Kasus Bongku Kasus Perambahan Pantau

Penasihat Hukum Hadirkan Ahli untuk Berikan Keterangan

Sidang ke-6, Agenda Mendengarkan Keterangan Saksi A decharge

Teleconference, 6 April 2020 – Sidang lanjutan terdakwa Bongku dilakukan pada Senin (6/04/2020). Bongku didakwa dengan dakwaan yang diajukan yakni Pasal 92 Ayat (1) huruf a atau Pasal 82 Ayat (1) huruf b atau Pasal 82 Ayat (1) huruf c UU 18/2013.

Sidang kali ini dilakukan dengan metode teleconference dengan agenda mendengarkan keterangan ahli. Penasihat Hukum terdakwa Bongku menghadirkan dua ahli dalam persidangan kali ini. Hakim Ketua Hendah Karmila Dewi pimpin jalannya sidang.

Adapun ahli yang dihadirkan ialah Datuk Seri Al Azhar dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dan Doktor Ahmad Sofyan selaku ahli hukum pidana. Selain mendengarkan ahli, sidang kali ini juga memeriksa keterangan terdakwa Bongku. Berikut keterangannya:

 Datuk Seri Al Azhar — Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAM Riau

LAM riau bertugas mengoordinasikan seluruh aktifitas kelembagaan adat yang dijalankan masyarakat adat di Riau. Sudah ada sejak 6 Juni 1970. Tujuan didirikannya untuk mengoordinasikan pelestarian, pengembangan nilai adat dan sosial budaya, serta untuk memperkuatnya.

Tujuan kedua untuk mewujudkan masyarakat adat yang maju, adil, dan sejahtera dalam tatanan masyarakat madani. Ketiga memelihara, menbina dan memperjuangkan hak masyarakat adat Melayu di Riau dalam hak lahiriah dan batiniah.

Al Azhar lalu jelaskan, masyarakat adat dalam definisi umum adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama di suatu tempat karena silsilah atau karena faktor geologi. Memiliki hukum adat sendiri tentang hak dan kewajiban terhadap barang material dan immaterial. Memiliki lembaga sosial, kepemimpinan adat, juga peradilan adat yang diakui oleh kelompok.

Eksistensi masyarakat adat di Riau berkembang cukup baik. Tujuan pertama dan kedua bisa terpenuhi, yang jadi persoalan di tujuan ketiga. Satu diantara hak masyarakat adat itu secara materi adalah hak atas hutan tanah atau hak ulayat. Hak itulah yang dirasakan belum sesuai dengan harapan dan eksitensi mereka, kekuasaan mereka atas ruang makin menyempit.

Lalu, kategori seseorang atau kelompok jadi masyarakat adat sudah diatur dalam UUD 1945 dan UU Pokok Agraria. Masyarakat adat yakni sekelompok masyarakat yang diikat oleh hubungan karena silsilah, memiliki struktur kepemimpinannya sendiri, memiliki wilayah yang tertentu, relatif masih memiliki hukum-hukum adatnya. Sekurang-kurangnya ada empat ciri sesuatu yang disebut masyarakat adat.

Selain itu juga ada di Peraturan Mendagri tentang Kepmendagri No 52 Tahun 2016 yang keseluruhannya linear dan mengatur cara untuk memberikan pengakuan atas hak ruang masyarakat adat.

UU Kehutanan juga mengatur secara spesifik tentang hutan adat. Jika sebelumnya hutan adat itu bagian dari hutan negara, maka setelah keluar Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35, hutan adat dikeluarkan dari pengertian hutan negara. Artinya, mutlak milik masyarakat adat. Artinya eksistensi masyarakat adat secara konstitusi ada, tapi implementasinya sangat susah.

Negara Indonesia sudah memperjelas status dan eksistensi dari masyarakat adat dalam konteks kenegaraannya. Tapi Terkait konteks penyelenggaraan negara, implementasinya masih kurang karena pengakuan terhadap masyarakat adat itu tersangkut paut dengan penyelenggaraan negara sehingga timbul masalah. Hasil dari upaya untuk menjalanakan amanah konsittusi itu belum terlihat dari penyelenggaraan negara.

Salah satunya yakni masyarakat adat yang memiliki wilayah dan hukum adat, struktru adat, memerlukan pengakuan dalam perundangan melalui serangkaian proses. Adapun proses yang berkaitan dengah hak atas hutan tanah masih amat lambat. Sehingga selama 50 tahun LAM Riau berdiri, pengakuan atas masyarakat adat Melayu di Tiau ini masih belum terjadi.

