Sidang ke-6, Agenda Mendengarkan Keterangan Saksi A decharge
PN Bengkalis, 30 Maret 2020 – Penasihat Hukum terdakwa Bongku menghadirkan enam orang saksi meringankan dalam persidangan yang dilakukan pada Kamis (30/03/2020). Hakim Ketua Hendah Karmila Dewi pimpin jalannya sidang.
Adapun saksi yang dihadirkan adalah Rabi Muslim, Arzi, Ridwan, Jumadil, Saprin, Goldfried. Semua saksi selain Goldfried merupakan masyarakat sakai, berikut keterangannya.
Saprin – Kerabat Bongku
Saprin adalah masyarakat Sakai. Ia dapat informasi bahwa Bongku ditangkap dari warga. Kemudian atas inisiatif datang ke polsek, lalu diperiksa terkait penangkapan bongku. Sesudah penangkapan ia melihat ke areal kejadian. Di sana, sekitar beberapa ratus meter dari TKP ada warga yang melakukan peladangan. Menurutnya lahan tersebut sudah sejak lama diolah masyarakat sakai untuk berladang. Terakhir jumpa bongku sudah beberapa bulan, karena rumah keduanya memang jauh.
Di lahan tersebut terjadi konflik sejak munculnya perusahaan Arara Abadi, cuma kadang konflik itu muncul terkadang senyap.
Terkait konflik antara masyarakat dan Arara Abadi, mereka pernah meminta ke KLHK supaya lahan sengketa itu bisa diselesaikan, tapi sampai sekarang belum ada titik temu. Dari KLHK pernah turun dan melihat ada peladangan.
KLHK saat itu meminta supaya Masyarakat Sakai menunjukkan mana wilayah bekas peladangan dan perkuburan tetua Sakai.
Saat itu KLHK tidak ada melarang untuk mengelola lahan itu baik untuk Sakai atau Arara Abadi. Proses mediasi itu berlangsung sejak 2015 hingga 2017. Waktu pertemuan terakhir pada 2017, Masyarakat Sakai mengajukan penundaan mediasi, karena hendak melakukan pemetaan wilayah adat. Namun pemetaan itu sampai sekarang belum selesai.
Ada 4 atau 5 kali mediasi. Alasan masyarakat ingin melakukan pemetaan karena kalau hanya disampaikan lisan, nanti orang akan sulit mengerti. Makanya Saprin minta pemetaan partisipatif. Saprin lalu menunjukkan peta yang sedang dilakukan pemetaan kepada majelis hakim, penasihat hukum dan jaksa.
Di sana, di lokasi yang berkonflik, ada kuburan orang orang tua dulu. Namun tidak ada pembicaraan terkait kuburan itu antara arara karena kuburan itu masuk wilayah.
Saprin lalu jelaskan struktur masyarakat Sakai, ada Kepala Suku, Tungkek, Bunti, Antan-antan, dan Jopanteh.
Ada kesepakatan lisan untuk tidak menebang selama masa mediasi. Tapi selama ini perusahaan tidak ada beri bantuan ke masyarakat.
Acuan sehingga mengklaim lahan yang menjadi objek konflik sebagai lahan adat Sakai ialah sebelum kemerdekaan Indonesia, tetua adat sakai sudah di sana. Buktinya berupa batas alam seperti sungai dan bukit, juga perkuburan. Sedangkan pohon keramat tidak dapat dibuktikan karena hari ini pohon sudah habis.
Pada 2001, perusahaan yang mengetahui ada hak sakai di sana lalu mengaturnya, makanya lahan itu diukur. Wilayah yang diukur itu merupakan wilayah tiga batin yakni Batin Beringin Sakai, Batin Lumbung, dan Batin Penaso. Adapun wilayah tempat Bongku menebang pohon di wilayah Kebatinan Beringin Sakai. Datanya di kertas itu kalau tak salah 7958,25 ha.
Sebelum ada Arara Abadi, lahan itu belukar. Awalnya dulu hutan alam, lalu ditebang sama CV Murni, baru kemudian dikelola masyarakat, jadi belukar. Barulah apda 1998 ditanam eukaliptus oleh Arara Abadi.
Suku Sakai sudah berpindah pindah dan menanam ubi racun. Ubi itu makanan khas Sakai yang ketika itu belum ada beras. Maka ubi itu yang diolah jadi makanan pokok. Saprin juga cerita, masyarakat Suku Sakai umumnya akan menanam ubi, tapia ada juga yang menanam obat-obatan tradisional.
Dulu Sakai bebas berladang dimana saja, tapi tetap memakai aturan. Yakni setelah hutan dibuka jadi ladang, harus dibelukarkan kembali untuk menjaga kesinambungan antara makanan pokok tadi dengan lingkungan entah kancil, rusa, dan lainnya.
