PN Pelalawan, Kamis 07 September—Hakim I Gede Budhy Dharma Asmara bersama Nur Rahmi dan A. Eswin Sugandhi Oetara, membuka sidang perkara pidana penguasaan lahan secara illegal oleh terdakwa PT Peputra Supra Jaya. Sudiono selaku Direktur mewakili terdakwa, didampingi penasihat hukum Jufri Mochtar Tayib, Suharmono, Linda dan Heru.
Penuntut umum yang hadir dalam perkara ini, Marthalius dari Kejaksaan Negeri Pelalawan. Ia menghadirkan 2 orang saksi, yang pada sidang sebelumnya berhalangan hadir.
Zainudin, saksi pertama yang diperiksa. Ia Ketua Koperasi Gondai Bersatu sejak berdiri pada 2010. Sebagaimana koperasi yang lain, Gondai Bersatu juga pecahan dari Koperasi Sawit Raya yang terbagi menjadi 8 koperasi. Jumlah anggota yang dipimpin Zainudin 424 anggota dengan lahan seluas lebih kurang 800 hektar. Kini, Zainudin sudah 4 bulan tidak menjabat. Belum ada penggantinya.
Koperasi Gondai Bersatu bekerjasama dengan PT Peputra Supra Jaya dalam budidaya tanaman kelapa sawit. Masyarakat yang jadi anggota koperasi diberi pinjaman modal oleh bank dengan PT Peputra Supra Jaya sebagai penjamin hutang pinjaman tersebut.
Selama proses budidaya tanaman, mulai dari pembibitan, penanaman, pemupukan sampai pada produksi jadi tanggungjawab PT Peputra Supra Jaya, melalui karyawannya sebagai pendamping dan pembinan anggota koperasi. Hasilnya dijual pada perusahaan dan juga diolah langsung melalui pabrik perusahaan di Desa Pangkalan Gondai. Anggota mendapat bagi hasil sebagaimana perjanjian dengan pola KKPA yang telah disepakati.
Perjanjian ini sudah disepakati sejak PT Peputra Supra Jaya memulai kerjasamanya pada Koperasi Sawit Raya, pada 1996. “Kami hanya melanjutkan isi perjanjian itu. Tapi saya belum pernah baca dokumen perjanjiannya,” sebut Zainudin.
Mulanya, lahan masyarakat Gondai adalah milik ninik mamak dan batin atau kepala suku. Anak kemenakan menanam karet dan tanaman untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Ninik mamak punya peran penting dalam penguasaan lahan. Bila ada anak kemenakan tak punya lahan, ninik mamak akan menghibahkan sebagian lahan tersebut. Dalam hal ini, lahan tidak menjadi milik pribadi melainkan pinjaman yang bersifat sementara dan tidak untuk diperjualbelikan.
Semenjak PT Peputra Supra Jaya hadir di tengah masyarakat dan memperkenalkan tanaman sawit, ninik mamak pun menghibahkan ribuan hektar lahan pada PT Peputra Supra Jaya untuk dikelola melalui Koperasi Sawit Raya, pada 1996. Dari sini perjanjian dan kerjasama mulai terjalin sampai Sawit Raya terbagi jadi 8 koperasi.
Namun, sistem dan pola kerjasama tetap mengikuti yang sudah-sudah. Pola kerjasama ini juga mereka kenal dengan istilah bapak angkat dan anak angkat. PT Peputra Supra Jaya sebagai bapak angkat, sementara koperasi sebagai anak angkat. Anak angkat tidak boleh menjual hasil produksi selain pada bapak angkat, sebelum hutang selama kerjasama dapat dilunasi.
Zainudin pernah jadi Kepala Desa Pangkalan Gondai pada 2002. Ia juga mendapat lahan dari batin seluas 2 hektar saat masih menjabat. Ada dua batin di Pangkalan Gondai. Batin Mudo dan Batin Pelawi. Dalam surat hibah lahan yang ditandatangan dua batin tersebut, Zainudin menerima lahan bersama 3 orang lainnya. Yakni Zamur Camat Langgam saat itu, serta Teguh dan Guruh Subagio yang sama-sama pegawai Dinas Perkebunan Pelalawan.
Selanjutnya, giliran Maradu Nasib M Silaban yang diperiksa. Ia Ketua Koperasi Sri Gumala Sakti sejak 2014, menggantikan Alwizar—saksi yang diperiksa pada persidangan sebelumnya. Sri Gumala Sakti juga pecahan dari Koperasi Sawit Raya yang dulu sebagai unit usaha otonom. Cerita mengenai berdirinya koperasi sampai kerjasama terhadap PT Peputra Supra Jaya sama dengan cerita koperasi yang lain.
Bedanya, anggota Koperasi Sri Gumala Sakti mengolah sendiri lahan mereka. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemupukan sampai produksi. Namun, tetap menjual pada perusahaan. Ketentuan ini baru berakhir apabila pohon sawit tidak lagi menghasilkan buah atau seluruh hutang baik jangka pendek maupun jangka panjang telah dilunasi. “Itu pun mesti menyisihkan tabungan replanting sebesar 10 persen,” kata Silaban.
Besaran bagi hasil penjualan buah sawit ini berubah-ubah. Semenjak Silaban jadi ketua, besaran bagi hasil 63 persen untuk petani dan 37 persen untuk perusahaan. Sekarang besaran itu menjadi 85 persen untuk petani dan 15 persen untuk perusahaan. “Dengan catatan, pengelolaan lahan sawit tetap dikerjakan oleh petani,”sebut Silaban.
Menurut Silaban, sekarang mayoritas pemilik lahan anggota koperasi adalah pendatang dari luar. Bukan lagi masyarakat asli Desa Pangkalan Gondai. Padahal itu dulunya lahan ninik mamak yang dihibahkan. Silaban termasuk bukan masyarakat asli setempat. Ia membeli lahan seharga Rp 82 juta dari Sinaga yang juga bukan orang asli di situ. Kata Silaban, bukti pembelian lahan itu hanya selembat kertas surat pelimpahan hak yang ditandatangani ketua koperasi.
“Kalau saya tak salah, lahan saya itu sebelumnya sudah lima kali pelimpahan hak,” kata Silaban.
Silaban saat diperiksa oleh penyidik pernah diajak meninjau lahan PT Peputra Supra Jaya, termasuk lahan anggota koperasi yang ia tukangi. Penyidik kemudian menyodorkan SK Bupati Pelalawan mengenai luas lahan yang dimiliki PT Peputra Supra Jaya. Ia melihat luas lahan tersebut 1.500 hektar. Namun, pada saat pengambilan titik koordinat, sebanyak 3.300 hektar yang ditanami oleh PT Peputra Supra Jaya diluar dari SK yang dimiliki.
Luasan lahan itu miliki PT Nusa Wana Raya. Silaban sudah sering mendengar nama perusahaan ini, bahkan sebelum ia memiliki lahan dan mengurus Koperasi Sri Gumala Sakti. “Tapi saya baru tahu itu lahan PT Nusa Wana Raya setelah diajak penyidik turun ke sana.”
Pemeriksaan dua orang saksi selesai menjelang azan maghrib. Hakim menutup sidang dan akan melanjutkan kembali, Senin 11 September 2017.#Suryadi-rct