Contohnya terkait hutan tanah adat atau ulayat, belum ada di Riau ini sebuah keputusan pemerintah yang jelas yang mengakui bahwa sebuah kawasan adalah tanah ulayat atau hutan tanah milik komunitas, persukuan, atau pebatinan dari kelompok masyarakat secara dejure diakui.

Kalaupun ada yang mengatakan suatu wilayah disebut wilayah adat, itu bersumber dari hukum turun temurun nenek moyang atau yang dikenal tambo atao tarombo. Nah persoalannya, yang dijelaskan dalam tambo adat itu tidak diakomodir oleh penyelenggara negara menjadi keputusan hukum.

Dalam pandangan LAM Riau, sejumlah konflik yang terjadi di Riau yang berkaitan dengan hutan tanah, tenurial, dan agraria, satu diantara sebab utamanya adalah pengakuan atas hak adat itu belum diakui oleh penyelenggara negara, meskipun negara sudah berpihak dengan jelas kepada masyarakat adat.

Tambo dan pengetahuan yang bergulir turun temurun dari nenek moyang secara formal belum diakui oleh penyelenggara negara. Tambo itu adalah sesuatu yang melekat dari masyarakat adat dan menjadi pedoman mereka, jika mereka tidak melaksanakannya maka mereka akan berhutang dengan leluhur. Secara kultural, masyarakat akan memenuhui apa yang sudah dilakukan, dibuat, dan diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Kalau masyarkat diwariskan ruang, hutan tanah sebagi hak komunal maka mereka akan mempertahankannya. Bila tidak mampu maka bukan hanya harga diri mereka yang direndahkan, tapi itu juga jadi hutang terhadap leluhur mereka yang mewariskan.

Yang dimaksud masyarakat adat di Riau itu sekurang-kurangnya ada tiga, pertama keolompok masyarakat beradat beraja-raja, kelompok masyarakat kedatuan yang pemerintahan di masa lampau dipimpin oleh datuk-datuk, lalu kelompok masyarkat pebatinan yakni mereka yang secara otonom menguasai suatu wilayah dalam kerajaan dan memiliki hak untuk mengelola ruang atau wilayah tersebut. Relasi mereka adalah relasi perlindungan belaka bukan relasi hamba dan peguasa, dengan demikian masyarakat pebatinan menjalankan aktifitas kehidupan mereka secara otonom.

Kelompok masyarakt beraja-raja sudah meyatakan meleburkan diri dalam NKRI sejak kemerdekaan 1945. Kelompok masyarakat kedatuan masih melaksanakan adat istiadatnya sebagaimana dulu dan dikombinasikan dengan aturan baru yakni NKRI. Kelompok masyarakat pebatinan justru diperlakukan oleh masyarkat negara sama dengan kelopok kedatuan dan beradat beraja-raja, padahal di masa lampau pengakuan masyarkat pebatinan sepenuhnya diserahkan pada masyarakat pebatinan itu sendiri.

Salah satu rujukannya ialah konstitusi Kerajaan Siak yang disebut Babul Qawaid menyatakan, ada tiga kelompok masyarakat Pebatinan Kerajaan Siak yang diakui eksistensinya yakni kelompok Masyarakat Pebatinan Talang, Kelompok Masyarakat Pebatinan Akik, dan Kelompok Masyarakat Pebatinan yang disebut Sakai.

Lalu Sakai terbagi atas dua sub kelompok, pertama Pebatinan Selapan di sekitar Hulu Mandau kemudian Pebatinan Lima yang berada di sekitar Minas dan Sungai Penaso. Itu kelompok masyarakat adat yang ada di Riau. Setelah kerjaaan siak melebur ke NKRI, Kelompok Masyarakat Selapan dan Lima ini masuk ke dalam struktur kenegaraan. Tapi hak mereka tidak pernah diperjelas, tidak sejelas di masa lampau.

Suku Sakai adalah bagian yang ada di LAM riau. Di LAM ada struktur berikut: LAM provinsi, kabupaten atau kota, lalu LAM kawasan.

LAM kawasan ini adalah lembaga adat yang memiliki kekhususan tertentu yang tidak bisa disamakan kelembagaan adat melayu yang lain. Suku Sakai yang berada di LAM kawasan terdiri dari dua kelompok diatas. Pengakuan adat terhadap mereka sudah ada sejak lembaga ini didirikan.