Lalu alasan membuka ladang baru setelah membuka lading lain, karena dulu tidak ada pupuk, juga ada pantangan secara adat yakni membuka ladang yang sama akan menimbulkan penyakit. Bisa anaknya mati, sakit, atau cacat.
Saprin jelaskan, wilayah ulayat itu percakapan modern. Kalau dulu namanya wilayah pebatin. Artinya semua peladang itu dinaungi pebatin. Tidak ada secara tertulis aturan atau Perda mengatakan bahwa suatu wilayah itu wilayah adat.
Saat ini masyarakat sakai yang punya keahlian ada yang bekerja jadi pns dan lainnya, sedngkan yang tidak punya bekerja dengan mengharapkan hasil alam. Tidak ada jual beli lahan di sekitar situ.
Jumadil – Ketua RT di tempat tinggal Bongku
Masyarakat Sakai juga. Sama dengan Saprin, ia hadir ke polsek atas inisiatif sendiri. Jumadil sudah dua tahun jadi ketua RT. Selama jadi RT belum pernah ada kejadian yang sama seperti bongku. Bongku tidak pernah bertanya ke dirinya tentang status lahan di sana.
Jumadil katakana, tidak pernah Arara Abadi melakukan sosialisasi terkait lahan di sana. Ia juga tidak pernah melihat patok batas lahan Arara Abadi dengan lahan masyarakat. Setelah Bongku ditangkap, ia melihat ke lokasi. Yang ditebang bongku itu akasia liar, karena tidak pernah melihat ada yang merawat dan menjaga akasia itu.
Sebelum jadi RT, sepengetahuannya, sekitar tahun 2008 pernah ada masyarakat sakai yang ditangkap oleh PT Arara Abadi. Mereka ditangkap karena menebang pohon eukaliptus beramai-ramai. Waktu itu 76 orang ditangkap. Setelah 2008 itu, masyarakat ketakutan jadi tidak ada lagi klaim mengklam. Bongku menebang untuk menghidupi anak dan istri.
“Areal di dekat Bongku menebang, ada makam pak tuo kami. Jaraknya sekitar 100 meter. Ada dua makam. Pak tuo dan abang sepupu,” jelas Jumadil.
Kuburan itu berpencar pencar. Karena jaman dulu, dimana berladang disitu dikuburkan. Sistim pemilikan tanah di adat sakai, dimana lahan dikerjakan itu hak milik dia, sampai anak cucu.
Rabi Muslim – Kadus Suluk Bongkal, Kerabat Bongku
Diperiksa di polsek atas inisiatif sendri. Sewaktu bongku ditangkap, ia di luar. Waktu itu ketua RT suruh ia lihat Bongku di polsek. Keterangan konflik antaran Masyarakat Sakai dan Arara Abadi sama dengan Saprin. Selama menjabat sebagai Kadus di Suluk Bongkal, tidak pernah dapat sosialisasi dari PT Arara Abadi. Ia sekilas lewat sambil melihat lokasi kejadian, di sana tidak ada terlihat batas.
Arzi – Bekerja DLH Bengkalis, kerabat Bongku
Dokumen yang menjelaskan terkait masyarakat sakai tidak ada. Karena di masa dulu, sah atau tidaknya batas batas wilayah itu tidak jelas. Jarang berjumpa dengan bongku. Sisa keterangan sama dengan Rabi Muslim.
Ridwan – Batin Suluk Bongkal
Sebagai Batin Beringin Sakai, Ridwan jelaskan tentang sejarah konflik Masyarakat Sakai dengan PT Arara Abadi.
Dulu Arara Abadi mau mengelola lahan yang dulunya pernah dikelola nenek moyang Sakai. Sekitar tahun 1990 PT itu masuk. Meski sudah ada pelarangan, tapi terjadi juga bentrok sama masyarakat adat. Kejadian itu terus menerus kaya gitu.
Masyarakat lalu dapat arahan dari departemen sosial. Dipindahkanlah dan diberi rumah. Lalu lahan yang lama ditinggal, tapi tetap dikontrol supaya jangan dikerjakan PT, karena lahan itu sudah pernah diusahakan bahkan sudah ada namanya yakni Suluk Bongkal. Makam tetua Sakai bahkan kakek Ridwan ada di sana.
Mulai dari 90 sampai sekarang, tetap juga konflik. Masyarakat hanya ingin lahan itu jangan diusahakan. Belum Indonseia merdeka, nenek moyang Sakai sudah di situ. Dusun Suluk Bongkal itulah wilayah tertua yang ada di Desa Beringin. Di situlah orang sakai berdomisili turun temurun.
Wilayah kebatinan yang berkonflik dengan Arara Abadi yakni 3 batin. Awalnya PT Arara Abadi mengiming imingkan akan membangun perumahan, menanam karet dan sebagainya, tapi tidak ada yang jadi dan tidak ditepati.
