada PT Arara Abadi semua itu hutan alam, kemudian ditebang oleh CV Murni. Baru 1998 ditanam Eucaliptus oleh PT Arara Abadi. 2001 perusahaan tahu kalau masyarakat sakai punya hak disana makanya ada dilakukan pengukuran. Disana masyarakat sakai terdiri atas 3 perbatinan yakni Batin Beringin Sakai, Batin Lumbung, Batin Penaso. Bongku dari batin Beringin Sakai. Luas keseluruhan 7.958,25 hektar. Suku sakai hidup berpindah atau nomaden dan menananm uni menggalo atau ubi racun untuk dimakan sebab belum ada beras. Selain tanam ubi, juga ada Tapia dan obat tradisional lain.
Masyarakat bebas berkebun dimanapun asal lahan yang sudah dilekola dibelukarkan kembali untuk menjaga kesinambungan makanan. Pokok dengan tumbuhan dan binatang. Mereka dilarang buka lahan dilokasi yang sama sebab diyakini akan terjadi sakit bahkan kematian.
Semua areal itu disebut wilayah pebatinan dan sekarang disebut wilayah ulayat. Lading dikuasai oleh batin. Tapi tidak ada yang peraturan daerah yang mengakui itu wilayah adat. Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-saksi-meringankan/
|
6 | Jumadel | Ketua Rukun tetangga (RT) tempat Bongku. | Ia juga masyarakat Sakai Bersama Saprin. Ia datang juga ke Polsek Pinggir. Salama dua tahun jadi RT tidak pernah terjadi hal seperti ini.
PT Arara Abadi pernha sosialisasi terkait lahan disana. Tidak pernah lihat patok batas antara milik PT Arara Abadi dengan masyarakat sakai. Setelah dari Polsek ia datangi lokasi TKP, Bongku hanya tebang akasia liar yang tidak pernah dirawat dan dijaga.
2008 sebelum jadi RT ada masyarakat yang ditangkap PT Arara Abadi sebab menebang pohon eukaliptus beramai-ramai. Yang ditangkap sekitar 76 orang. Setelah itu masyarakat takut kalim lahan itu. Bongku menebang untuk hidupi anak dan istri. 100 meter dari lokasi TKP ada makanm Pak Tuo dan Abang Sepupu Jumadil. Kuburan berpencar sebab dimana berladang disanalah ada kuburan. Kini sistim kepemilikan tanah sakai berubah, dimana lahan dikerjakan itu menjadi hak milik sampai anak-cucu.
Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-saksi-meringankan/
|
7 | Rabi Muslim | Kepala Dususn Suluk Bongkal. | Datang ke Polsek Pinggir dan diperiksa atas kemauan sendiri. Sewaktu Bongku ditangkap ia sedang berada diluar. Ia tidak pernah menerima sosialisasi dari PT Arara Abadi. Tidak ada batas antara PT Arara Abadi dengan Masyarakat Sakai. Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-saksi-meringankan/
|
8 | Arzi | PNS | Sehari-hari bekerja di Dinas Lingkungan Hidup Bengkalis. Tidaka ada dekumen yang menjelaskan terkait masyarakat sakai. Dan juga batas wilayah tidak jelas. Dan jarang jumpa dengan Bongku.
Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-saksi-meringankan/
|
9 | Ridwan | Batin Suluk Bongkal | Sebagai Batin dari Beringin Sakai. PT Arara Abadi sekitar 1990 masuk dan hendak mengelola lahan nenek moyang Sakai. Masyarakat melarang dan sempat terjadi bentrok. Atas arahan departemen social mereka dipindahkan dan diberi rumah tapi lahan tersebut tetap dikontrol. Disana ada makam Tetua Sakai dan Kakek Ridwan.
Hingga kini konflik tetap terjadi mereka hanya ingin lahan tidak diusahan oleh perusahaan. Dusun Suluk Bongkal adalah wilayah tertua di Desa Beringin. Wilayah yang terdampak konflik ada 3 batin . PT Arara Abadi beri iming-iming mereka dengan diberi perumahan, tanaman karet. Tapi tidak ada yang ditepati.