Terkait konflik antara masyarakat adat dan perusahaan, ada beberapa hal yang pernah LAM lakukan. Seperti masyarakat Sakai yang ada di Muara Basung dengan perusahaan pemegang HGU yang sampai di proses hukum positif, lalu kedua belah pihak sepakat masuk ke mediasi yang dilakukan LAM Riau.

Selain itu, lam juga sering memediasi masyarakat adat di Pelalawan dan perusahaan dengan mengedepankan win win solution. Karena di satu sisi masyarakat memiliki hak yang diturunkan dari leluhur, di satu sisi perusahaan memiliki hak yang diberikan negara.

Tidak semua masyarakat adat di riau memiliki tanah ulayat. Tapi masyarakat pebatinan seperti Suku Sakai dan Talang Mamak memiliki tanah ulayat. Hal itu didasarkan atas tarombo lisan yang diwariskan secara turun temurun. Ada juga yang pengakuannya diberikan oleh masa pemerintah sebelumnya.

Misal, Sultan Siak memang tidak menyatakan secara eksplisit bahwa mereka mengakui tanah ulayat masyarakat Sakai. Tapi Sultan Siak menghormati hak masayarakat pebatinan dan membiarkan mereka menjalaankan kehidupannya di wilayah itu, Sultan juga tidak pernah mengintervensi terhadap pemanfaatan kawasan yang dinyatakan masyarakat pebatinan sakai. Namun di beberapa tempat, ada raja yang sudah memetakan suatu wilayah milik masyarakat adat tertentu. Misal Petalangan di Pelalawan di bawah Kerajaan Pelalawan atau Talang Mamak di bawah Kerajaan Inderagiri.

Tempat kejadian bongku menebang, seharusnya masuk wilayah ulayat masyarakat Pebatinan Selapan dalam hal ini Beringin Sakai. Tapi, pengakuan formal oleh pemerintah untuk itu tidak ada. Masyarakat mengingat hal terkait tanah ulayat itu dalam tambo mereka bahwa wilayah itu itu masih tanah milik komunal mereka.

“Itulah kenapa saya menyatakan penebangan di wilayah konsesi itu satu hal, tapi alasan penebangan adalah hal lain. Dua kepentingan ini seharusnya dalam pendapat pribadi saya, tidak perlu masuk ke dalam ruang sidang ini, karena LAM Riau bisa memediasi kedua pihak agar bisa saling berdampingan,” jelas Al Azhar.

LAM Riau juga sudah melakukan upaya legal untuk membantu masyarakat adat. Sudah dilakukan sejak 1970. Tapi ada persoalan, LAM Riau tidak memiliki kewenangan mengesekusi suatu wilayah adalah tanah suatu suku. Karena yang memberikan penetapan adalah pemerintah.

Lembaga adat hanya bisa menolong pemerintah dalam hal ini pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Masalah lain, ketika LAM mendorong upaya penyelesaian terhadap suatu wilayah, ternyata kawasan itu sudah terlanjur diberikan konsesi atau hgu, dan sejenisnya.

“Dan ketika kami tanya ke masyarakat apakah mereka tahu bahwa wilayah adat mereka sudah berizin, masyarakat tidak tahu sehingga. Inilah yang sering memunculkan konflik.”

Al Azhar menambahkan, dalam melihat kasus bongku negara harusnya melihat juga dari sisi nurani. Bongku ini bukan orang kaya raya yang menebang demi keuntungan, tapi hanya msayarakat yang hidupnya melarat yang menebang demi mengisi perut.

Apalagi yang ditanam itu ubi manggalo yaitu makanan sehari-hari mereka di masa lampau, sesuatu yang memperlihatkan ada keterikatan batin mereka dengan masyarakat lampau.

LAM Riau sering lakukan soialisasi terhadap masyarakat adat di tempat lain, sosialisasi terkait tanah itu milik siapa. Tapi ketika LAM melakukan itu, mereka selalu dapat pertanyaan dari masyarakat “Kalau gitu kami akan makan di mana, cari makan di mana. Sering kami dihadapkan dengan pertanyaan yang membuat kami sedih.”

Kalau mereka ke air, mereka tidak dapat ikan lagi. Kalau ke hutan tidak dapat binatang buruan lagi. Oleh karena itu, LAM selama ini memilih jalur agar pemegang hak melibatkan masyarakat setempat.