Waktu turun sama kementrian kehutanan, Ridwan tunjukkan makam kakeknya. “Kami butuh sandang dan pangan, bercocok tanam dan berkebun. Jadi mau tidak mau kami tetap usahakan lahan yang pernah diusahakan nenek moyang.”
Wakil dari perusahaan saat itu mencatat satu batin dapat sekian ribu hektar. Wilayah untuk Batin Beringin ada sekitar 2000 hektar, dan total untuk tiga batin jumlahnya 7000 hektar. Panjangnya 10 km, lebar 7 kilo arah ke barat. Namun lahan 2000 hektar milik Batin Beringin tidak bisa dikelola masyarakat karena dihadapkan dengan perusahaan. Hanya 300 hektare yang bisa dikelola. Tempat bongku menebang itu masuk areal 300 hekatar yang diusahakan masyarakat.
Goldfried – Humas PT Arara Abadi saat berkonflik
Awal diterima di Pt Arara Abadi ada 1994. Pertama kali ia ditempatkan di Perawang, kemudian pindah ke Humas Resot Bukit Kapur, baru pada 1995 ditarik ke Distrik Duri.
Pada 1996, ia dapat laporan dari lapangan bahwa ada tenaga kerja dari Kalimantan dilarang bekerja oleh masyarakat, Ia lalu ke lapangan. Di pinggir jalan, ia lihat ada pondok serupa panggung-panggung. Ketika sampai, berkumpul masyarakat adat dan tenaga kerja sudah berkumpul. Ia lakukan pendekatan berupa ikut makan ubi manggalo. Barulah orang Kalimantan itu bisa dibebaskan. Kemudian pada 1998 pindah kerja.
Setelah konflik dan makin berlanjut, maka PR Arara Abadi menawarkan tanaman karet untuk masyarakat tapi gagal. Ketika pindah kerja tidak ikut perkembangannya lagi, barulah kembali ke Arara Abadi pada 2000. Gagalnya tanaman karet waktu itu karena ada gajah.
Ia lalu cerita, luas wilayah konsesi Arara Abadi Distrik Duri terdiri dari 4 resort. Distrik Duri merupakan wilayah yang terbesar dibanding distrik lain baik Distrik Minas, Kampar, dll.
Ketika tanaman karet gagal, lalu bergejolak tuntutan masyarakat Sakai. Wakil kepala distrik kemudian lakukan pengecekan dan melakukan pengukuran. Ditunjuklah planning survey untuk melakukan pengukuran. Ia ikut ke lapangan waktu itu bersama Zainul dan tiga batin. Tanda batas yang ditunjukkan bukit dan sungai. Saat itu tidak ada tanda lain yang ditunjuk. Barulah didapat angka 7000 hektare itu.
Penyelesaian terakhir waktu itu diganti dengan tanaman ubi manggalo, tapi setelah kejadian itu ia sudah keluar. Kesepakatan untuk penanaman ubi manggalo terjadi pada 2003, tapi lagi-lagi tidak berhasil. “Seandainya berhasil ubi ini, mungkin saya satu satunya orang yang berhasil membina orang sakai,” katanya. Setelah 2003 tidak ada lagi. Ia bekerja di Arara Abadi sampai 2005.
Penanandantangan pada 2001 itu perihal acara pengecekan lapangan. Setelah itu ia menyusun proposal ubi manggalo.
Areal yang diukur itu tidak dilepaskan dari Arara Abadi. Semenjak pengecekan, Pt Arara Abadi tetap aktif melakukan tanam dan panen meski wilayah itu masih berkonflik.
Menurut sepengetahuannya, PT Arara Abadi tidak pernah memasang tapal batas arealnya, karena kalau ada pemasangan tapal batas pasti ada pemberitahuan ke humas. Pemasangan tapal batas pasti berkaitan dengan kepala desa, dan pasti ada tandatangan kepala desa.
Tanaman akasia bisa tumbuh di luar areal yang diawasi, bisa karena angin berhembus bisa jadi juga karena burung. Penampakannya bisa langsung terlihat karena tidak teratur. Akasia liar waktu itu tidak dipanen Arara Abadi, biasanya langsung ditebang masyarakat.
“Menurut saya Arara Abadi tidak akan mencampur antara tanaman akasia dan eukaliptus.”
Begitulah keterangan dari enam saksi yang dihadirkan Penasihat Hukum Bongku. Sidang ini akan dilanjutkan Senin (6/4/2020), pukul 10 pagi dengan mendengar keterangan dari ahli. Sidang ini akan dilakukan dengan metode teleconference, teknisnya Penasihat Hukum dan ahli akan mendampingi terdakwa di lapas.#Rizky-Senarai