Ridwan pernah tunjukkan ke orang kementerian kehutanan makam kakeknya. Disebut kepada orang itu bahwa Ridwan butuh sandang dan pangan dari bercocok tanam dan berkebun disana. Dari catatan wakil perusahaan saat itu katakana bahwa Batin Beringin Skai punya lahan sekitar 2.000 hektar dikali tiga batin jumlahnya sekitar 7.000 hektar. Panjang 10 kilometer, lebar 7 kilometer kearah barat. Hanya 300 yang dapat dikelola. TKP Bongku masuk dalam 300 hektar yang diusahakan untuk masyarakat sakai.
Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-saksi-meringankan/
|
10 | GoldFried Pandiangan | Humas PT Arara Abadi (saat berkonflik) | Diterima di PT Arara Abadi 1994 dan ditempatkan di Perawang. Dan pindah ke Humas Resort Bukit Kapu. 1995 ditarik ke Distrik Duri. 1996 dapat laporan kalau tenaga kerja yang berasal dari Kalimantan dilarang berkerja dilapangan. Kesana, dipinggir jalan ada pondok serupa dengan panggung. Setelah sampai masyarakat adat dengan pekerja sudah berkumpul. Lalu dilakukan pendekatan dengan Ubi Menggalo, kemudian pekerja asal Kalimantan itu dibebaskan. 1998 Golfried pindah kerja.
Konflik makin berlanjut, PT Arara Abdi sempat menawarkan tanaman karet tapi ditolak masyarakat. Karet gagal sebab ada gajah. Setelah itu ia tidak tahu apa perkembangan lanjutan. Kembali ke PT Arara Abadi tahun 2000.
PT Arara Abadi punya 4 resort, Duri yang terbesar, diikuti Minas, Kampar dan lainnya. Pernah Wakil Lepala Distrik Duri lakukan pengecekan dan pengukuran ia Goldfried kesana Bersama Zainul, dan tiga Batin. Didapat 7.000 hektar luas tanah pebatinan.
Penyelesaian saat itu diganti dengan Ubi Menggalo, dan program itu dilaksanakan 2003, namun tidak berhasil lagi. Padahal penyusunan proposal sudah dilakukan sejak 2001. Ia hanya bekerja sampai 2005. Areal 7.000 hektar milik batin tadi tidak dilepas PT Arara Abadi dan perusahaan tetap menanam, panen meski masih berkonflik. PT Arara Abadi tidak pernah pasang tapal batas sebab tidak ada pemberitahuan ke Humas dan perlibatan kepala desa.
Tanaman akasia yang tumbuh diluar areal yang diawasi biasanya ditebang masyarakat sebab tidak akan dipanen PT Arara Abadi. Dan perusahaan tidak akan mencampur tanaman akasia dengan eukaliptus. Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-saksi-meringankan/ |
11 | Datuk Seri Al Azhar | Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Riau | Tempat ia bekerja bertugas koordinasikan aktivitas kelembagaan adat yang dilakukan masyarakat adat di Riau.sudah ada sejak 6 juni 1970.
Dalam konstitusi Kerajaan Siak/ Babul qawaid ada tiga wilayah perbatinan yang mereka akui keberadaannya yakni perbatinan Talang, kelompok masyarakat Akit dan kelompok masyarakat perbatinan Sakai. Lalu Sakai terbagi atas dua sub kelompok, pertama Pebatinan Selapan di sekitar Hulu Mandau kemudian Pebatinan Lima yang berada di sekitar Minas dan Sungai Penaso. etelah kerjaaan siak melebur ke NKRI, Kelompok Masyarakat Selapan dan Lima ini masuk ke dalam struktur kenegaraan. Tapi hak mereka tidak pernah diperjelas, tidak sejelas di masa lampau.
Masyarakat Suku Sakai punya tanah ulayat hal itu didasarkan atas tarombo lisan yang diwariskan secara turun temurun. Tempat kejadian Bongku menebang, seharusnya masuk wilayah ulayat masyarakat Pebatinan Selapan dalam hal ini Beringin Sakai. Tapi, pengakuan formal oleh pemerintah untuk itu tidak ada. Seharusnya kejadian ini tidak perlu masuk ke dalam ruang sidang, karena LAM Riau bisa memediasi kedua pihak agar bisa saling berdampingan. Dalam melihat kasus bongku negara harusnya melihat juga dari sisi nurani. Bongku ini bukan orang kaya raya yang menebang demi keuntungan, tapi hanya msayarakat yang hidupnya melarat yang menebang demi mengisi perut. Masyarakat Sakai tidak bisa menjual tanah ulayat, karena tanah komunal itu bukan milik batinnya atau kepala sukunya melainkan milik komunal. Apabila tanah itu dijual beli, maka menurut hukum adat itupun salah.
Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-ahli-untuk-berikan-keterangan/
|
12 | Dr Ahmad Sofyan | Pengajar di Bina Nusantara University | Aktif sebgai dosen di jurusan business law Binus. Terkait dakwaan, dalam hal ini penuntut umum menggunakan UU No 18 Tahun 2013 atau UU P3H. Menurut Ahmad Sofyan, UU itu jelas ditujukan untuk pelaku kajahatan yang terorganisir, kelompok terorganisisr, juga oleh sindikasi yang terstruktur.
Undang-undang ini lahir karena UU sebelumnya yakni UU No 41 Tahun 1999 tidak cukup efektif. Lalu terkait pasal 82 dan 92 yang dikenakan kepada Bongku, Ahmad Sofyan katakan, Kita harus selalu ketika menafsirkan norma melihat elemen subjektifnya, jika elemen subjektifnya tidak tepat tidak perlu melihat elemen objektifnya.
Tujuan aturan ini untuk pencegahan perusakan hutan yang dilakukan penjahat terorganisir dan kelompok terorganisir untuk memberi efek jera. Penjelasan lebih lanjut tertuang di pasal satu ayat tiga dan enam. UU ini tidak ditujukan kepada peladang tradisional atau peladang berpindah.
Lalu jika mencontohkan pada masyarakat adat yang melakukan peladangan berpindah juga tidak tepat menggunakan pasal ini. Lagi-lagi, dalam pasal 1 angka 6 dijelaskan bahwa penebangan hutan itu digunakan untuk kepentingan komersial bukan untuk kebutuhan sendiri.
Lalu jika dilihat ke elemen obejktifnya, ternyata terdakwa adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan atau masyarkat adat. Maka berdasarkan pasal 1 angka 6, perbuatan melawan hukumnya dihapuskan kalau menggunakan UU ini. Sehingga elemen subjektifnya tidak pas atau tidak tepat, adapun elemen obejektifnya tepat tetapi dihapuskan elemen melawan hukumnya. Dengan demikian dua unsur dalam pasal 82 dan 92 tidak terpenuhi.
Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-ahli-untuk-berikan-keterangan/ |
13 | Bongku bin Jelodan | Terdakwa | Ia ditangkap sekuriti PT Arara Abadi karena melakukan penebangan pada 3 November 2019. Ia ditangkap di kilometer 42 Desa Koto Prei Beringin, Kecamatan Kuala Mandau, Kabupaten Bengkalis. Ia menebang kayu akasia sekitar 200 batang dengan parang. Bongku menebang di wilayah itu dua hari, dari jam 8 sampai jam 11 siang. Ukuran pohon yang ditebang tidak sama semua. Ia tidak tahu mengenai lahan 300 hektare milik masyarakat sakai. Lahan yang ditebang berada di wilayah tanah adat sakai.
Ia menebang untuk menanam ubi. Ia tak tahu di situ areal Arara Abadi. Menurutnya di sana tidak ada parit dan plang pengumuman. Ketika sekuriti datang, bongku sedang menebang. Ketika ditangkap tidak ada ditanya sekuriti, langsung dibawa saja ke kantor 38. Kayunya yang telah ditebang berserakan, rencananya kayunya dibiarkan disitu saja. Luasnya yang ditebang sekitar dua rantai. Setelah ditangkap lalu dibawa ke kantor 38, dari situ barulah dibawa ke Polsek Pinggir.
Dekat tempat dia menebang ada juga masyarakat yang menanam ubi. Yang menanam ubi di sekitar situ kurang lebih 50 orang, ada juga yang menanam karet, ubi, cabe, kacang, timun. Orang orang itu menebang tidak bersamaan, lalu mereka melakukan penanaman di tanah perjuangan Sakai. Tempat Bongku menebang akasia rencananya akan ditanami ubi untuk kehidupan sehari-hari, setelah itu lalu dibuat tempat tinggal agar bisa menjaga ubi-ubinya. Setelah jadi, tanah tidak boleh dijual. Tidak ada yang memerintahkan untuk menebang pohon di tempat Bongku menebang. Ia mengaku tak punya lahan di tempat lain, cuma lahan yang ditebang itulah. Batin juga tidak melarang ataupun menyuruh menebang di wilayah itu.