Al Azhar melihat, political will pemerintah terhadap hak masyarakat adat sudah ada tapi implementasinya yang belum terlihat di lapangan. Sebagai contoh, harusnya ada panitia yang akan melakukan identifikasi, verifikasi, pemetaan yang jelas.  Keseluruhan itu kewajiban pemerintah, namun selama ini belum terjadi.

Lalu Masyarakat Sakai tidak bisa menjual tanah ulayat, karena tanah komunal itu bukan milik batinnya atau kepala sukunya melainkan milik komunal. Apabila tanah itu dijual beli, maka menurut hukum adat itupun salah.

Jika akan dialih hak, itu harus persetujuan semua anggota suku. Walaupun tidak ada perseden anggota suku sepakat untuk dijual, yang ada biasanya untuk kepentingan umum.

Lalu terkait suatu perusahaan yang mengalirkan dana ke masyarakat, Al Azhar berpendapat bahwa itu adalah hasil dari mediasi. Dalam protokol mediasi, bentuk seperti itu bisa dijalankan sepanjang kedua pihak sepakat dan tahu serta mendapat semua informasi apa akibat yang akan timbul di masa depan dari kesepakatan yang ada. Sumber utamanya itu musyawarah mufakat.

Terkait lokasi ulayat, LAM Riau memiliki peta yang disusun berdasarkan sumber lisan dari pebatinan Selapan dan Lima.

 

Dr Ahmad Sofyan — Ahli Hukum Pidana

Terkait dakwaan, dalam hal ini penuntut umum menggunakan UU No 18 Tahun 2013 atau UU P3H. Menurut Ahmad Sofyan, UU itu jelas ditujukan untuk pelaku kajahatan yang terorganisir, kelompok terorganisisr, juga oleh sindikasi yang terstruktur. Undang-undang ini lahir karena UU sebelumnya yakni UU No 41 Tahun 1999 tidak cukup efektif dalam menanggulangi kejahatan yang terstruktur dan terorganisir terhadap hutan.

Itu jelas terlihat dalam konsideran huruf e disebutkan bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum.

Itulah landasan filosofis dari terciptanya UU ini. Setiap orang di sini bisa berbentuk korporasi maupun kelompok bukan korporasi, jadi bukan kepada orang perorang atau masyarakat tradisional.  Jika untuk orang perorang cukup UU 41 tahun 1999.

Tujuan aturan ini untuk pencegahan perusakan hutan yang dilakukan penjahat terorganisir dan kelompok terorganisir untuk memberi efek jera. Penjelasan lebih lanjut tertuang di pasal satu ayat tiga dan enam. Pengertian terorganisir disini sekurang kurangnya dua orang atau lebih yang bertindak Bersama-sama dalam waktu tertentu untuk tujuan perusakan hutan.

Jika dipahami, pasal satu itu mengatur prinsip umum. Atau dalam KUHP dikenal asas hukum. Sebelum kita lompat ke pasal lain, harus dipahami dulu pasal satu. UU P3H ini pidana khusus, sama dengan UU Pemberantasan Korupsi, makanya dalam pasal satu disebutkan asasnya. Pelaku kejahatan disini melakukannya untuk tujuan komersial.

Kemudian di pasal satu angka enam tertulis, yang tidak termasuk kelompok terorganisir ini adalah kelompok masyarkat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri. UU ini tidak ditujukan kepada peladang tradisional atau peladang berpindah.

“Karena itu jangan pakai UU ini kalau ada seseorang yang melakukan penebangan dalam hutan, baik itu hutan konservasi ataupun hutan tanaman industry,” jelas Ahmad Sofyan.

Sebagaimana dalam konsideran huruf C, D, dan E tidak ada disinggung tentang masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan. Karena penyusun undang-undang ini berpandangan, ada pelaku kajahatan yang terorganisasi yang tidak bisa dikenakan dengan UU sebelumnya dalam rangka memberantas secara efektif. Landasan filosofisnya tertuang jelas.

Selain itu keterangan lebih lanjut terkait subjek deliknya ada di pasal sebelas ayat satu, dua, tiga. “Jadi, tentang subjek delik dijelaskan di asasnya yakni di pasal satu, dijelaskan lagi di batang tubuhnya di pasal sebelas.”

Subjek delik pasal ini sudah jelas. Subjek setiap orang harus merujuk pada pasal satu sebagai asas hukum pidana khususnya. Tidak setiap orang itu ditafsirkan orang perorangnya, ini disebut dengan legislative interpretation.

