Sidang ke 5—Jawaban Tergugat
PN Bangkinang, Kamis 21 Oktober 2021—PT Padasa Enam Utama menjawab gugatan Jikalahari lewat sidang elektronik court. Berikut petikannya:
Padasa membantah membuka hutan lindung Bukti Suligi dan menanam sawit di atasnya. Lahan yang dijadikan kebun sawit berasal dari tanah ulayat Desa Siberuang dan Desa Gunung Malelo, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kampar, Riau.
Padasa, kemudian bikin kesepakatan dengan Koperasi Pincuran Tujuh dengan jumlah anggota 500 Kepala Keluarga (KK), serta Koperasi Unit Desa Tiga Koto dengan jumlah anggota 1.275 KK, tentang pembangunan kebun kelapa sawit pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Masing-masing pada 18 Mei dan 18 Juni 2001.
Pada 25 Agustus tahun yang sama, Ninik Mamak Desa Bandur Picak, Desa Siberuang dan Gunung Malelo menyerahkan 4.500 ha tanah ulayat. Masing-masing 1.000 ha pada Koperasi Pincuran Tujuh dan 2.550 ha ke KUD Tiga Koto. Sisanya, 950 ha dicadangkan untuk jalan, parit dan lainnya.
Lahan di kebun kemitraan telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) berdasarkan nama-nama masyarakat yang terlibat sebagai anggota. Sedangkan kebun inti telah diterbitkan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) atasnama Padasa. Sebelumnya, perusahaan juga telah mendapat Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Menurut kuasa hukum Padasa, Wismar Haryanto, Jikalahari mestinya menarik Koperasi Pincuran Tujuh dan KUD Tiga Koto sebagai tergugat. Karena itu tidak dilakukan, gugatan ini disebut kurang pihak.
Selain itu, karena pemerintah telah mengeluarkan HGU, HGB dan SHM ke Padasa, Koperasi Pincuran Tujuh dan KUD Tiga Koto, harusnya masalah ini diuji ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Alias, bukan kewenangan Pengadilan Negeri Bangkinang.
Tanggapan selanjutnya, Padasa membantah membangun kebun kelapa sawit berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No: SK.522/Menhut-II/2013. Melainkan berdasarkan penyerahan tanah ulayat pada 25 Agustus 2001. Menurut Wismar, dasar hukum yang dijadikan Jikalahari menggugat Padasa tidak tepat dan keliru sehingga menjadi kabur.
Lagi pula, letak dan batas kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), berdasarkan SK Menhut 552/2013 tadi bukan di Desa Siberuang dan Gunung Malelo. Hasil pengukuran dan penataan batas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan Padasa seluas 5.543 ha, berada di kelompok hutan Sungai Tapung-Sungai Telangkah, Kecamatan Tapung dan Kecamatan Tandun.
Padasa kembali membantah telah mengubah hutan lindung Bukit Suligi jadi kebun sawit. Kata Wismar, pembangunan kebun sudah sesuai prosedur yang ditetapkan pemerintah daerah maupun pusat. Sebab, tidak mungkin pemerintah menerbitkan HGU dan SHM apabila berada di hutan lindung.
Wismar, mengatakan Pasal 1 Ayat 3 UU 41/1999 tentang kehutanan yang didalilkan oleh Jikalahari, tidak berlaku lagi. Berdasarkan putusan MK 45/2011, frasa ditunjuk dan/atau ditetapkan dalam pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara, Pasal 15 masih dalam UU tersebut, menjelaskan hal yang berbeda. Pengukuhan kawasan hutan harus melewati beberapa tahap. Antara lain, melalui penunjukkan, penataan, pemetaan dan penetapan. Dikaitkan dengan masalah yang digugat, Wismar menyebut pemerintah belum melaksanakan proses tersebut.
Terakhir, Padasa menolak dalil mengenai, putusan dapat dijalankan terlebih dahulu meski ada upaya hukum lanjutan. Alasannya, menurut Wismar, Jikalahari tidak mengajukan bukti otentik. Kemudian, mengenai hukuman tambahan membayar Rp 10 juta tiap hari bila terlambat melaksanakan putusan. Dasar penghitungannya tidak jelas.
Penutup, obyek perkara bukan diperoleh secara melawan hukum, serta selama persidangan majelis tidak meletakkan sita jaminan, tuntutan ini diminta harus ditolak.
Tanggapan Jikalahari (penggugat) akan disampaikan juga melalui e-court, seminggu setelah jawaban Padasa (tergugat) diajukan.#Suryadi