Link : http://senarai.or.id/pantau/penasihat-hukum-hadirkan-ahli-untuk-berikan-keterangan/ |
14 | Tuntutan | Setelah mendengar keterangan saksi dan ahli, akhirnya Jaksa Penuntut umum berkesimpulan bahwa Bongku terbukti bersalah dan dakwaan yang sesuai adalah dakwaan ketiga, yakni Pasal 82 ayat (1) huruf c UU No 18/2003. Karena telah melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah.
PU menuntut Bongku bersalah dan dipenjara selama satu tahun dengan denda Rp500 juta subsidair satu bulan penjara. Hal yang memberatkan Bongku ialah terdakwa melakukan penebangan hutan di kawasan Hutan Tanam Industri sehingga mengurangi volume panen PT Arara Abadi. Adapun hal yang meringankan, Bongku tidak berbelit ketika memberi keterangan, ia melakukan penebangan yang nanti digunakan sebagai lahan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari.
Link: http://senarai.or.id/pantau/bongku-dituntut-satu-tahun-penjara-dan-denda-rp500-juta/
|
|
15 | Pledoi | Penasehat hukum terdakwa menolak atas tuntutan penuntut umum dimana Terdakwa dituntut Pidana Penjara selama 1 Tahun dan denda 500 jt subsidair 1 bulan penjara telah terbukti melanggar dakwaan Ketiga yaitu melanggar Pasal 82 Ayat 1 huruf c UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Terdakwa Bongku merupakan masyarakat adat Sakai yang tinggal dalam kawasan hutan dan Masyarakat adat Sakai adalah masyarakat adat yang sudah ada sejak lama yang harus dilindungi hak-haknya oleh Negara. Terdapat UU RI No 18 tahun 2013 tentang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan didalam Penjelasan Umum disebutkan UU ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 2 orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Link: http://senarai.or.id/pantau/6686/
|
Haryanto Pohan yakin, Bongku menebang ekaliptus milik PT Arara Abadi setelah rekannya, Supriadi, melihat peta dari aplikasi ponsel pribadi.
Kata Usman, siapapun boleh masuk areal PT Arara Abadi tapi tidak boleh menebang pohon perusahaan kecuali kontraktor. Lanjutnya, lokasi Bongku menebang pohon berbatasan dengan areal warga Dusun Suluk Bongkal.
Bongku bilang ke mereka, dia hendak tanam ubi.
Setahu Usman, peristiwa serupa sering terjadi. Ada perorangan dan berkelompok.
Kata Sudarta, luas pohon ekaliptus yang telah ditebang Bongku 0,5 atau setengah hektar. Menurut Sudarta, warga harusnya tahu areal perusahaan karena konsesinya ditanami eukaliptus rapi, dibatasi parit dan diberi patok.
Sudarta tahu, lahan perjungan Suku Sakai yang berdekatan dengan lokasi kejadian yang dibelah atau dibatasi jalan.
Syahdiman sebut, areal yang ditebang Bongku berada dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) berdasarkan SK Menteri LHK No 903/2016 tentang kawasan hutan di Riau, yang telah diberikan IUPHHK HTI PT Arara Abadi sejak 1996 dan diperbaharui pada 2013.
Kata Saprin, lokasi yang ditebang Bongku sudah lama diolah masyarakat Sakai untuk berladang. Mereka kemudian konflik sejak Arara Abadi menguasai areal.
Mereka pernah minta KLHK menyelesaikan masalah tersebut. Utusan KLHK lalu datang meninjau dan minta masyarakat Sakai menunjukkan bekas peladangan dan kuburan tetua mereka.
Pada 2017, setelah 4 sampai 5 kali pertemuan, masyarakat Sakai menunda mediasi karena hendak memetakan wilayah adat terlebih dahulu, namun rencana itu belum selesai sampai sekarang.
Menurut Saprin, pemetaan partisipatif penting supaya generasi mereka kemudian mengerti dan memahami letak lahan adat Suku Sakai kelak.