Ketika ingin mendefinisikan setiap orang, harus lihat norma undang-undangnya. Kalau KUHP setiap orang itu adalah orang per orang bukan korporasi, karena aturan itu dibuat pada 1918. Sedangkan dalam uu ini, setiap orang itu adalah kelompok orang, terdiri dari dua orang atau lebih. Jadi definisi setiap orang bisa berbeda.

Lalu terkait pasal 82 dan 92 yang dikenakan kepada Bongku, Ahmad Sofyan katakan, “Kita harus selalu ketika menafsirkan norma melihat elemen subjektifnya, jika elemen subjektifnya tidak tepat tidak perlu melihat elemen objektifnya.”

Elemen subjektif dalam UU ini adalah elemen orang perorangan dan elemen sengaja. Sedangkan elem objektifnya yakni kegiatan melakukan perkebunan tanpa ijin.

Tapi perlu dilihat dulu, setiap orangnya harus mengacu pada asas hukum tadi. Jadi, baik pasal 92 ataupun 82 tetap merujuk pada tafsir pada perseroangan yang dimaksud dalam pasal 1 angka 21 jo pasal 1 angka 6 jo pasal 11 angka 1, 2, dan 3. “Disitulah elemen subjektifnya.”

“Jadi, jika perbuatannya ada tapi subjek deliknya tidak pas maka orang itu tidak bisa dipidana. Istilahnya asas keine strafe ohne schuld,” tambah Ahmad Sofyan.

Ahmad Sofyan pernah diminta jadi ahli untuk perkara pidana yang sama dengan kasus Bongku. Pelakunya satu orang lalu dikenakan pasal 92 UU P3H. Perkara itu terjadi di Pengadilan Negeri Watansoppeng pada tahun 2017, lalu putusanya terbit 2018. Yang menariknya, dalam putusan ini, salah satu pertimbangan hakimnya menggunakan pasal 11 juga pasal 1 angka 6 untuk melihat elemen subjektifnya. Akhirnya, terdakwa dibebaskan karena tidak tepat menggunakan uu ini. “Tidak tepat dalam hal ini elemen subjektifnya bukan elemen objektifnya.”

Putusan itu tertuang dalam surat putusan nomr 516/pib.b/lh/2018/PNBYW. Setelah putusan, jaksa lalu melakukan kasasi tapi kasasi itu ditolak oleh Mahkamah Agung.

Terkait pasal 82 dan 92, jika dilihat sanksinya sangat besar yakni Rp1,5 miliar. Dari situ juga terlihat bahwa pasal ini bukan ditujukan pada masyarakat di sekitar kawasan hutan, mana mungkin mereka punya uang sebanyak itu. Dan aturan ini disusun tahun 2013, terlihat nyata bahwa subjek deliknya adalah orang-orang yang punya niat untuk mendapat keuntungan besar dengan merusak hutan makanya ancaman hukumnya juga tinggi.

Lalu jika mencontohkan pada masyarakat adat yang melakukan peladangan berpindah juga tidak tepat menggunakan pasal ini. Lagi-lagi, dalam pasal 1 angka 6 dijelaskan bahwa penebangan hutan itu digunakan untuk kepentingan komersial bukan untuk kebutuhan sendiri.

Komersial artinya mendapatkan keuntungan berupa finansial tentunya. Jadi bukan untuk kelompok yang tinggal di sekitar hutan, bukan untuk peladangan tradisional, bukan juga untuk kehidupan sendiri. Jadi UU ini tujuannya untuk memukul pelaku kelas kakap. “Ini sama dengan, jika saya idiomkan, anda membunuh lalat tapi dengan menggunakan traktor. Tidak pas.”

Meskipun ada kata orang perseorangan dalam pasal 82 dan 92, tetap harus merujuk pasal satu angka 21 dan pasal 11. Jika merujuk pasal satu angka 21 jelas: Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.

“itu definisi satu kalimat, satu nafas. Nah apa yang dikatakan terorganisasi itu dalam pasal satu angka 6 juga dalam pasal 11, yakni kelompok yang terstruktur dan terorganisasi.”

Dalam UU ini juga diatur tentang alaasan pemaaf sebagaimana tertuang dalam pasal 1 angka 6. Isinya, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.

Berdasarkan ini, jika masyarkat yang tinggal dalam kawasan hutan melakukan tindak pidana maka pasti dihapus pidananya. Doktrin perbuatan melawan hukumnya jadi hilang.