Memang ada kesepakatan lisan untuk tidak menebang selama masa mediasi. Tapi selama itu perusahaan tidak beri bantuan ke masyarakat.
Pada 2001, perusahaan pernah mengukur lahan adat Suku Sakai milik Batin Beringin, Batin Lumbung dan Batin Penaso. Bongku menebang di wilayah Bati Beringin. Luas areal batin ini sekitar 7.958,25 hektar.
Cerita Saprin, areal itu awalnya belukar, hutan alam. Ditebang CV Murni, bekasnya dikelola masyarakat dan belukar kembali. Pada 1998 Arara Abadi mulai tanam eukaliptus.
Kata Jumadil, Arara Abadi tak pernah sosialisasi. Tak pernah lihat batas lahan Arara Abadi dengan lahan masyarakat. Terangnya, Bongku menebang akasia liar karena tidak pernah ada yang merawat dan menjaga pohon itu.
Jelasnya, pada 2008 Arara Abadi juga pernah tangkap 76 orang masyarakat Sakai yang nebang eukaliptus. Bongku tebang pohon untuk menghidupi anak dan istri.
Kata Jumadil, sekitar 100 meter dari Bongku tebang pohon ada makam Pak Tuo dan abang sepupunya. Zaman dulu, lanjutnya, dimana beladang disitu dikuburkan.
Rabi Muslim mengaku, selama jadi Kepala Dusun Suluk Bongkal juga tak pernah dapat sosialisasi dari Arara Abadi. Dia juga tidak pernah lihat batas areal perusahaan dan masyarakat.
Kata Ridwan, sejak Arara Abadi menguasai areal di sana sering berkonflik dengan masyarakat. Pemerintah lewat Departemen Sosial waktu itu justru memindahkan masyarakat Sakai dan memberinya rumah. Lahan yang semula mereka kelola akhirnya ditinggal begitu saja dan leluasa dikuasai perusahaan sehingga konflik tidak berkesudahan sampai sekarang.
Arara Abadi mengimingi masyarakat akan dibangun perumahan, tanam karet dan sebagainya tapi tidak ditepati. Masyarakat Sakai butuh sandang dan pangan, bercocok tanam dan berkebun. Mau tidak mau mereka tetap usahakan lahan yang pernah dikelola nenek moyang.
Kata Ridwan, lokasi yang ditebang Bongku masuk areal 300 hektar yang diusahakan masyarakat.
Goldfried mengatakan, tanaman karet yang ditawarkan Arara Abadi gagal karena dirusak gajah. Masyarakat Sakai kembali menuntut. Planning Survey Arara Abadi kemudian kembali mengukur. Hasilnya, 7000 hektar diserahkan pada masyarakat Sakai. Batasnya bukit dan sungai.
Penyelesaian terakhir, lahan kembali ditanam ubi manggalo tapi lagi-lagi tidak berhasil. Kata Goldfried, meski telah diukur areal itu tidak dilepas Arara Abadi. Perusahaan tetap aktif menanam dan panen meski wilayah itu masih berkonflik.
Arara Abadi memang tidak pernah memasang batas arealnya. Tanaman akasia bisa tumbuh di luar areal yang diawasi karena angin atau dibawa burung. Akasia liar tidak dipanen tapi langsung ditebang masyarakat.
Menurut Al Azhar, hak masyarakat adat atas hutan dan tanah belum sesuai dengan harapan dan eksitensi mereka. Kekuasaan mereka atas ruang makin menyempit. Padahal keberadaan masyarakat adat diakuai dalam UUD 1945 dan UU Pokok Agraria. Juga ada Kepmendagri No 52/2016 yang keseluruhannya linear dan mengatur cara untuk memberikan pengakuan atas hak ruang masyarakat adat.
UU Kehutanan juga mengatur secara spesifik tentang hutan adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 bahkan menyatakan hutan adat dikeluarkan dari pengertian hutan negara. Artinya, mutlak milik masyarakat adat. Artinya eksistensi masyarakat adat secara konstitusi ada, tapi implementasinya sangat susah.
Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau sering jadi pihak ketiga dalam mediasi masyarakat adat dengan perusahaan. Di satu sisi masyarakat memiliki hak yang diturunkan dari leluhur, di sisi lain perusahaan memiliki hak yang diberikan negara.
Tidak semua masyarakat adat di Rau memiliki tanah ulayat. Tapi masyarakat pebatinan seperti Suku Sakai dan Talang Mamak memiliki tanah ulayat. Hal itu didasarkan atas tarombo lisan yang diwariskan secara turun temurun. Ada juga yang pengakuannya diberikan oleh masa kerajaan saat itu.
Tempat Bongku menebang seharusnya masuk wilayah ulayat Pebatinan Selapan, Beringin Sakai. Tapi, pengakuan formal oleh pemerintah untuk itu tidak ada.
Al Azhar menganjurkan, kasus Bongku harus dilihat dari sisi nurani. Bongku bukan orang kaya raya yang menebang demi keuntungan, tapi hanya masyarakat yang hidupnya melarat demi mengisi perut. Apalagi yang ditanam itu ubi manggalo, makanan sehari-hari mereka di masa lampau.
Seharusnya pemerintah identifikasi, verifikasi dan memetakan wilayah masyarakat adat. Terkait lokasi ulayat Sakai, Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau memiliki peta yang disusun berdasarkan sumber lisan dari pebatinan Selapan dan Lima.
Menurut Ahmad Sofyan, UU P3H ditujukan pada pelaku kajahatan yang terorganisir, kelompok terorganisisr dan sindikasi yang terstruktur. UU itu lahir karena UU 41/1999 tidak cukup efektif menanggulangi kejahatan kehutanan yang terstruktur dan terorganisir.
Setiap orang dalam UU P3H bisa berbentuk korporasi maupun kelompok bukan korporasi. Jadi, bukan pada orang-perorang atau masyarakat tradisonal, peladang tradisional atau peladang berpindah-pindah.
Tujuan UU P3H untuk mencegah perusakan hutan oleh penjahat terorganisir dan kelompok terorganisir. Pengertian terorganisir sekurang kurangnya dua orang atau lebih yang bertindak bersama-sama dalam waktu tertentu untuk tujuan perusakan hutan. Pelaku kejahatan dimaksud melakukannya untuk tujuan komersial.
Kata Bongku, dia tebang pohon di wilayah adat Sakai untuk tanam ubi. Ia tak tahu areal Arara Abadi karena tak ada batas dan pemberitahuan. Dekat dia menebang ada juga masyarakat tanam ubi, karet, cabai, kacang dan mentimun.
Orang-orang itu menebang tidak bersamaan. Mereka menanam di tanah perjuangan Sakai. Itu diberitahu Batin Beringin Sakai. Luasnya 2000 hektar lebih. Bongku tak punya lahan lain.
TEMUAN DAN ANALISIS
- Bukan Untuk Tujuan Komersil, Tidak Bisa Dipidana
Bongku menanam ubi menggalo dalam areal PT Arara Abadi seluas setengah hektar merupakan Kawasan hutan. Areal PT Arara Abadi bukanlah hak milik PT Arara Abadi. Pemerintah hanya memberi hak pemanfaatan yang berjangka atau memiliki batas waktu.
Merujuk pada fakta yang diterangkan oleh para saksi, areal yang ditebang Bongku berada dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) berdasarkan SK Menteri LHK No 903/2016 tentang kawasan hutan di Riau, yang telah diberikan IUPHHK HTI PT Arara Abadi sejak 1996 dan diperbaharui pada 2013.
Artinya lokasi menanam Ubi menggalo yang dilakukan oleh Bongku berada dalam Kawasan hutan dan boleh ditebang merujuk pada putusan MK No 95/PUU-XII/2014.
Dalam pertimbangannya hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat; seharusnya masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam kawasan hutan yang membutuhkan sandang, pangan dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon dan dapat dibuktikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pihak lain (komersial) sehingga bagi masyarakat tersebut tidaklah termasuk dalam larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan, sehingga tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya.
Sebab akan terjadi paradoks apabila di satu pihak kita mengakui masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan membutuhkan hasil hutan namun di pihak lain masyarakat tersebut diancam dengan hukuman. Sebaliknya, negara justru harus hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat demikian. Dengan demikian permohonan para pemohon sepanjang mengenai pengecualian terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, beralasan menurut hukum untuk sebagian sepanjang berkaitan dengan hanya terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan, bukan yang berada di sekitar kawasan hutan sebab pemaknaan “di sekitar kawasan hutan” sangatlah berbeda dengan masyarakat yang hidup di dalam hutan.