Penasihat Hukum lalu mengilustrasikan kasus bongku. Menurut Ahmad Sofyan, dalam melihat kasus ini, harus masuk dulu ke elemen subjektif yakni setiap orang.Setiap orang dalam kasus ini harus dua orang yang melakukan secara bersama-sama, terstruktur, dan terorganisasi. Dari sini saja unsur subjektifnya tidak terpenuhi.

Lalu jika dilihat ke elemen obejktifnya, ternyata terdakwa adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan atau masyarkat adat. Maka berdasarkan pasal 1 angka 6, perbuatan melawan hukumnya dihapuskan kalau menggunakan UU ini. Sehingga elemen subjektifnya tidak pas atau tidak tepat, adapun elemen obejektifnya tepat tetapi dihapuskan elemen melawan hukumnya. Dengan demikian dua unsur dalam pasal 82 dan 92 tidak terpenuhi.

 

Pemeriksaan terdakwa

Usai mendengarkan keterangan dua ahli, majelis hakim lalu melakukan pemeriksaan terdakwa. Berikut keterangan Bongku.

Ia ditangkap sekuriti PT Arara Abadi karena melakukan penebangan pada 3 November 2019. Ia ditangkap di kilometer 42 Desa Koto Prei Beringin, Kecamatan Kuala Mandau, Kabupaten Bengkalis. Ia menebang kayu akasia sekitar 200 batang dengan parang.

Bongku menebang di wilayah itu dua hari, dari jam 8 sampai jam 11 siang. Ukuran pohon yang ditebang tidak sama semua. Ia tidak tahu mengenai lahan 300 hektare milik masyarakat sakai.

Lahan yang ditebang berada di wilayah tanah adat sakai. Ia menebang untuk menanam ubi. Ia tak tahu di situ areal Arara Abadi. Menurutnya di sana tidak ada parit dan plang pengumuman. Ketika sekuriti datang, bongku sedang menebang. Ketika ditangkap tidak ada ditanya sekuriti, langusng dibawa saja ke kantor 38.

Kayunya yang telah ditebang berserakan, rencananya kayunya dibiarkan disitu saja. Luasnya yang ditebang sekitar dua rantai. Setelah ditangkap lalu dibawa ke kantor 38, dari situ barulah dibawa ke Polsek Pinggir.

Dekat tempat dia menebang ada juga masyarakat yang menanam ubi. Yang menanam ubi di sekitar situ kurang lebih 50 orang, ada juga yang menanam karet, ubi, cabe, kacang, timun. Orang orang itu menebang tidak bersamaan, lalu mereka melakukan penanaman di tanah perjuangan Sakai.

Bongku tidak tahu jarak antara ladang 50 orang itu dengan tkp. Ada sebagian dekat dengan tempat kejadian ada yang tidak. Ia tahu terkait lahan perjuangan dari Batin Beringin Sakai. Katanya, orang Sakai punya lahan perjuangan, punya hak itu. Lahan yang disebutkan batin itu termasuk dari 2000 hektar lebih lahan perjuangan sakai.

Tempat Bongku menebang akasia rencananya akan ditanami ubi untuk kehidupan sehari-hari, setelah itu lalu dibuat tempat tinggal agar bisa menjaga ubi-ubinya. Setelah jadi, tanah tidak boleh dijual.

Tidak ada yang memerintahkan untuk menebang pohon di tempat Bongku menebang. Ia mengaku tak punya lahan di tempat lain, cuma lahan yang ditebang itulah. Batin juga tidak melarang ataupun menyuruh menebang di wilayah itu. “Kalau dilarang mana berani saya,” katanya.

Itulah keterangan Bongku dan keterangan ahli yang dihadirkan Penasihat Hukum terdakwa Bongku. Sidang selanjutnya akan dilakukan pada Senin (13/04/2020) dengan agenda tuntutan. Setelah itu seminggu kemudian dilanjutkan dengan pleidoi.  #Rizky – Senarai

About the author

Nurul Fitria

Menyukai dunia jurnalistik sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Atas. Mulai serius mendalami ilmu jurnalistik setelah bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau pada 2011. Sedang belajar dan mengembangkan kemampuan di bidang tulis menulis, riset dan analisis, fotografi, videografi dan desain grafis. Tertarik dengan persoalan budaya, lingkungan, pendidikan, korupsi dan tentunya jurnalistik.

Video Sidang

 

Untuk video sidang lainnya, sila kunjungi channel Youtube Senarai dengan mengklik link berikut Senarai Youtube