Mahkamah memutuskan dalam amar putusannya: sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. (Hal 180, 181 dan 185).
Bongku merupakan masyarakat adat Sakai. Masyarakat adat Sakai masuk dalam pemaknaan sepanjang berkaitan dengan hanya terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan.
Masyarakt hidup secara turun temurun diakui dalam RPJP Kabupaten Bengkalis Tahun 2005-2025 pada poin 2.1.4.4 kebudayaan yaitu di Kabupaten Bengkalis juga terdapat suku asli yang mendiami pesisir pantai dan kawasan hutan yang kehidupannya masih sederhana, seperti suku Sakai, Suku Laut, Suku Akit, Suku Bonai dan Suku Hutan, dan dalam hal ini pemerintah kabupaten Bengkalis telah melakukan pembinaan setiap tahunnya (halaman 2-16).
Menanam ubi menggalo adalah satu satu tradisi yang sudah mereka lakukan secara turun temurun sebagai bahan pangan untuk kebutuhan sehari-hari. Tradisi ini masih hidup dan berlangsung hingga hari ini. Apalagi dalam RPJP Kabupaten Bengkalis Tahun 2005-2025 pada poin 2.1.3.3 Sumberdaya alam ubi menggalo tidak termasuk dalam potensi dan peluang investasi (halaman 2-8) untuk tujuan komersial.
Bongku menebang pohon akasia/ekaliptus di dalam kawasan hutan tidak tidak untuk tujuan komersial dan dapat dibuktikan sebagaimana keterangan para saksi yang dihadirkan Bongku dan Ahli dari Lembaga Adat Melayu Riau, sehingga Bongku tidak dapat dipidana.
- Kesalahan Pada Pemerintah Daerah
Keterangan Saksi Harianto Pohan, Usman bin Marzuki dan Sudarta—ketiganya karyawan PT Arara Abadi—yang menyebut areal yang kerjakan Bongku tidak ada hak ulayat karena peta lahan ulayat tidak terdaftar pada Dinas Kehutanan Bengkalis maupun dalam peta PT Arara Abadi.
Kesaksian ini bertentangan dengan kebijakan Kabupaten Bengkalis yang justru dalam RPJP 2005-2025 mengakui keberadaan suku Sakai yang menetap, tinggal atau mendiami Kawasan hutan. Bahkan pemerintah Bengkalis setiap tahun melakukan pembinaan kepada masyarakat Sakai. RPJP yang kemudian akan dijadikan dalam bentuk Produk Hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) secara hukum mengakui keberadaan masyarakat adat Sakai termasuk hak ulayat masyarakat Sakai.
Terkait hak ulayat, Perda No 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya mengakui keberadaan hak ulayat atau tanah ulayat Tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat di Propinsi Riau serta memberikan perlindungan hukum, jaminan pelestarian dan pemanfaatan tanah ulayatnya (Pasal 4). Objeknya meliputi tanah, bukit, hutan, rimba dan perairan dan/atau pesisir pantai, sungai, anak sungai, suak, kuala sungai sampai muara sungai, danau, tasik, telaga, yang dikuasai oleh persukuan dan/atau masyarakat hukum adat setempat, termasuk benda-benda yang ada di atasnya (Pasal 10).
Hak ulayat juga diatur dalam Perda No 10 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 3 menyebut Wilayah MHA meliputi kampung/kepenghuluan/batin dan/atau sebutan lain atau gabungan beberapa kampung/kepenghuluan/batin yang memiliki kesamaan adat istiadat, termasuk kekayaan alam di dalam lingkungan wilayah MHA.
MHA juga berhak mengelola lingkungan hidup berupa: pemanfaatan air, bercocok tanam, pengelolaan hutan, berburu, membuka lahan pertanian dan perkebunan, menangkap ikan di sungai, danau dan laut, mengambil hasil alam seperti madu, buah dan sayur, memelihara hewan dan hak pengelolaan lain yang merupakan kearifan local (Pasal 5).
Artinya, dua Perda di atas secara normatif telah diakui wilayah atau hak ulayat masyarakat adat termasuk suku Sakai di Propinsi Riau.
Merujuk Permen LHK No P.21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, penetapan hutan adat ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hutan adat dan hutan hak merupakan salah satu hak ulayat masyarakat adat. Merujuk Permen P21 ini, izin untuk pengelolaan hutan adat yang berada di dalam Kawasan hutan bukan berasal dari Dinas Kehutanan, tapi langsung dari Menteri.
Oleh karenanya, kesaksian ketiga saksi di atas tidak tepat dan para saksi sesungguhnya tidak memiliki pengetahuan perihal perkembangan pengakuan masyarakat adat dalam hukum Indonesia.
Keberadaan masyarakat adat, merujuk pada putusan MK No 35/PUU-X/2012 mengakui hutan negara di luar hutan adat. Salah satu pertimbangan hakim konstitusi, “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan MHA, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.
Namun untuk pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah/Perda (Pasal 67 ayat 2 UU Kehutanan dan Putusan MK No 35/PUU-X/2012).
Sejak putusan MK tersebut, pemerintah daerah (Bupati, Gubernur dan DPRD) belum menjalankan putusan MK dengan membuat Perda tentang Pengukuhan Masyarakat Adat.
Secara administrasi hukum, masyarakat adat Sakai belum “didaftarkan” atau “tidak terdaftar” pada instansi pemerintah, bukan kesalahan Bongku atau masyarakat adat Sakai, itu murni kesalahan pemerintah daerah karena belum menetapkan Perda. Secara hukum ketatanegaraan masyarakat adat telah diakui dalam sistem hukum Indonesia. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat adat Sakai telah ada dalam sistem hukum Indoensia, tanpa perlu “didaftar atau terdaftar”.
- Kembali PT Arara Abadi (APP Grup) Membohongi Masyarakat Adat
Pada 2013 grup Asia Pulp and Paper (APP)—salah satu anak perusahaannya PT Arara Abadi—meluncurkan komitmen bernama Forest Conservation Policy (FCP) APP yang diumumkan ke seluruh dunia bahwa APP mengakui kesalahannya selama ini merusak hutan, gambut dan merampas wilayah masyarakat adat dan tempatan.
Pada komitmen 3 menyatakan keterlibatan social dan masyarakat. Untuk menghindari maupun menyelesaikan konflik social di seluruh rantai pasokannya, APP akan secara aktif meminta dan mengikut sertakan saran dan masukan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat sipil, untuk menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut, tiga diantaranya yaitu: FPIC dari masyarakat asli dan komunitas lokal, Penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum, prinsip dan kriteria sertifikat bertaraf internasional yang relevan.
Melaporkan Bongku yang merupakan masyarakat adat kepada polisi bertentangan dengan kebijakan FCP APP, termasuk ketidakpatuhan PT Arara Abadi terhadap putusan MK 35, MK 95, Perda 10 dan Perda 14 tersebut di atas.
Jika merujuk pada komitmen FCP APP, selayaknya PT Arara Abadi melakukan serangkaian FPIC, menghormati hak asasi Bongku dan masyarakat adat, lalu mencari jalan penyelesaian berupa mengeluarkan wilayah adat dari izin PT Arara Abadi.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bongku Bin (alm) Jelodan tidak dapat dikenai sanksi pidana atau perbuatannya bukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum. Sebab, penebangan pohon akasia/ekaliptus seluas setengah hektar dalam konsesi PT Arara Abadi untuk ditanami ubi menggalo bukanlah untuk tujuan komersil, tapi untuk semata-mata kebutuhan sandang, pangan dan papan. Bongku merupakan masyarakat adat Sakai yang masih hidup turun temurun di dalam Kawasan hutan maupun dalam hutan.
Senarai Merekomendasikan kepada:
- Majelis Hakim membebaskan Bongku bin (alm) Jelodan dari dakwaan dan tuntutan penuntut umum karena perbuatan Bongku bukan tidak dapat kenai sanksi pidana atau perbuatannya bukan tindak pidana, karena bukan untuk tujuan komersil.
- Majelis hakim dalam pertimbangannya memuat: pemerintah daerah segera menetapkan Perda Pengukuhan Keberadaan Masyarakat Adat berdasarkan rujukan putusan MK No 35/PUU-X/2012, sebagai wujud negara hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat, juga panduan bagi penegak hukum yang tidak asal-asalan mengkriminalisasi masyarat adat yang telah dijamin dalam konstitusi.